Friday, November 5, 2010

Jilid 01

Nama lengkapnya, ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul-Islam. Dilahirkan di Thusia, suatu kota di Khurasan dalam Th. 450 H. (1058 M). Ayahnya bekerja membuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar Thusia.


Sebelum meninggal ayah Al-Ghazali meninggalkan kata pada seorang ahli tasawwuf temannya, supaya mengasuh dan mendidik Al Ghazali dan adiknya Ahmad. Setelah meninggal ayahnya, maka hiduplah Al-Ghazali di bawah asuhan ahli tasawwuf itu. Harta pusaka yang diterimanya adalah sedikit sekali. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha sendiri bertenun kain bulu. Di samping itu, selalu mengunjungi rumah alim ulama, memetik ilmu pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada mereka. Apabila mendengar huraian alim ulama itu maka ayah Al-Ghazali menangis tersedu-sedu seraya bermohon kepada Allah swt. kiranya dia dianugerahi seorang putera yang pandai dan berilmu.


Pada masa kecilnya Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani. Kemudian pergi ke negeri Jurjan dan belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili.


Setelah mempelajari beberapa ilmu di negeri tersebut, berangkatlah Al-Ghazali ke negeri Nisapur dan belajar pada Imam Al-Haramain. Di sanalah mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantik (logika) falsafah dan fiqih madzhab Syafi'i. Imam Al-Haramain amat berbesar hati dan selalu mengatakan : "Al-Ghazali itu lautan tak bertepi..........".


Setelah wafat Imam Al-Haramain, lalu Al-Ghazali berangkat ke Al-Askar mengunjungi Menteri Nizamul-muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan pemuka-pemuka ilmu pengetahuan. Semuanya mengakui akan ketinggian dan keahlian Al-Ghazali. Menteri Nizamul-muluk melantik Al-Ghazali pada tahun 484H. menjadi guru besar pada Perguruan Tinggi Nizamiyah yang didirikannya di kota Bagdad. Empat tahun lamanya Al-Ghazali mengajar di Perguruan Nizamiyah dengan cukup mendapat perhatian dari para pelajar, dari dekat dan jauh, sampai datang kepadanya suatu masa, di mana dia menjauhkan diri dari masyarakat ramai.


24


Maka pada tahun 488 H. Al-Ghazali pergi ke Makkah menunaikan rukun Islam kelima. Setelah selesai mengerjakan Hajji, ia terus ke negeri Syam (Suria), mengunjungi Baitul-makdis. Kemudian ke Damaskus dan terus menetap beribadah di masjid Al-Umawi di kota tersebut pada suatu sudut yang terkenal sampai sekarang dengan nama "Al-Ghazaliyah", diambil dari nama yang mulia itu. Pada masa itulah dia mengarang kitab "IHYA'"yang kami alih-bahasakan ini. Keadaan hidup dan kehidupannya pada saat itu adalah amat sederhana, dengan berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid dan desa, melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang membawanya kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa.


Kemudian dia kembali ke Bagdad, mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya —Ihya'— Tak lama sesudah itu berangkat pula ke Nisapur dan mengajar sebentar pada Perguruan Nizamiyah Nisapur. Akhimya, kembali ia ke kampung asalnya Thusia. Maka didirikannya di samping rumah-nya sebuah madrasah untuk ulama-ulama fiqih dan sebuah pondok untuk kaum shufi (ahli tasawuf). Dibagikannya waktunya antara membaca Al-Quran, mengadakan pertemuan dengan kaum shufi, memberi pelajaran kepada penuntut-penuntut ilmu yang ingin raenyauk dari lautan ilmunya, mendirikan shalat dan lain-lain ibadah. Cara hidup yang demikian diteruskannya sampai akhir hayatnya. Dengan mendapat husnul-khatimah Al-Ghazali meninggal dunia pada hari Senin tanggal 14 Jumadil-akhir tahun 605 H (1111 M)di Thusia.


Janazahnya dikebumikan di makam Ath-Thabiran, berdekatan dengan makam Al-Firdausi, seorang ahli sya'ir yang termasy-hur. Sebelum meninggal Al-Ghazali pemah mengucapkan kata-kata yang diucapkan pula kemudian oleh Francis Bacon seorang filosuf Inggeris, yaitu : "Kuletakkan arwahku dihadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa depan".

Ia meninggalkan pusaka yang tak dapat dilupakan oleh ummat muslimin khususnya dan dunia umumnya dengan karangan-karanganan yang berjumlah hampir 100 buah banyaknya.


25


Diantaranya kitab "Ihya' " yang kami alihbahasakan ini, teidiri dari empat jilid besar, yang kiranya disampaikan Allah swt. akan kami jadikan dari tiap jilid asalnya menjadi dua jilid dalam bahasa Indonesia. Dalam kalangan agama di negeri kita ini tak ada yang tak mengenal kitab Ihya' - Ulumiddin, suatu buku standard, terutama tentang akhlaq. Di Eropah mendapat perhatian besar sekali dan telah dialih-bahasakan ke dalam beberapa bahasa modern. Dalam dunia Kristen telah lahir pula kemudian Thomasa Kempis (1379 — 1471 M) yang mendekati dengan pribadi Al-Ghazali dalam dunia Islam, berhubung dengan karangannya "De Imitation Christi" yang sifatnya mender kati "IHYA' ", tetapi dipandang dari pendidikan Kristen.


Diantara karangannya yang banyak itu, ada dua buah yang kurang dikenal di negeri kita, akan tetapi sangat terkenal di dunia Barat. Malah menyebabkan pecah perang pena antara ahli-ahli falsafah. Yaitu kitab "Maqashidul-falasifah" (Maksudnya ahli-ahli falsafah) dan kitab "Tahafutul-falasifah" (Kesesatan ahli-ahli falsafah).


Kitab yang pertama berisi ringkasan dari bermacam-macam ilmu falsafah, mantik, metafisika dan fisika. Kitab ini sudah diteijemah-kan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin di akhir abad ke XII M.


Kitab yang kedua memberi kritik yang tajam atas sistem falsafah yang telah diterangkannya satu persatu dalam kitab pertama tadi. Malah oleh Al-Ghazali sendiri menerangkan dalam kitab yang kedua itu, bahwa maksudnya menulis kitab yang pertama tadi ialah mengumpulkan lebih dahulu bahan-bahan untuk para pembaca, yang nantinya akan dikritiknya satu persatu dalam kitab yang kedua.


Beberapa puluh tahun kemudian, maka lahirlah di Andalusia (Spanyol) Ibnu-Rusyd, digelarkan Filosuf Cordova (1126 -1198). Dia membantah akan pendirian Al-Ghazali dalam hal falsafah itu dengan mengarang sebuah kitab yang dinamainya "Tahafutu-taha-futil falasifah" (Kesesatan buku Tahafutul-falasifah Al-Ghazali).


Dalam buku ini, Ibnu Rusyd telah menjelaskan kesalahpahaman Al-Ghazali tentang mengartikan apa yang dinamakan falsafah dan betapa salah pahamnya tentang pokok-pokok pelajaran falsafah.


Demikianlah telah beredar dua buah buku dalam dunia Islam, yang satu menyerang dan menghancurkan falsafah dan yang satu lagi mempertahankan falsafah itu.


26


Keduanya bertempur seca-ra aktif dalam dunia fikiran umat Islam dan menantikan waktunya masing-masing, siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah.


Di samping kemasyhuran dan keagungan yang dipunyai Al-Ghazali, dilontarkannya kitabnya Tahafutul-falasifah ke tengahtengah um-mat manusia dengan gaya bahasa yang hidup bergelora. Sehingga karangan Ibnu Rusyd menjadi lumpuh menghadapi guntur bahasa-nya Al-Ghazali. Maka pada akhirnya dalam peperangan alam pikir-an ini, Al-Ghazali tampil ke tengah gelanggang sebagai pemenang.


Sebagai filosuf, Al-Ghazali mengikuti aliran falsafah yang boleh dinamakan "madzhab hissiyat" yakni yang kira-kira sama arti-nya dengan "mazhab perasaan". Sebagaimana filosuf Inggeris David Hume (1711 — 1776) yang mengemukakan bahya perasaan adalah sebagai alat yang terpenting dalam falsafah, di waktu dia menentang aliran rasionalisme, yakni satu aliran falsafah yang timbul di abad ke XVIII, yang semata-mata berdasar kepada pemerik-saan panca indera dan akal manusia.


AlGhazali telah mengemukakan pendapat yang demikian, se-lama 700 tahun terlebih dahulu dari David Hume. Ia mengakui bahwa perasaan (hissiyat) itu boleh keliru juga akan tetapi akal manusia juga tidak terpelihara dari kekeliruan dan kesesatan. Dan tidak akan dapat mencapai kebenaran sesempurna-sempurnanya dengan sendirinya saja. Dan tidak mungkin dapat dibiarkan bergerak dengan semau-maunya saja. Lalu akhirnya Al-Ghazali kembali kepada apa yang dinamakannya "dlaruriat" atau aksioma sebagai hakim dari akal dan perasaan dan kepada hidayah yang datang dari Allah swt.


Al-Ghazali tak kurang mengupas falsafah Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan pelbagai masalah yang sulit-sulit dengan cara yang halus dan tajam. Tak kurang ia membentangkan ilmu mantik dan menyusun ilmu kalam yang tahan uji dibanding -kan dengan karangan-karangan filosuf yang lain. Semua ini menun-jukkan ketajaman otaknya. Disamping itu tidak enggan dia berkata dengan kerendahan hati serta khusu' akan kata-kata "Wallahu a'lam'.' artinya "Allah yang Maha Tahu".


Dalam zaman Al-Ghazali, masih berkobar pertentangan antara ahli tasawwuf dan ahh fiqih. Maka salah satu dari usaha Al-Ghazali ialah merapatkan kedua golongan yang bertentangan itu.


27


Baik semasa hidupnya atau sesudah wafatnya, Al-Ghazali mendapat teman sepaham, di samping lawan yang menentang akan pendiriannya. Yang tidak sepaham, di antaranya ialah Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan lain-lain dari ahli fiqih. Di dunia Barat Al-Ghazali mendapat perhatian besar, mendapat penghargaan dari para filosuf. Di antaranya dari Renan, Cassanova, Carra de Vaux dan lain-lain.


Seorang ahli ketimuran Inggeris bernama Ds. Zwemmer pemah memasukkan Al-Ghazali menjadi salah seorang dari empat orang pilihan pihak Islam dari mulai zaman Rasulullah saw. sampai kepada zaman kita sekarang, yaitu:

1. Nabi Besar Muhammad s.a.w. sendiri.

2. Imam-Al-Bukhari, ulama hadist yang terbesar.

3. Imam-Al-Asy'ari, ulama tauhid yang termasyhur.

4. Imam-Al-Ghazali, pengarang Ihya' yang terkenal.


Demikianlah sekelumit dari sejarah hidup ulama besar ini, dengan kita menyebutkan beberapa bidang lagi, di mana Al-Ghazali mempunyai saham yang tidak kecil, seperti bidang pendidikan, dakwah, fiqih dan lain-lain.


Semoga pusaka ilmiyah yang ditinggalkan Al-Ghazali, dapatlah kiranya diambil faedahnya oleh ummat manusia umumnya dan ummat Islam khususnya!

Aamiiin!.

28

"Sesungguhnya hal yang demikian itu menjadi pengajaran bagi siapa yang mempunyai hati (pengertian)".(S. Qaaf, ayat 37).

Pertama-tama, aku memuji Allah, pujian yang banyak, berturut-turut, walaupun amat kecil pujian pemuji-pemuji itu, kurang dari hak keAgunganNya.

Kedua, aku bersalawat dan mengucapkan salam kepada Rasul-rasul-Nya, salawat yang meratai Rasul-rasul yang lain, bersama penghulu ummat manusia.

Ketiga, aku memohonkan kebajikan kepada Allah Ta'ala, tentang membangkitnya cita-citaku, mengarang sebuah kitab, tentang "Menghidupka: Kembali Ilmu-ilmu Agama" (Ihya Ulumiddin). Keempat, aku menantang, untuk memotong kesombonganmu, hai pencela, yang melampaui batas pada mencela, diantara golongan orang-orang yang ingkai, yang berlebih-lebihan mencaci dan mela-wan, diantara lapisan orang-orang yang melawan, yang lalai. Maka sesungguhnya telah terlepas ikatan diam dari lidahku. Telah dikalungkan pada lehermu, tanggungan berkata-kata dan kalung mu tiara bertutur kata, selain a engkau berkekalan buta dari kebenaran yang nyata, serta berkepanjangan menolong yang batil, membaguskan kebodohan dan mengobarkan fitnah kepada orang, yang memilih mencabut diri sedikit dari adat kebiasaan orang banyak. Dan ia cenderung sedikit dari membiasakan diri mengikuti kebiasaan itu, kepada beramal dengan yang dikehendaki oleh ilmu, karena mengharap mencapai apa yang diajak oleh Allah Ta'ala beribadah kepada-Nya. Yaitu : membersihkan diri dan membaik-kan hati. Dan untuk memperoleh kembali sebahagian apa yang telah dibuang-buangkannya, dari menyia-nyiakan umur, karena

30

putus-asa dari kesempurnaan memperoleh kembali dan menampal-kannya. Dan tersisih dari kumpulan orang, yang dikatakan terha-dap mereka oleh yang empunyaisyari'at - rahmat Allah dan sejah-teraNya kepadanya.
(Asyaddun naasi 'adzaaban yaumal qiyaamati 'aalimun lam yanfa'-hullaahu subhaanahuu bi'ilmih).
Artinya :"Manusia yang sangat menderita azab pada hart qiamat, ialah orang yang berilmu (orang alim), yang tidak diberi manfa'at oleh Allah suit, dengan ilmunya".

Demi umurku, sesungguhnya tiada sebab untuk berkekalan-nya kamu kepada kesombongan, selain oleh penyakit yang meratai orang banyak. Bahkan telah meratai golongan orang-orang yang teledor, dari pada memperhatikan pentingnya persoalan ini. Dan bodoh, bahwa persoalan ini besar. Dan keadaannya itu sungguh-sungguh. Akhirat itu di depan dan dunia itu di belakang. Ajal itu dekat.Perjalanan itu jauh. Perbekalan itu sedikit. Bahaya itu besar. Dan jalan itu tertutup. Selain keikhlasan karena wajah Allah, dari ilmu dan amal, adalah tertolak pada pihak pengecam, yang dapat melihat.

Berjalan ke jalan akhirat serta banyaknya tipu-daya tanpa penunjuk dan teman, adalah payah dan sukar. Maka penunjuk-penunjuk jalan itu ialah kaum ulama. Mereka adalah pewaris nabi -nabi. Telah kosonglah zaman dari mereka. Tidak ada yang tinggal, kecuali orang-orang yang berbuat resmi-resmian. Kebanyakan telah digoda sethan dan terjerumus ke dalam kesesatan. Masing-masing mereka telah tertarik kepada keuntungan yang dekat. Lalu me-mandang yang baik menjadi buruk dan yang buruk menjadi baik. Sehingga ilmu agama senantiasa terinjak-injak dan noor hidayah hilang lenyap disegala pelosok bumi.

Orang-orang itu berkhayal kepada orang banyak, bahwa ilmu pengetahuan itu tak lain, dari fatwa pemerintah yang dipakai

(1) Hadits ini diriwayatkan Ath-Thabrani dan AI-Baihaqi dari Abu Hurairah dengan isnad dla'if.

31

oleh para kadli (hakim) untuk menyelesaikan persengketaan ketika berkecamuk kezaliman. Atau ilmu pengetahuan itu ialah jidal (perdebatan), yang diperalat oleh orang yang mencari kemegahan untuk memperoleh kemenangan dan keuntungan. Atau ilmu pengetahuan itu ialah sajak yang dihiasi, yang dipergunakan oleh juru-juru nasehat supaya dapat mempengaruhi orang awam. Karena mereka itu, tidak melihat, selain dari yang tiga tadi, tempat memburu yang haram dan menangguk harta kekayaan duniawi.

Adapun ilmu jalan akhirat yang ditempuh ulama-ulama terdahulu yang saleh, yang dinanmakan oleh Allah swt. dalam KitabNya dengan Fiqih, Hikmah, Ilmu, Cahaya, Nur, Hidayah dan Petunjuk, maka telah dilipat dari orang banyak dan menjadi hal yang dilupakan. Manakala hal yang demikian itu menghancurkan Agama dan mendatangkan bahaya yang mengerikan, maka aku berpendapat bahwa berusaha menyusun kitab ini, adalah penting untuk Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama (Ihya’ Ulumiddin), membukakan jalan yang dilalui imam-imam yang terdahulu dan memberi-penjelasan maksud dari ilmu pengetahuan yang berguna, dari nabi-nabi dan ulama-ulama terdahulu yang saleh.

Aku buatdasar kitab ini empat bahagian besar (empat ruhu') yaitu:
1. bahagian (rubu') peribadatan (rubu' 'ibadah).
2. bahagian (rubu') pekerjaan sehari-hari (rubu ' adat kebiasaan).
3. bahagian (rubu') perbuatan yang membinasakan (rubu'al-muhlikat).
4. bahagian (rubu ') perbuatan yang menyelamatkan (rubu' al-munjiyat).

Aku mulai sejumlah dengan "kitab ilmu", karena ilmu itu amat penting, untuk pertama-tama aku bentangkan, tentang ilmu, di mana segala orang berbakti kepada Allah dengan menuntutnya, di atas sabda Rasul saw. yang bersabda : (Thalabul 'ilmi fariidlatun 'alaa kulli muslim) Artinya : "Menuntut ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim".

32

Akan aku bedakan padanya, ilmu yang bermanfa'at, dari ilmu yang mendatangkan melarat. Karena Nabi saw. bersabda : (Na'uudzu billaahi min 'ilmin laa yanfa'). Artinya : "Kita berlindung dengan Allah, dari ilmu yang tidak bermanfa'at".

Aku akan buktikan kecenderungan manusia sekarang, jauh dari bentuk kebenaran. Tertipunya mereka dengan kilatan patamorgana. Dan kepuasan mereka dengan kulit ilmu, tanpa isi.

Bahagian (rubu') ibadah, melengkapi sepuluh kitab :
1. Kitab ilmu.
2. Kitab kaidah-kaidah i'tikad (aqidah).
3. Kitab rahasia (hikmah) bersuci.
4. Kitab hikmah shalat.
5. Kitab hikmah zakat.
6. Kitab hikmah shiam(puasa).
7. Kitab hikmah hajji.
8. Kitab adab (kesopanan) membaca Al-Qur-an.
9. Kitab dzikir dan do'a.
10. Kitab tartib wirid pada masing-masing waktunya.

Bahagian (rubu') pekerjaan sehari-hari melengkapi sepuluh kitab :
1. Kitab adab makan.
2. Kitab adab perkawinan.
3. Kitab hukum berusaha (bekerja).
4. Kitab halal dan haram.
5. Kitab adab berteman dan bergaul dengan berbagai golongan manusia.
6. Kitab 'uzlah (mengasingkan diri).
7. Kitab adab bermusafir (berjalan jauh).
8. Kitab mendengar dan merasa.
9. Kitab amar ma'ruf dan nahi mungkar.
10. Kitab adab kehidupan dan budi-pekerti (akhlaq) kenabian.

33

Bahagian (rubu') perbuatan yang membinasakan, melengkapi sepuluh kitab:
1. Kitab menguraikan keajaiban hati.
2. Kitab latihan diri (jiwa).
3. Kitab bahaya hawa nafsu perut dan kemaluan.
4. Kitab bahaya lidah.
5. Kitab bahaya marah, dendam dan dengki.
6. Kitab tercelanya dunia.
7. Kitab tercelanya harta dan kikir.
8. Kitab tercelanya sifat suka kemegahan dan cari muka (ria).
9. Kitab tercelanya sifat takabur dan mengherani diri ('ujub).
10. Kitab tercelanya sifat tertipu dengan kesenangan duniawi.

Bahagian (rubu') perbuatan yang melepaskan, melengkapi sepuluh kitab:
1. Kitab taubat.
2. Kitab sabar dan syukur.
3. Kitab takut dan harap..
4. Kitab fakir dan zuhud.
5. Kitab tauhid dan tawakkal.
6. Kitab cinta kasih , rindu , jinak hati dan rela.
7. Kitab niat, benar dan ikhlas.
8. Kitab muraqabah dan menghitung amalan.
9. Kitab memikirkan hal diri (tafakkur).
10. Kitab ingat mati.

Adapun bahagian 'ibadah, maka akan saya terangkan nanti peri adabnya yang mendalam sunnahnya yang halus-halus dan maksudnya yang penuh hikmah, yang diperlukan oleh orang yang berilmu, yang mengamalkan. Bahkan tidaklah dari ulama akhirat, orang yang tidak memperhatikan kepadanya. Dan yang terbanyak daripadanya, adalah termasuk yang disia-siakan dalam ilmu fiqih. Adapun bahagian pekerjaan sehari-hari, maka akan saya terangkan hikmah pergaulan yang berlaku antara sesama manusia, liku-likunya, sunatnya yang halus-halus dan sifat memelihara diri yang tersembunyi pada tempat-tempat lalunya. Yaitu, yang harus dipunyai oleh orang yang beragama.

34

Adapun bahagian perbuatan yang membinasakan, maka akan saya terangkan nanti semua budi pekerti yang tercela yang tersebutdal am Al-Quran dengan menghilangkannya, membersihkan jiwa dan mensucikan hati daripadanya. Saya akan terangkan masing-masing dari budi pekerti itu, batas dan hakikatnya. Kemudian akan saya sebutkan sebab terjadinya, kemudian bahaya yang timbul daripadanya, kemudian tanda-tanda mengenalinya, kemudian cara mengobatinya supaya terlepas kita daripadanya. Semuanya itu, disertai dengan dalil-dalil ayat, hadits dan kata-kata shahabat Nabi (atsar).

Adapun bahagian perbuatan yang melepaskan, maka akan saya terangkan semua budi pekerti yang terpuji dan keadaan yang disukai, yang menjadi budi pekerti orang-orang muqarrabin dan shiddiqin, yang mendekatkan hamba kepada Tuhan semesta alam. Saya akan terangkan pada tiap-tiap budi pekerti itu, batasnya, hakikatnya, sebab yang membawa tertarik kepadanya, faedah yang dapat diperoleh daripadanya, tanda-tanda untuk mengenalinya dan keutamaan yang membawa kegemaran kepadanya, serta apa yang ada padanya, dari dalil-dalil syari'at dan akal pikiran. Penulis-penulis lain sudah mengarang beberapa buku mengenai sebahagian dari maksud-maksud tadi. Akan tetapi kitab ini, ber-beda dari buku-buku itu dalam lima hal:

1. Menguraikan dan menjelaskan apa yang ditulis penulis-penulis lain secara singkat dan umum.
2. Menyusun dan mengatur apa yang dibuat mereka itu berpisah-pisah dan bercerai-berai.
3. Menyingkatkan apa yang dibuat mereka itu berpanjang-panjang dan menentukan apa yang ditetapkan mereka.
4. Membuang apa yang dibuat mereka itu berulang-ulang dan menetapkan dengan kepastian diantara yang diuraikan itu.
5. Memberi kepastian hal-hal yang meragukan yang membawa kepada salah paham, yang tidak disinggung sedikitpun dalam buku-buku yang lain. Karena semuanya, walaupun mereka itu menempuh pada suatu jalan, tetapi tak dapat dibantah, bahwa masing-masing orang salik (orang yang berjalan pada jalan Allah) itu mempunyai perhatian tersendiri, kepada sesuatu hal yang tertentu baginya dan dilupakan teman-temannya. Atau ia tidak lalai dari perhatian itu, akan tetapi lupa dimasukkannya ke dalam buku-bukunya. Atau ia tidak lupa, akan tetapi ia dipalingkan oleh sesuatu yang memalingkannya daripada menyingkapkan yang tertutup daripadanya.

35

Maka inilah keadaan-keadaan khusus bagi kitab ini serta mengandung pula semua ilmu pengetahuan itu.

Sesungguhnya yang membawa aku mendasarkan kitab ini pada empat bahagian (rubu1), adalah dua hal:

Pertama :
yaitu pendorong asli; bahwa susunan ini pada menjelaskan hakikat dan pengertian, adalah seperti ilmu dlaruri (ilmu yang mudah, tak memerlukan kepada pemikiran mendalam). Sebab pengetahuan yang menuju ke akhirat itu, terbagi kepada ilmu mu'amalah dan ilmu mukasyafah.

Yang dimaksud dengan ilmu mukasyafah ialah yang diminta mengetahuinya saja. Dan dengan ilmu mu'amalah ialah yang diminta, di samping mengetahuinya, hendaklah diamalkan. Dan yang dimaksudkan dari kitab ini, ialah ilmu mu'amalah saja, tidak ilmu mukasyafah, yang tidak mudah menyimpannya di buku-buku, meskipun menjadi tujuan maksud para pelajar dan keinginan perhatian orang-orang shiddiqin.

Dan ilmu mu'amalah itu adalah jalan kepada ilmu mukasyafah. Tetapi, para nabi -rahmat Allah kepada mereka- tidak memperkatakan pada orang banyak, selain mengenai ilmu untuk jalan dan petunjuk kepada ilmu mukasyafah itu.

Adapun ilmu mukasyafah, mereka tidak memperkatakannya selain dengan jalan rumus dan isyarat, yang merupakan contoh dan kesimpulan. Karena para Nabi itu tahu akan singkatnya paham orang banyak untuk dapat memikulnya.

Alim ulama itu adalah pewaris Nabi-nabi. Maka tiada jalan bagi mereka untuk berpaling daripada mengikuti dan mematuhinya. Kemudian, ilmu mu'amalah itu terbagi kepada : 1- ilmu dhahirry iaitu ilmu, mengenai amal perbuatan anggota badan. 2. ilmu. bathin, yaitu ilmu mengenai amal perbuatan hati dan yang melalui pada anggota badan. Adakalanya adat kebiasaan dan adakalanya 'ibadah.

Dan yang datang pada hati, yang dengan sebab terdinding dari pancaindra, termasuk bagian alam malakut, adakalanya terpuji dan adakalanya tercela. Maka seharusnyalah, ilmu ini terbagi dua, yaitu : dhahir dan bathin.

36

Baginn dhahir yang menyangkut dengan anggota badan, terbagi kepada adat kebiasaan dan ibadah. Bagian bathin yang menyangkut dengan hal ihwal hati dan budi pekerti jiwa, terbagi kepada : yang tercela dan yang terpuji. Jadi, semuanya berjumlah empat bahagian. Dan tidaklah kurang perhatian pada ilmu mu'amalah, dari bahagian-bahagian ini.

Pendorong Kedua :
-yang menggerakkan untuk menyusun kitab ini menjadi empat bahagian, ialah aku melihat keinginan para pelajar, besar sekali kepada ilmu fiqih, ilmu yang layak- bagi orang yang tidak takut kepada Allah swt., yang memperalat ilmu itu untuk mencari kemegahan dan penonjolan dengan kemegahan serta kedudukan dalam perlombaan. Dan ilmu fiqih itu terdiri dari empat bahagian. Dan orang yang menghiasi dirinya dengan hiasan yang disukai orang banyak, tentu dia akan disukai. Maka aku tidak jauh dalam membentuk kitab ini dengan bentuk fiqih untuk menarik hati golongan pelajar-pelajar. Dan karena inilah, sebahagian orang yang ingin menarik hati pembesar-pembesar kepada ilmu kesehatan, bertindak lemah lembut, lalu membentuknya dalam bentuk ilmu bintang dengan memakai ranji dan angka. Dan menamakannya ilmu taqwim kesehatan, supaya kejinakan hati mereka dengan cara itu menjadi tertarik kepada membacanya.

Berlemah-lembut menarik hati orang kepada ilmu pengetahuan yang berguna dalam kehidupan abadi, adalah lebih penting daripada kelemah-lembutan menariknya kepada ilmu kesehatan, yang faedahnya hanya untuk kesehatan jasmaniyah belaka.

Faedah pengetahuan ini ialah membawa kesehatan kepada hati dan jiwa yang bersambung terus kepada kehidupan abadi. Apalah artinya ilmu kesehatan itu yang hanya dapat mengobati tubuh kasar saja, yang akan hancur binasa dalam waktu yang tidak lama lagi. Kita bermohdn kepada Allah swt. akan taufiq bagi petunjuk dan kebenaran. Bahwa Allah Maha Pemurah lagi Maha Pengasih.

37

KITAB ILMU DAN PADANYA TUJUH BAB:

Bab pertama:
Tentang kelebihan ilmu, kelebihan mengajar dan belajar.

Bab Kedua:
Tentang ilmu-ilmu yang fardlu-'ain dan yang fardhu-kifayah, menerangkan batas ilmu fiqhi, memperkatakan ilmu agama, penjelasan ilmu akhirat dan ilmu dunia.

Bab ketiga:
Tentang apa, yang dihitung oleh orang awwam, termasuk sebahagian dari ilmu agama, pada hal tidak. Juga menerangkan jenis ilmu yang tercela dan kadarnya.

Bab keempat:
Tentang bahaya perdebatan dan menyebabkan kesibukan manusia dengan berselisih dan bertengkar.

Bab kelima:
Tentang adab pengajar dan pelajar.

Bab keenam:
Tentang bahaya ilmu, ulama dan tanda-tanda yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat.

Bab ketujuh:
Tentang akal, kelebihan akal, bahagian-bahagian akal dan hadits-hadits yang membicarakan tentang akal.

38

BAB PERTAMA : Tentang kelebihan ilmu, kelebihan mengajar, kelebihan belajar dan dalil-dalilnya dari 'Naqal (Al-Qur-an dan Hadits) dan akal.

KELEBIHAN ILMU
Dalil-dalilnya dari Al-Qur-an, ialah firman Allah swt. (Syahidallaahu annahuu laa ilaaha illaa huwa wal malaaikatu wa ulul 'ilmi qaaiman bil qis-thi). (S. Ali Imran, ayat 18). Artinya : "Allah mengakui bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain dari padaNya dan malaikat-malaikat mengakui dan orang-orang bcrilmu, yang tegak dengan keadilan ". (S Ali Imran ayat 18)

Maka lihatlah, betapa Allah swt. memulai dengan diriNya sendiri dan menduai dengan malaikat dan menigai dengan ahli ilmu. Cukuplah kiranya dengan ini, buat kita pertanda kemuliaan. kelebihan, kejelasan, dan ketinggian orang-orang yang berilmu.

Pada ayat lain Allah swt. berfirman : (Yarfa'illaahul ladziina aamanuu minkum wal ladziiha uutul 'ilma darajaat). (S. Al Mujaadalah, ayat 11). Artinya : "Diangkat oleh Allah orang-orang yang beriman daripada kamu dan orang-orang yang diberi ilmu dengan beberapa tingkat". (S. Al-Mujadalah, ayat 11).

39

Ibnu Abbas radliallaahu 'anh (ra.) (direlai Allah dia kiranya) mengatakan : "Untuk ulama beberapa tingkat di atas orang mu'min, dengan 700 tingkat tingginya. Antara dua tingkat itu, jaraknya sampai 500 tahun perjalanan".

Pada ayat lain Allah swt. berfirman :(Qul hal yastawil ladziina ya'lamuuna wal ladziina laa ya'lamuun). (S. Az-Zumar, ayat 9). Artinya : "Katakanlah! Adakah sama antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu ?". (S Az-Zumar, ayat 9).

Berfirman Allah swt. : (Innamaa yakhsyaliaahamin'ibaadihil'ulamaa-u). (S. Fathir ayat28). Artinya : "Sesungguhnya yang takut akan Allah daripada hambaNya ialah ulama (ahli ilmu) ". (S Fathir ayat 28).

Berfirman Allah swt. : (Qul kafaa billaahi syahiidan bainii wabainakum warn an 'indahuu 'ilmul kitaab). (S. Ar-Ra'd, ayat 43 ). Artinya : "Katukanlah! Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu dan orang-orang yangpadanya ada pengetahuan tentang Al-Qur-an ". (S. Ar-Ra'd, ayat 43).

Pada ayat yang lain tersebut : (Qaalal ladzii 'indahuu 'ilmun'minal kitaabi ana aatika bihi). (S. An-Naml, ayat 40). Artinya : "Berkatalah orang yang mempunyai pengetahuan tentang Kitab : "Aku sanggup membawanya kepada engkau". (S. An-Naml, ayat 40).

40

Ayat ini memberitahukan bahwa orang itu merasa sanggup karena tenaga pengetahuan yang ada padanya.

Berfirman Allah swt. ( A. (Wa qaalal ladziina uutul 'ilma wailakum tsawaabullaahi khairun liman aamana wa 'amila shaalihaa). (S. Al-Qashash, ayat 80). Artinya : "Berkatalah orang-orang yang berpengetahuan : Malang nasibmu! Pahala dan Allah lebih baik untuk orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik ". (S. AJ-Qashash, ayat 80).

Ayat ini menjelaskan bahwa tingginya kedudukan di akhirat, diketahui dengan ilmu pengetahuan.

Pada ayat lain tersebut : (Wa tilkal amtsaalu nadlribuhaa linnaasi wa maa ya'qiluhaa illal 'aalinuun). (S. Al- 'Ankabuut, ayat 43). Artinya : "Contoh-contoh itu Kami buat untuk manusia dan tidak ada yang mengerti kecuali orang-orang yang berilmu ". (S. Al-'Ankabut, ayat 43).

Dan firman Allah swt. : (Walau radduuhu ilar rasuuli wa ilaa uUl-amri minhum la'alimahul ladiina yastanbithuunahuu minhum).

41

Artinya : "Kalau mereka kembalikan kepada Rasul dan orang yang berkuasa di antara mereka niscaya orang-orang yang memperhatikan itu akan dapat mengetahui yang sebenarnya". (S. An-Nisa', ayat 83).

Ayat ini menerangkan bahwa untuk menentukan hukum dari segala kejadian, adalah terserah kepada pemahaman mereka. Dan dihubungkan tingkat mereka dengan tingkat Nabi-nabi, dalam hal menyingkap hukum Allah.

Dan ada yang menafsirkan tentang firman Allah : (Yaabanii Aadama qad anzalnaa 'alaikum libaasan yuwaarii sau-a -tikum wa riisyan wa libaasut taqwaa). (S. Al-A'raaf, ayat 26). Artinya:
"Wahai anak Adam! Sesungguhnya Kami telah turunhan kepadamu pakaian yang menutupkan anggota kelaminmu dan bulu dan pakaian ketaqwaan". (S. Al-A'raf, ayat 26).

dengan tafsiran, bahwa pakaian itu maksudnya ilmu, bulu itu maksudnya yakin dan pakaian ketaqwaan itu maksudnya malu.

Pada ayat lain tersebut (Walaqad ji'naahum bikitaabin fashshalnaahu 'alaa 'ilmin). (S. Al-A'raaf, ayat 52). Artinya : "Sesungguhnya Kami telah datangkan kitab kepada mereka, Kami jelaskan dengan pengetahuan". (S. Al-A'raf, ayat 52).

Pada ayat lain : (Falanaqushshanna 'alaihim bi'ilmin). (S. Al-A'raaf, ayat 7). Artinya : "Sesungguhnya akan kami ceriterakan kepada mereka menurut pengetahuan ". (S. Al-A'raf, ayat 7).

42

Pada ayat lain : (Bal huwa aayaatun bayyinaatun fii shuduuril ladziina uutul 'ilma). (S. Al-'Ankabuut, ayat 49). Artinya : "Bahkan (Al-Qur-an) itu adalah bukti-bukti yang jelas di dalam dada mereka yang diberi pengetahuan ". (S. Al-'Ankabut, ayat 49).

Pada ayat lain : (Khalaqal insaana 'allamahul bayaan). (S. Ar Rahmaan, ayat 3-4). Artinya : "Tuhan menjadikan manusia dan mengajarkannya berbicara terang". (S. Ar-Rahman, ayat 3-4).

Tuhan menerangkan yang demikian pada ayat tadi untuk menyatakan nikmatNya dengan pengajaran itu.

Adapun hadits, maka Rasulullah saw. bersabda : (Man yuridil laahu bihi khairan yufaqqihhu fid diini wa yulhimhu rusydahu). Artinya : "Barangsiapa dikehendaki Allah akan memperoleh kebaikan, niscaya dianugerahiNya pemahaman dalam agama dan diilhamiNya petunjuk".

Nabi saw. bersabda : (Al-'ulamaa-u waratsatul ambiyaa-i). Artinya: "Orang berilmu (ulama) itu adalah pewaris dari Nabi-Nabi".

43

Dan sudah dimaklumi, bahwa tak ada pangkat di atas pangkat kenabian dan tak ada kemuliaan di atas kemuliaan yang mewarisi pangkat tersebut.

Nabi saw. bersabda : (Yastaghfiru lil'aalimi maa fis samaawaati wal ardli). Artinya : "hi langit dan isi bumi meminta ampun untuk orang yang berilmu "(1)

Manakah kedudukan yang melebihi kedudukan orang, di mana para malaikat di langit dan di bumi selalu meminta ampun baginya? Orang itu sibuk dengan urusannya dan para malaikat sibuk pula meminta ampun baginya.

Nabi saw. bersabda : (Innal hikmata taziidusy syariifa syarafan wa tarfa'ul mamluuka hattaa yudrika madaarikal muluuki). Artinya : "Bahwa ilmu pengetahuan itu menambahkan mulia orang yang mulia dan meninggikan seorang budak sampai ke tingkat raja-raja" (2).

Dijelaskan oleh hadits ini akan faedahnya di dunia dan sebagai dimaklumi bahwa akhirat itu lebih baik dan kekal.
Nabi saw. bersabda : (Khashlataani laa yakuunaani fii munaafiqin, husnu samtin wa fiqhun fid diin). Artinya : "Dua perkara tidak dijumpai pada orang munafiq; baik kelakuan dan berpaham agama " (3)

____________________
(1) Inl adalah sebahagian diri hadits Abu Dardi' di atas
(2) Dirawikan Abu Ni'lm dll. dari Anas, dengan isnad dla'if.
(3) Dirawikan Ath-Thurmidzi darl Abu Hurairah, nadits gharib (hadith yang asing isnadnya).

44

Dan janganlah anda ragu akan hadits ini, karena munafiqnya sebahagian ulama fiqih zaman sekarang. Karena tidaklah dimaksudkan oleh hadits itu akan fiqih yang anda sangkakan. Dan akan diterangkan nanti arti fiqih itu. Sekurang-kurangnya tingkat seorang ahli fiqih tahu ia bahwa akhirat itu lebih baik dari dunia. Dan pengetahuan ini, apabila benar dan banyak padanya, niscaya terlepaslah dia dari sifat nifaq dan ria. Nabi saw. bersabda : (Afdlalun naasil mu'minul 'aalimul ladzii inihtiija ilaihi nafa'a wa inistughniya 'anhu aghnaa nafsah). Artinya : "Manusia yang terbaik ialah mu'min yang berilmu, jika diperlukan dia berguna. Dan jika tidak diperlukan, maka dia dapat mengurus dirinya sendiri". (1)

Nabi saw. bersabda : (Al-imaanu 'uryaanun wa libaasuhut taqwaa wa ziinatuhul hayaa-u wa tsamaratuhul 'ilmu). Artinya : "Iman itu tidak berpakaian. Pakaiannya ialah taqwa, pcrhiasannya ialah malu dan buahnya ialah ilmu ". (2)

Nabi saw. bersabda : (Aqrabun naasi min darajatin nubuwwati ahlul 'ilmi wal jihaadi. Ammaa ahlul 'ilmi fadallun naasa 'alaa maa jaa-at bihir rusulu wa ammaa ahlul jihaadi fajaahaduu bias-yaafihim 'alaa maa jaa-at bihir rusul).

___________________
(1) Dirawlkan AI-Baihaqf dari Abid Darda', isnad dlalif
(2) Dirawlkan AI-Haklm darl Abld Darda', iinad dla'lf.

45

Artinya :
"Manusia yang terdekat kepada dcrajat kenabian ialah orang yang berilmu dan berjihad. Adapun orang yang berilmu, maka memberi petunjuk kepada manusia akan apa yang dibawa Rasul-Rasul. Dan orang yang berjihad, maka bcrjuang dcngan pedang membela apa yang dibawa para Rasul itu ". (1)
Nabisaw. bersabda :
*'
(Lamautu qabiilatin aisaru min mauti 'aalimin).-' •
Artinya :
"Sesungguhnya mati satu suku bangsa, adalah lebih mudah dan-
pada mati seorang yang berilmu ". (2)
Nabi saw. bersabda :
(An-naasu ma'aadinu kama-'aadinidz dzahabi wal fidldlati, fakhi-yaaruhum fil jaahiliyyati khiyaaruhum fil istaami idzaa faquhuu).
Artinya :
"Manusia itu ibarat barang logam seperti logam emas dan perak. Orang yang baik pada jahiliyah menjadi baik pula pada masa Islam apabila mereka itu berpaham (berilmu)". (3)
Nabi saw. bersabda :
(Yuuzanu yaumal qiyaamati midaadul 'ulamaa-i bidamisy syuhadaaj Artinya :
"Ditimbang pada hari qiamat tinta ulama dengan darah syuhada' (orang-orang syahid mempertahankan agama Allah)". (4)
_________________
(1) Dirawikan Abu Na'im dari Ibnu Abbas, isnad dla'if.
(2) Dirawikan Ath-Thabrani dan Ibnu Abdul-Birri dari Abi Darda'.
(3) Dirawikan AI-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
(4) Dirawikan Ibnu Abdul-Birri dari Abid-Darda', sanad dla'if.

46

Nabi saw. bersabda : (Man hafidha 'alaa ummatiiarba'iinahadiitsanminas sunnati hattaa yuaddiyahaa ilaihim kuntu lahuu syafii'an wa syahiidan yaumal qiyaamah). Artinya : "Barangsiapa menghafal kepada ummatku empat puluh hadits, sehingga ia menghafalkannya kepada mereka, maka aku memberi syafa 'at dan menjadi saksi baginya pada hari qiamat ". (1)

Nabi saw. bersabda : (Man hamala min ummatii arba'iina hadiitsan laqiallaaha 'azza wa jalla yaumal qiyaamati faqiihan 'aaliman). Artinya : "Barangsiapa dari ummatku menghafal empat puluh hadits, maka dia akan bertemu dengan Allah pada hari qiamat sebagai seorang ahli fiqih yang 'alim". (2)

Nabi saw. bersabda : (Man tafaqqaha fii diinillaahi 'azza wa jalla kafaahullaahu ta'aalaa maa ahammahu wa razaqahu min haitsu laa yahtasib). Artinya : "Barangsiapa memahami agama Allah niscaya dicukupkan Allah akan kepentingannya dan diberikanNya rezekidiluar dugaannya". (3)

Bersabda Nabi saw. :
______________________
(1) Dirawikan Ibnu Abdul-Birri dari Ibnu Umar dan dipandangnya dla'if.
(2) Oirawikan Ibnu Abdul-Birri dari Anal dan dipandangnya dla'if.
(3) Dirawikan AI-Khatib dari Abdullafi bin Jui-i Az-Zubaidi. dengan isnad dla'if.

47

(Auhallaahu 'azza wa jalla ilaa Ibraahiima 'alaihis salaam, yaa Ibraa-hiimu innii 'aliimun uhibbu kulla aliimin). Artinya : "Diwahyukan Allah kepada Nabi Ibrahim alahis salam (as) : Hai Ibrahim! Bahwasanya Aku Maha Tahu, menyukai tiap-tiap orang yang tahu (berilmu)". (1)

Bersabda Nabi saw. : (Al-'aalimu amiinullaahi subhaanahu fil ardli). Artinya : "Orang yang berilmu itu adalahl kepercayaan Allah swt. dibumi". (2)

Bersabda Nabi saw. : (Shinfaani min ummatii idzaa shaluhuu shaluhan naasu wa idzaa fasaduu fasadan naasu, al-uma raa-u wal fuqahaa-u). Artinya : "Dua golongan dari ummatku apabila baik niscaya baiklah manusia semuanya dan apabila rusak niscaya rusaklah manusia seluruhnya yaitu Amir-amir dan ahli-ahli fiqih ". (3)

Bersabda Nabi saw. :
______________________
1 Ibnu Abdul-Birri dengan citatan.
2 Dirawikan Ibnu Abdil-Birrl dari Ma'adz, dcngan sanad daif.
3 Dirawikan oleh Ibnu Abdil-Birri dan Abu Na'im dari Ibnu Abbas, dangan sanad dla'if.

48

(Idzaa ataa 'alayya yaumun laa azdaadu fiihi 'ilman yuqarribunii ilaallahi 'azza wa jalla falaa buurika lii fii tfauluu'i syamsi dzaalikal yaum). Artinya : "Apabila datanglah kepadaku hari, yang tidak bertambah ilmuku padanya, yang mendekatkan aku kepada Allah, maka tidak diberikan barakah bagiku pada terbit matahari hart itu". (1)

Nabi saw. bersabda : mengenai kelebihan ilmu dari ibadah dan mati syahid : (Fadl-lul 'aalimi 'alal 'aabidi kafadl-lii 'alaa adnaa rajulin min ash-haabii). Artinya : "Kelebihan orang berilmu dari orang 'abid (orang yang banyak ibadahnya) seperti kelebihanku dari orang yang paling rendah dari shahabatku". (2)

Lihatlah betapa Nabi saw. membuat perbandingan antara ilmu pengetahuan dan derajat kenabian. Dan bagaimana Nabi mengurangkan tingkat amal ibadah yang tidak dengan ilmu pengetahuan, meskipun orang yang beribadah itu, tidak terlepas dari pengetahuan tentang peribadatan yang selalu dikerjakan. Dan kalau tak adalab ilmu, maka itu bukanlah ibadah namanya.

Nabi saw. bersabda : (Fadl-lul 'aalimi 'alal 'aabidi kafadl-lil qamari lailatal badri 'alaa saa-iril kawaakib).- Artinya : "Kelebihan orang berilmu atas orang 'abid, adalah seperti kelebihan bulan malam purnama dari bintang-bintang yang lain". (3)

Nabi saw. bersabda :
________________
(1) Dirawikan At-Thabrani, Abu Na'im dan Ibnu Abdil-Birri dan Aisyah.
(2) Dirawikan At-Tirmidzi dirl Abi Ammah dan katanya : hadis ini hassan soheh
(3) Dirawikan Abu Dawud. At-Tirmidzi dll. darl Abi Darda’

49


(Yasyfahi yaumal qiyaamati tsalaatsatun : al-ambiyaa-u tsummal "ulamaa-u tsummasy syxihadaa-u). Artinya : "Yang memberisyafa'at pada hari qiamat ialah tiga golongan yaitu: para nabi, kemudian alim ulama dan kemudianpara syuhada". (1)

Ditinggikan kedudukan ahli ilmu sesudah nabi dan di atas orang syahid, serta apa yang tersebut dalam hadits ten tang kelebihan orang syahid.

Nabi saw. bersabda : (Maa 'ubidallaahu ta'aalaa bisyai-in a fdial a min fiqhin fid diini wa lafaqiihun waahidun asyaddu 'alasy syaithaani min alfi 'aabidin wa likulli syai-in 'imaadun wa 'imaadu haadzad diinil fiqhu). Artinya : "Tiadalah peribadatan sesuatu kepada Allah yang lebih utama daripada memahami agama. Seorang ahli fiqih adalah lebih sukar bagi setan menipunya daripada seribu orang 'abid. Tiap-tiap sesuatu, ada tiangnya. Dan tiang agama itu ialah memahaminya (ilmufiqhi) ". (2)

Nabi saw. bersabda : (Khairu diinikum aisaruhu wa khairul 'ibaadatil fiqhu). Artinya : "Yang terbaik dari agamamu ialah yang termudah dan ibadat yang terbaik ialah memahami agama". (3)
Nabi saw. bersabda :
__________
(1) Dirawikan Ibnu Majah dari Osman bin Affan Isnad dla'if.
(2) Dirawikan Ath-Thabrani dll. dari Abu Hurairah, isnad dla'if.
(3) Dirawikan Ibnu Abdil-Birri dari Anas, sanad dla'if.

50

(Fadl-lulmu'minil 'aalimi 'alal mu'minil 'aabidi bisafr'iina darajatan). Artinya : "Kelebihan orang mu 'min yang berilmu dari orang mu 'min yang 'abid ialah tujuh puluh derajat". (1)

Nabi saw. bersabda : (Innakum ash bah turn fii zamanin katsiirin fuqahaa-uhu, qaliilin qurraa-uhu wa khuthabaa-uhu, qaliilin saa-iluuhu, katsiirin mu'thuu-hu, al 'amalu fiihi khairun minal 'ilmi. Wa saya'tii 'alan naasi zamaanun qaliilun fuqahaa-uhu katsiirun khuthabaa-uhu, qaliilun mu'thuuhu katsiirun saa-iluuhu, al iltnu fiihi khairun minal 'amali). Artinya : "Bahwa kamu berada pada suatu masa yang banyak ahli fiqihnya, sedikit ahli qiraat dan ahli pidato, sedikit orang meminta dan banyak orang memberi. Dan amal pada masa tersebut lebih baik daripada ilmu. Dan akan datang kepada ummat manusia suatu masa, yang sedikit ahli fiqihnya, banyak ahli pidato, sedikit yang memberi dan banyak yang meminta. Ilmu pada masa itu lebih baik dariamal". (2)

Bersabda Nabi saw. : (Bainal 'aalimi wal 'aabidi mi-atu darajatin, baina kulli darajataini hudlrul jawaadil mudlammari sab'iina sanatan). Artinya : "Antara orang 'alim dan orang 'abid seratus derajat jaraknya. Jarak antara dua derajat itu dapat dicapai dalam masa tujuh puluh tahun oleh seekor kuda pacuan". (3)
____________
(1) Dirawikan Ibnu-Uda dari Abi Hurairah, isnad da'if.
(2) Oirawikan Ath-Thabrani dari Hizam bin Hakim, isnad dla'if.
(3) Oirawikan Ar-Ashfahani dari Ibnu Umar, dengan sanad dlaif.

51

Orang bertanya kepada Nabi saw. : "Wahai Rasulullah! Amalan apakah yang lebih baik?". Maka Nabi saw. menjawab : "Ilmu mengenai Allah 'Azza wa Jalla (Maha Mulia dan Maha Besar)!".

Bertanya pula orang itu : "Ilmu apa yang engkau kehendaki?" Nabi saw. menjawab : "Ilmu mengenai Allah swt."

Berkata orang itu lagi : "Kami menanyakan tentang amal, lantas engkau menjawab tentang ilmu". Maka Nabi saw. menjawab : "Bahwasanya sedikit amal adalah bermanfa'at dengan disertai ilmu mengenai Allah. Dan bahwasanya banyak amal tidak bermanfa'at bila disertai kebodohan mengenai Allah swt.". (1)

Nabi saw. bersabda : (Yab'atsullaahu subhaanahul 'ibaada yaumal qiyaamati, tsumma yab'atsul 'ulamaa-a tsumma yaquulu : Yaa ma'-syaral 'ulamaa-i Innii lam adla' 'ilmii fiikum illaa li'ilmii bikum. Wa lam adla' ' ilmii fiikum li-u'adzdzibakum. Idzhabuu faqad ghafartu lakum). Artinya :
"Allah swt, membangkitkan hamba-hambaNya pada hari qiamat. Kemudian membangkitkan orang-orang 'alim seraya berfirman : "Hai orang 'alim! Bahwasanya Aku tidak meletakkan ilmuKu padamu selain karena Aku mengetahui tentang kamu. Dan tidak Aku meletakkan ilmuKu padamu untuk memberi adzab kepadamu. Pergilah! Aku telah mengampunkan segala dosamu ". (2) Kita bermohon kepada Allah akan husnul-khatimah!.

Adapun atsar (kata-kata shahabat Nabi saw. dan pemuka-pemuka Islam lainnya) yaitu : Ali bin Abi Thalib ra. berkata kepada Kumail : "Hai Kumail!
____________
(1) Dirawikan Ibnu Abdil-Birri dari Anas dengan sanad dla'if.
(2) Dirawikan Ath-Tabrani dari Abi Musa, dengan sanad dla'if.

52

Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta itu terhu-kum. Harta itu berkurang apabila dibelanjakan dan ilmu itu bertam-bah dengan dibelanjakan".

Berkata pula Ali ra. : "Orang berilmu lebih utama daripada orang yang selalu berpuasa, bershalat dan berjihad. Apabila mati orang yang berilmu, maka terdapatlah suatu kekosongan dalam Islam yang tidak dapat ditutup selain orang penggantinya".

Berkata pula Ali ra. dengan sajak ;
Tidaklah kebanggaan selain bagi ahli ilmu,
Mereka memberi petunjuk kepada orang yang meminta di tunjukkan.
Nilai manusia adalah dengan kebaikan yang dikerjakannya, Dan orang-orang bodoh itu adalah musuh ahli ilmu.
Menanglah engkau dengan ilmu, hiduplah lama!. Orang lain mati, ahli ilmu itu terus hidup.

Berkata Abul-Aswad : "Tidak adalah yang lebih mulia dari ilmu. Raja-raja itu menghukum manusia dan 'alim ulama itu menghukum raja-raja".

Berkata Ibnu Abbas ra. : "Disuruh pilih pada Sulaiman bin Daud as. antara ilmu, harta dan kerajaan. Maka dipilihnya ilmu, lalu dianugerahkanlah kepadanya harta dan kerajaan bersama ilmu itu".

"Ditanyakan kepada Ibnul Mubarak : "Siapakah manusia itu?".
Maka ia menjawab : "Orang-orang yang berilmu''.

Lalu ditanyakan pula : "Siapakah raja itu?".
Maka ia menjawab : "Orang yang zuhud (tidak terpengaruh dengan kemewahan dunia).

Ditanyakan pula : "Siapakah orang hina itu?".
Maka ia menjawab": "Mereka yang memakan (memperoleh) dunia dengan agama".

Ibnul Mubarak tidak memasukkan orang tak berilmu dalam golongan manusia. Karena ciri yang membedakan antara manusia dan hewan, ialah ilmu. Maka manusia itu adalah manusia, di mana ia menjadi mulia karena ilmu. Dan tidaklah yang demikian itu disebabkan kekuatan dirinya. Unta adalah lebih kuat daripada manusia. Bukanlah karena besarnya. Gajah lebih besar daripada manusia

53

bukanlah karena beraninya. Binatang buas lebih berani daripada manusia. Bukanlah karena banyak makannya. Perut lembu lebih besar daripada perut manusia. Bukanlah karena kesetubuhannya dengan wanita. Burung pipit yang paling rendah lebih kuat bersetubuh, dibandingkan dengan manusia. Bahkan, manusia itu tidak dijadikan, selain karena ilmu.

Berkata setengah ulama : "Wahai kiranya, barang apakah yang dapat diperoleh oleh orang yang ketiadaan ilmu dan barang apakah yang hilang dari orang yang memperoleh ilmu".

Bersabda Nabi saw. : (Man uutiyal Qur-aana fara-aa anna ahadan uutiya khairan minhu faqad haqqara maa 'adhdhamallaahu ta'aalaa). Artinya : "Barangsiapa dihadiahkan hepadanya Al-Quran lalu ia memandang ada lain yang lebih baik daripadanya, maka orang itu telah menghinakan apa yang dibesarhan oleh Allah Ta'ala".

Bertanya. Fathul-Mausuli ra. : "Bukankah orang sakit itu apabila tak mau makan dan minum, lalu mati?". Menjawab orang dikelilingnya : "Benar!". Lalu menyambung Fathul-Mausuli : "Begitu pula hati, apabila tak mau kepada hikmah dan ilmu dalam tiga hari, maka matilah hati itu"

Benarlah perkataan itu, karena sesungguhnya makanan hati itu ialah ilmu dan hikmah! Dengan dua itulah, hidup hati, sebagaimana tubuh itu hidup dengan makanan.

Orang yang tak berilmu, hatinya menjadi sakit dan kematian hatinya itu suatu keharusan. Tetapi, dia tidak menyadari demikian, karena kecintaan dan kesibukannya dengan dunia, menghilangkan perasaan itu, sebagaimana kesangatan takut, kadang-kadang menghilangkan kepedihan luka seketika, meskipun luka itu masih ada.

Apabila mati itu telah menghilangkan kesibukan duniawi, lalu ia merasa dan merugi besar. Kemudian, itu tidak bermanfa'at baginya.

54

Yang demikian itu, seperti : dirasakan oleh orang yang telah aman dari ketakutan dan telah sembuh mabuk, dengan luka-luka yang diperolehnya dahulu sewaktu sedang mabuk dan takut. Kita berlindung dengan Allah dari hari pembukaan apa yang tertutup. Sesungguhnya manusia itu tertidur. Apabila mati, maka dia terbangun. Berkata Al-Hassan ra. : "Ditimbang tinta para ulama dengan darah para syuhada'. Maka beratlah timbangan tinta para ulama itu, dari darah para syuhada' ".

Berkata Ibnu Mas'ud ra. : "Haruslah engkau berilmu sebelum ilmu itu diangkat. Diangkat ilmu adalah dengan kematian perawi-perawinya. Demi Tuhan yang jiwaku di dalam kekuasaanNya!. Sesungguhnya orang-orang yang syahid dalam perang sabil, lebih suka dibangkitkan oleh Allah nanti sebagai ulama. Karena melihat kemuliaan ulama itu. Sesungguhnya tak ada seorangpun yang dilahirkan berilmu. Karena ilmu itu adalah dengan belajar".

Berkata Ibnu Abbas ra. : "Bertukar-pikiran tentang ilmu sebahagian dari malam, lebih aku sukai daripada berbuat ibadah di malam itu". Begitu juga menurut Abu Hurairah ra. dan Ahmad bin Hanbal ra. Berkata Al-Hasan tentang firman Allah Ta'ala : S. Al-Baqarah, ayat 201. Artinya : "Wahai Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan pula di hari akhirat ". (S. Al-Baqarah, ayat 201).

bahwa kebaikan di dunia itu ialah ilmu dan ibadah, sedang kebaikan di akhirat itu, ialah sorga.
Ditanyakan kepada setengah hukama' (para ahli hikmah) : "Barang apakah yang dapat disimpan lama?".

Lalu ia menjawab : "Yaitu barang-barang, apabila kapalmu karam, maka dia berenang bersama kamu, yakni : ilmu. Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan karam kapal ialah binasa badan, dengan mati.

Berkata setengah hukama' : "Barangsiapa membuat ilmu sebagai kekang di mulut kuda, niscaya dia diambil manusia menjadi imam. Dan barangsiapa dikenal dengan hikmahnya, niscaya dia diperhatikan oleh semua mata dengan mulia".

55

Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Diantara kemuliaan ilmu, ialah, bahwa tiap-tiap orang dikatakan berilmu, meskipun dalam soal yang remeh, maka ia gembira. Sebaliknya, apabila dikatakan tidak, maka ia merasa sedih".

Berkata Umar ra. : "Hai manusia! Haruslah engkau berilmu! Bahwasanya Allah swt. mempunyai selendang yang dikasihiNya. Barangsiapa mencari sebuah pintu dari ilmu, maka ia diselendangi Allah dengan selendangNya. Jika ia berbuat dosa, maka dimintanya kerelaan Allah tiga kali, supaya selendang itu tidak di buka daripadanya dan jika pun berkepanjangan dosanya sampai ia mati".

Berkata Al-Ahnaf ra. : "Hampirlah orang berilmu itu dianggap sebagai Tuhan. Dan tiap-tiap kemuliaan yang tidak dikuatkan dengan ilmu, maka kehinaanlah kesudahannya". Berkata Salim bin Abil-Ja'ad : "Aku dibeli oleh tuanku dengan harga 300 dirham lalu dimerdekakannya aku. Lalu aku bertanya : "Pekerjaan apakah yang akan aku kerjakan?". Maka bekerjalah aku dalam lapangan ilmu. Tak sampai setahun kemudian, datanglah berkunjung kepadaku amir kota Madinah. Maka tidak aku izinkan, ia masuk".

Berkata Zubair bin Abi Bakar : "Ayahku di Irak menulis surat kepadaku. Isinya diantara lain, yaitu : "Haruslah engkau berilmu! Karena jika engkau memerlukan kepadanya, maka ia menjadi harta bagimu. Dan jika engkau tidak memerlukan kepadanya, maka ilmu itu menambahkan keelokanmu".

Diceriterakan juga yang demikian dalam nasehat Luqman kepada anaknya. Berkata Luqman : "Hai anakku! Duduklah bersama ulama.' Rapatlah nrereka dengan kedua lututmu! Sesungguhnya Allah swt. menghidupkan hati dengan nur-hikmah (sinar ilmu) seperti menghidupkan bumi dengan hujan dari langit". "Berkata setengah hukama' : "Apabila meninggal seorang ahli ilmu, maka ia ditangisi oleh ikan di dalam air dan burung di udara. Wajahnya hilang tetapi sebutannya tidak dilupakan". Berkata Az-Zuhri : "Ilmu itu jantan dan tidak mencintainya selain oleh laki-laki yang jantan".

56

KEUTAMAAN BE LAJAR

Ayat-ayat yang menerangkan keutamaan belajar yaitu firman Allah Ta'ala : (Falaulaa nafara min kulli firqatin minhum thaaifatun liyatafaqqa-huu fiddiin). (S. At-Taubah, ayat 122). Artinya : "Mengapa tidak pula berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan itu untuk mempelajariperkara agama". (S. At-Taubah, ayat 122).

Dan firman Allah 'Azza wa Jalla : (Fas-aluu ahladz dzikri in kumtum laa talamuun). (S. An-Nahl, ayat 43). Artinya : '"Maka bertanyalah kamu kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu". (S. An-Nahl, ayat 43).

Adapun hadits Nabi saw. diantara lain sabdanya : (Man salaka thariiqan yathlubu fiihi 'ilman salakallaahu bihi tharii-qan ilal jannah). Artinya : "Barangsiapa menjalani suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka dianugerahi Allah kepadanya jalan he sorga". (1)

Bersabda Nabi saw. :
_________
(1) Dirawikan Muslim dari Abi Hurairah.

57

Artinya: "Sesungguhnya malaikat itu membentangkan sayapnya kepada penuntut ilmu, tanda rela dengan usahanya itu ". (1)

Dan sabda Nabi saw. : (Loan tahgduwa fatata'allama baaban minal 'ilmi khairun min an tuahalliya mi-ata rak'atin). Artinya : "Bahwa sesungguhnya engkau berjalan pergi mempelajari suatu bab dari ilmu adalah lebih baik daripada engkau melakukan shalat seratus raka'at". (2)

Bersabda Nabi saw. : (Baabun minal 'ilmi yata'allamuhur rajulu khairun lahuu minad dunyaa wa maa fiihaa). Artinya : "Suatu bah dari ilmu yang dipelajari seseorang, adalah lebih baik baginya dari dunia dan isinya". (3)

Bersabda Nabi saw. : (Uthlubul 'ilma wklau bish shun) Artinya : "Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina sekalipun ". (4)
_______________
(1) Dirawikan Anmad. Ibnu Hibban din Al-Hakim dari Shafwan bin Assal.
(2) Dirawikan Ibnu Abdul-Birri dari Abu Zar
(3) Dirawikan Ibnu Hibban dan Ibnu Abdul-Birri dari Al-Hassan Al-Bashari.
(4) Dirawikan Ibnu Uda dari AI-Baihaqi dan Anas.

58

Lalu orang bertanya : "Wahai Rasulullah! Dari membaca Al-Qur-an?': Maka menjawab Nabi saw. : "Adakah manfa'at Al-Qur-an itu selain dengan ilmu?".
Bersabda Nabi saw. : "Barangsiapa meninggal dunia sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan Islam, maka antara dia dan Nabi-Nabi dalam sorga sejauh satu tingkat".

Menurut atsar (kata-kata shahabat Nabi dan pemuka-pemuka Islam), maka berkata Ibnu Abbas ra. : "Aku telah menghinakan seorang penuntut ilmu, lalu aku memuliakan yang dituntutnya". Demikian pula berkata Ibnu Abi Mulaikah ra. :
"Belum pernah aku melihat orang seperti Ibnu'Abbas. Apabila aku melihatnya maka tampaklah, mukanya amat cantik. Apabila ia berkata-kata maka lidahnya amat lancar. Dan apabila ia memberi fatwa maka dialah orang yang amat banyak ilmunya".

Berkata Ibnul Mubarak ra. : "Aku heran orang yang tidak menuntut ilmu! Bagaimana ia mau membawa dirinya kepada kemuliaan".

Berkata setengah hukama' : "Sesungguhnya aku tidak belas kasihan kepada orang-orang, seperti belas kasihanku kepada salah seorang dari dua : orang yang menuntut ilmu dan tidak memahaminya dan orang yang memahami ilmu dan tidak menuntutnya".

Berkata Abud Darda' ra. : "Lebih suka aku mempelajari satu masalah, daripada mengerjakan shalat satu malam ". Dan ditambahkannya pula : "Orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu, berserikat pada kebajikan. Dan manusia lain adalah bodoh, tak ada kebajikan padanya".

Dan katanya lagi : "Hendaklah engkau orang berilmu atau belajar atau mendengar ilmu dan janganlah engkau orang keempat (tak termasuk salah seorang dari yang tiga tadi) maka binasalah engkau".

Berkata 'Ata' : "Suatu majelis ilmu itu, akan menutupkan dosa tujuh puluh majelis yang sia-sia".
Berkata Umar ra. : "Meninggalnya seribu 'abid, yang malamnya mengerjakan shalat dan siangnya berpuasa, adalah lebih mudah, daripada meninggalnya seorang alim yang mengetahui yang dihalalkan dan yang diharamkan Allah ".

60

Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Menuntut ilmu adalah lebih utama daripada berbuat ibadah sunnah".
Berkata Ibnu Abdil Hakam ra. : "Adalah aku belajar ilmu pada Imam Malik. Lalu masuk waktu Dhuhur. Maka aku kumpulkan semua kitab untuk mengerjakan shalat.

Maka berkata Imam Malik : "Hai, tidaklah yang engkau bangun hendak mengerjahannya itu, lebih utama daripada apa yang ada engkau di dalamnya, apabila niat itu benar".

Berkata Abud-Darda' ra. : "Barangsiapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan jihad, maka adalah dia orang yang kurang pikiran dan akal".

61

KEUTAMAAN MENGAJAR
Ayat-ayat yang menerangkan keutamaan mengajar, yaitu firman Allah 'Azza wa Jalla : (Wa liyundziruu Qaumahum idzaa raja'uu ilaihim la'allahum yah-dzaruun) (S. At-Taubah, ayat 122).
Artinya : "Supaya mereka dapat memberikan peringatan kepada kaumnya bila telah kembali kepada mereka. Mudah-mudahan mereka berhati-hati (menjaga dirinya)". (S. At-Taubah, ayat 122).

Yang dimaksud ialah mengajar dan memberi petunjuk. Dan firman Allah Ta'ala : (Wa-idz akhadzallaahu miitsaaqalladziina uutul kitaaba latubayyi-nuiinahu linnaasi walaa taktumuunahu). S. Aali 'Imraan, ayat 187.

Artinya : "Tatkala diambil oleh Allah akan janji dari mereka yang diberikan Kitab supaya diterangkannya kepada manusia dan tidah disembunyikannya". (S. AH 'Imran, ayat 187).

Ini membuktikan akan kewajiban mengajar. Dan firman Allah Ta'ala : Wa inna fariiqan minhum layaktumuunal haqqa wa hum yalamuun) (S. Al-Baqarah, ayat 146). Artinya : "Sesungguhnya satu golongan dari mereka menyembunyikan kebenaran sedang mereka itu mengetahuinya ". (S. Al-Baqarah, ayat 146)

62

Ini menunjukkan haram menyembunyikan ilmu, seperti firmanNya tentang menjadi saksi : (Wa man yaktumhaa fainnahuu aatsimun qalbuh). (S. Al-Baqarah, ayat 283). Artinya : "Dan barangsiapa menyembunyikan kesaksian (tak mau menjadi saksi) maka berdosalah hatinya (ia menjadi orang yang berdosa". (S. Al-Baqarah, ayat 283)

Bersabda Nabi saw. : (Maa aatallaahu 'aaliman 'ilman illaa wa akhadza 'alaihi minal mii-tsaaqi maa akhadza 'alan nab iyyiina an yubayyinuuhu linnaasi wa laa yaktumuuhu). Artinya : "Tidak diberikan oleh Allah kepada seseorang yang berilmu akan ilmu, melainkan telah diambilNya janji seperti yang diambilNya kepada Nabi-Nabi, bahwa mereka akan menerangkan ilmu itu kepada manusia dan tidak akan menyembunyikannya". (1)

Dan firman Allah swt. : (Wa manahsanu qaulan mimman da'aa ilallaahi wa 'amila shaaliha). (S. Haa Mim as-Sajadah, ayat 331). Artinya : "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang memanggil kepada Allah dan dia berbuat amalan yang shalih?". (S. Haa Mim as-Sajadah, ayat 33).

Dirawikan Abu Na'im dari tbnu Mas'ud.

63

Berfirman Allah Ta'ala : (Ud'u ilaa sabiili rabbika bilhikmati wal mau'idhatil hasanah). (S. An-Nahl, ayat 125). Artinya : "Serukanlah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pengajaran yang baik ". (S. An-Nahl, ayat 125).

Berfirman Allah Ta'ala : (Li-an yahdiyallaahu bika rajulan waahidan khairun laka minad dun-ya wa maa fiihaa). Artinya : "Bahwasanya dengan sebabmu diberi petunjuk oleh Allah akan seseorang, lebih baik bagimu daripada dunia dan isinya". (1)

Bersabda Nabi saw. : (Man ta'allama baaban minal 'ilmi liyu'alliman naasa u'thiya tsawaaba sab'iina shiddiiqaa). [ (Wa yu'aUimuhumul kitaaba wal hikmah). (S. Al-Baqarah, ayat 129).

Artinya: "DiajariNya mereka akan kitab dan kebijaksanaan ". (S. Al-Baqarah, ayat 129).

64

Adapun hadits yang menerangkan keutamaan mengajar, yaitu sabda Nabi saw. kepada Mu'az ketika diutusnya ke Yam an : ! Artinya : "Barangsiapa mempelajan satu bob dari ilmu untuk diajarkannya kepada manusia, maka ia diberikan pahala tujuh puluh orang shiddiq (orang yang selalu benar, membenarkan Nabi, seumpama Abu Bakar Shiddiq ". (1 )

Bersabda Nabi Isa as. : (Man 'alima wa 'amila wa 'allama, fadzaalika yud'aa "adhiiman fii malakuutis samaawaat).

Artinya : "Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajar, maka orang itu disebut "orang besar" di segala petala langit".

Bersabda Nabi saw. : "Apabila datang hari qiamat nanti, maka berfirman Allah swt. kepada orang 'abid dan orang berjihad: "Masuklah ke dalam sorga!". Maka berkata para ulama: "Dengan kelebihan pengetahuan kami, mereka beribadah dan berjihad". Maka berfirman Allah 'Azza wa Jalla: "Kamu disisiKu seperti sebahagian malaikatKu. Berbuatlah syafa'at, niscaya kamu mendapat syafa'at. Lalu mereka berbuat syafa'at. Kemudian merekapun masuk sorga".

Dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang dengan memberi pengajaran. Tidak ilmu yang beku, yang tidak berkembang. Bersabda Nabi saw. (Innallaaha 'azza wa jalla laa yantazi'ul 'ilman tizaa'an minan naaci ba'-da an yu'-tiyahum iyyaahu wa laakin yadzhabu bidzahaabil 'ulamaa'. Fakullamaa dzahaba 'aalimun dzahaba bimaa ma'ahu minal 'ilmi hattaa idzaa lam yubqi illaa ru-asaa-a juhhalan, in suiluu aftau bighairi 'ilmin fayadlilluuna wa yudlilluun).
_______________
1 Dirawtkan Abu Manshur Ad-Dailami dari Ibnu Mas'ud, dengan sanad dla'if.

65

Artinya : "Bahawa Allah 'Azza wa Jalla tidak mencabut ilmu dan manusia yang telah dianugerahiNya, tetapi ilmu itu pergi, dengan perginya (mati) para ahli umu. Tiap kali pergi seorang ahli ilmu, maka pergilah bersamanya ilmunya. Sehingga tak ada yang tinggal lagi, selain dari kepala-kepala yang bodoh. Jika ditanya lalu memberi fatwa dengan tiada ilmu. Maka sesatlah mereka sendiri dan menyesatkan pula orang lain ". (1)

Bersabda Nabi saw. : (Man 'alima 'ilman fakatamahu aljamahullaahu yaumal qiyaamati bilijaamin min naar). Artinya : "Barangsiapa mengetahui sesuatu ilmu, lalu mengembunyikannya, maka ia dikenakan oleh Allah kekang, dengan kekang api neraka, pada hari qiamat". (2)

Bersabda Nabi saw. : (Ni'mal'athiyyatuwa ni'mal hadiyyatu kalimatu hikmatin tasma-'uhaa fatathwii 'alaihaa tsumma tahmiluhaa ilaa akhin laka musli-min tu'allimuhu iyyaahaa ta'dilu 'ibaadata sanah). Artinya : "Sebaik-baik pemberian dan hadiah ialah kata-kata berhikmah. Engkau dengar lalu engkau simpan baik-baik. Kemudian engkau bawakan kepada saudaramu muslim. Engkau ajari dia. Perbuatan yang demikian, menyamai 'ibadah setahun". (3)

Bersabda Nabi saw. :
_____________
(1) Dirawikan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr.
(2) Dirawikan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Hurairah. Kata At-Tirmidzi,hadits hasan
(3) Dirawikan oleh AthrThabrani dari Ibnu Abbas, isnad dla'if.

66

(Ad-dun-yaa mal'uunatun mal'uunun maa.fiihaa illaa dzikrallaahi subhaanahu wa maa waalaahu au mu'alliman au muta'alliman). Artinya : "Dunia itu terkutuk bersama isinya, selain berdzikir kepada Allah swt, dan apa yang disukai Allah atau menjadipengajaratau pelajar '.'(1)

Bersabda Nabi saw. (Innallaaha subhaanahu wa maladikatahu wa ahla samaawaatihi wa ardlihi hattan namlata fii juhrihaa wa hattal huuta fil bahri layu-shatluuna 'alaa mu'allimin naasil khair).
Artinya : "Bahwasanya Allah swt., malaikat-malaikatNya, isi langit dan buminya, sampai kepada semut di dalam lobang dan ikan di dalam laut, semuanya berdo 'a kebajikan kepada orang yang mengajarkan manusia". (2)

Bersabda Nabi saw. : (Maa afaadal muslimu akhaahu faaidatan afdlala min hadiitsin hasanin, balaghahu fa ballaghahu). Artinya : "Tiadalah seorang muslim memberi faedah kepada saudaranya yang lebih utama dan pembicaraan yang baik, yang sampai kepadanya, lalu disampaikannya kepada saudaranya itu ". (3)

Bersabda Nabi saw. :
___________________
(1) Dirawikan oleh At-Tirmidzi din Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Kala At-Tirmidzi, hadits hasan, gharfb.
(2) Dirawikan oleh AtTirmidzi dari Abi Amamah. Katanya hadlts gnarib.
W Dirawikan oleh Ibnu'Abdil-Barri dari Muhammad bin AI-Munkadir, naditi mursal.

67

(Kalimatun minal khairi yasma'uhal mu'minu fayu'allimuhaa wa ' ya'malu bihaa khairun lahu min 'ibaadati sanah). Artinya : "Sepatah kata kebajikan yang didengar oleh orang mu'min, lalu diajarinya dan diamalkannya, adalah lebih baik baginya dari ibadah setahun ". (1)

Pada suatu hari Rasulullah keluar berjalan-jalan, lalu melihat dua majelis. Yang satu, mereka itu berdo'a kepada Allah dan ingin kepadaNya hati. Yang kedua mengajarkan manusia. Maka bersabda Nabi saw. : "Adapun mereka itu bermohon kepada Allah Ta'ala. Jika dikehendakiNya, maka dikabulkanNya, Jika tidak dikehendakiNya, maka ditolakNya. Sedang mereka yang satu majelis lagi, mengajarkan manusia dan aku ini diutuskan untuk mengajar".

Kemudian Nabi menoleh ke majelis orang mengajar, lalu duduk bersama mereka. (2)

Bersabda Nabi saw. : "Contohnya aku diutuskan oleh Allah dengan petunjuk dan ilmu, adalah seumpama hujan lebat yang menyirami bumi. Diantaranya ada sepotong tanah yang menerima air hujan itu, lalu menumbuhkan banyak rumput dan hilalang. Diantaranya ada yang dapat membendung air itu, lalu dimanfa'atkan oleh Allah 'Azza wa Jalla kepada manusia. Maka mereka minum, menyiram dan bercocok tanam. Dan ada sebahagian tempat yang rata, yang tidak membendung air dan tidak menumbuhkan rumput". (3)

Contoh pertama disebutnya, adalah sebagai tamsil teladan bagi orang yang dapat mengambil faedah dengan ilmunya. Contoh kedua disebutnya, ialah bagi orang yang dapat memanfa'atkannya. Dan contoh ketiga adalah bagi orang yang tak memperoleh apa-apa dari yang dua itu. Bersabda Nabi saw. :
____________
(1) Dirawikan Ibnul Mubarak dari Zaid bin Aslant, hadits mursal.
(2) Diwarikan Ibnu Majah dari Abdullah bin ‘Amr, dengan sanad da’if.
(3) Diwarikan AI-Bukhari dan Muslim dari Abi Musa.

68

(Idzaa maatabnu Aadaman qatha'a 'amaluhu illaa min tsalaatsin : 'ilmin yuntafa'u bihi ............ al hadits). Artinya : "Apabila mati seorang anak Adam, putuslah amal perbuatannya selain dari tiga perkara, yaitu ilmu yang dimanfa'atkan". (1)

Bersabda Nabi saw. : (Ad-dallu 'alal khairi kafaa'ilih). Artinya : "Menunjuk kepada kebajikan, adalah seperti mengerjakannya". (2)

Bersabda Nabi saw. : (Laa hasada illaa fitsnataini : rajulin aataahullaahu 'azza wa jalla hikmatan fahuwa yaqdlii bihaa wa yu'allimuhan naasu wa rajulin aataahullaahu maalan fasallathahu 'alaa halakatihi fil khair). Artinya : "Tak boleh iri hati selain pada dua: pertama pada orang yang dianugerahi Allah Ta'ala ilmu, maka ditegakkannya keadilan dengan ilmunya dan diajarkannya manusia. Dan kedua pada orang yang diberikan oleh Allah Ta'ala harta, maka dipergunakannya pada jalan kebajikan ". (3)

Bersabda Nabi saw. :
__________
1) Dirawikan Muslim dan Abu Hurairah. Yang disebut di sini, hanya satu. Maka dua lagi, ialah : sedekah jariah (waqaf) dan anak yang shaleh yang berdoa kepadanya.
2) Dirawikan At-Tirmidzi dari Anas, katanya : hadits gharib.
3) Dirawikan AI'Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud.

69

(Alaa khulafaa-ii rahmatullaah. Qiila : wa man khulafaauk? Qaala : alladziina yuhyuuna sunnatii wa yu'allimuhaa 'ibaadallaah). Artinya : "Rahmat Allah kepada khalifah-khalifahhu!". Siapa khalifahmu?", tanya orang. Nabi saw. menjawab : "Mereka yang menghidupkan sunnah ku dan mengajarkannya kepada hamba Allah", (1)

Menurut atsar, yaitu berkata Umar ra. : "Barangsiapa menceriterakan suatu hadits, lalu diamalkan orang, maha baginya pahala seperti pahala yang diperoleh ole.h orang yang mengamalkannya ". Berkata Ibnu Abbas ra. : "Orang yang mengajarkan kebajikan kepada orang banyak, niscaya diminta ampun dosunya oleh segala sesuatu, hatta ikan di dalam laut".

Berkata setengah ulama : "Orang berilmu itu masuk antara Allah dan makhlukNya. Maka hendaklah ia memperhatikan, bagaimana ia masuk ".

Diriwayatkan bahwa Sufyan Ats-Tsuri ra. datang ke 'Aska-lan. Lalu ia berhenti pada suatu tempat dan tiada orang yang menanyakan halnya. Maka ia berkata : "Koreklah tanah bagiku supaya aku ke luar dari negeri ini. Ini adalah negeri, yang mati padanya ilmu ". Dia mengatakan demikian, karena ingin menerangkan keutamaan mengajar dan kekekalan ilmu dengan adanya pengajaran.

Berkata 'Atha' ra. : "Aku masuk ke tempat Sa'id bin Al-Musayyab dan ia sedang menangis. Lalu aku bertanya : "Apakah yang menyebabkan engkau menangis?". Ia menjawab : "Karena tak ada orang yang menanyakan sesuatu kepadaku…!

Berkata setengah mereka : "Ulama itu lampu segala masa. Masing-masing ulama itu menjadi lampu zamannyu. Orang-orang yang semasa dengan dia dapat memperoleh nur daripadanya". Berkata Al-Hassan ra. : "Kalau tak adalah orang yang berilmu, niscaya jadilah manusia itu seperti hewan. Artinya: dengan mengajar, para ahli ilmu itu, mengeluarkan manusia dari batas kehewanan, kepada batas kemanusiaan ".

Berkata 'Akramah : "Bahawa ilmu ini, mempunyai harga". Lalu orang menanyakan :" Apakah harganya itu?". 'Akramah menjawab:
_____________
(1) Dirawikan Ibnu Abdil-Barr dari AI-Hasan, hadits mursal.

70

"Bahwa engkau letakkan pada orang yang bagus membawanya dan tidak menyia-nyiakannya".

Berkata Yahya bin Mu'az: "Ulama itu lebih mencintai ummat Nabi Muhammad saw., daripada bapak dan ibu mereka sendiri".

Lalu orang menanyakan: "Bagaimanakah demikian?'" Yahya menjawab: "Sebabnya, karena bapak dan ibu mereka menjaganya daripada neraka dunia, sedang para ulama menjaganya daripada neraka akhirat".

Orang mengatakan : "Permulaan ilmu itu berdiam diri, kemudian mendengar, kemudian menghafal, kemudian mengerjakan dan kemudian menyiarkannya".

Ada orang mengatakan : "Ajarilah ilmumu akan orang yang bodoh! Dan belajarlah dari orang yang berilmu akan apa yang engkau tak tahu! Apabila engkau berbuat demikian, maka engkau tahu apa yang engkau tidak ketahui dan engkau hafal apa yang sudah engkau ketahui".

Berkata Mu'az bin Jabal mengenai mengajar dan belajar dan aku berpendapat bahwa perkataan ini juga adalah hadits marfu' : "Pelajarilah ilmu! Maka mempelajarinya karena Allah itu taqwa. Menuntutnya itu ibadah. Mengulang-ulanginya itu tasbih. Membabahaskannya itu jihad. Mengajarkan orang yang tidak tahu itu sedekah. Memberikannya kepada ahlinya itu mendekatkan diri kepada Tuhan. Ilmu itu tcman waktu sendirian dan kawan waktu kesepian, penunjuk jalan kepada agama, pemberi nasehat bersabar waktu suka dan duka, seorang menteri di tengah-tengah teman sejawat, seorang keluarga di tengah-tengah orang asing dan sinar jalan ke sorga. Dengan ilmu, diangkat oleh Allah beberapa kaum, lalu dijadikanNya mereka pemimpin, penghulu dan penunjuk jalan pada kebajikan. Diambil orang menjadi ikutan dan penunjuk jalan pada kebajikan. Jejak mereka diikuti, perbuatan mereka diperhatikan. Malaikat suka kepada tingkah lahu mereka. Disapunya mereka dengan sayapnya. Seluruh yang basah dan yang kering meminta ampun akan dosa mereka, hatta ikan dan binatang laut, binatang buas dan binatang jinah di darat, langit dan bintang-bintangnya". m Karena ilmu itu, kehidupan hati dari kebutaan, sinar penglihatan dari kedhaliman dan tenaga badan dari kelemahan. Dengan ilmu.
__________
(1) Dirawikan Abusy Syaikh Ibnu Hibban dan Ibnu Abdil-Barr. Katanya : tidak mempunyai Isnad yang kuat.

71

hamba Allah itu, sampai ke tempat orang baik-baik dan derajat tinggi. Memikirkan ilmu seimbang dengan berpuasa. Mengulang-ulanginya seimbang dengan mengerjakan shalat. Dengan ilmu, orang ta'at kepada Allah 'Azza wa Jalla, beribadah, berjanji, bertauhid, menjadi mulia, menjadi wara', menyambung silaturrahmi dan mengetahui halal dan haram. Ilmu itu imam dan amal itu pengikutnya. Diilhamkan ilmu kepada orang-orang berbahagia dan diharamkan kepada orang-orang celaka. Kita bermohon kepada Allah taufiq yang baik.

72

TENTANG DALIL-DALIL AKAL

Ketahuilah, bahwa yang dicari dari bab ini, ialah mengenal al-fadliilah (kelebihan) dan kenilaian ilmu. Dan selama belum dipahami kelebihan itu sendiri dan tidak diselidiki maksud daripadanya, maka tak mungkinlah diketahui adanya kelebihan itu menjadi sifat bagi ilmu atau bagi yang lain dari segala persoalan.

Maka sesungguhnya, telah sesat jalan orang yang ingin mengetahui bahwa si Zaid itu seorang filosuf atau bukan, sedang dia belum lagi mengetahui arti dan hakikat ilmu filsafat itu.

Al-fadliilah, berasal dari perkataan al-fadlli, yaitu lebih (az-ziadah). Apabila bersekutulah dua benda dalam sesuatu hal dan salah satu daripada keduanya, tertentu dengan suatu kelebihan, maka dikata-kanlah: itu kelebihannya. Dan ia mempunyai kelebihan dari yang daripadanya, manakala kelebihannya itu mengenai yang menjadi kesempurnaan sesuatu itu sendiri. Umpamanya dikatakan : kuda itu lebih utama dari keledai, dengan arti : bahwa kuda bersekutu dengan keledai tentang sama-sama mempunyai kekuatan mengangkut. Tetapi kuda melebihi dari keledai, dengan kekuatan tampil ke depan, berlari dan ketangkasan melompat serta kebagusan bentuk.

Kalau diumpamakan : keledai itu mempunyai suatu kelebihan daging tumbuh, maka itu tidaklah dikatakan suatu kelebihan. Karena itu adalah suatu tambahan pada tubuh dan suatu kekurangan dalam arti yang sebenarnya. Jadi, tidaklah termasuk kesempurnaan sedikitpun. Dan hewan itu dicari untuk maksud dan sifatnya, tidak untuk tubuhnya.

Apabila ini telah anda pahami, maka tidaklah tersembunyi lagi bagi anda, bahwa ilmu itu suatu kelebihan, bila dibandingkan dengan sifat-sifat yang lain, sebagaimana kuda itu mempunyai suatu kelebihan, bila dibandingkan dengan hewan-hewan yang lain. Bahkan kecepatan melompat, adalah suatu kelebihan pada kuda dan tidaklah itu suatu kelebihan mutlak.

Ilmu itu adalah suatu kelebihan pada dirinya dan secara mutlak tanpa diperhubungkan kepada yang lain. Karena ilmu itu adalah sifat kesempurnaan bagi Allah swt. Dengan ilmulah, mulia para malaikat dan Nabi-Nabi. Bahkan kuda yang cerdik adalah lebih baik dari kuda yang bodoh.

73

Dari itu, ilmu itu suatu kelebihan mutlak, tanpa diperhubungkan dengan yang lain.
Ketahuilah, bahwa sesuatu yang bernilai lagi digemari itu, terbagi kepada :
a. dicari untuk lainnya.
b. dicari karena benda itu sendiri.
c. dicari untuk tujuan lainnya dan bersama untuk benda itu sendiri.

Maka yang dicari karena benda itu sendiri, adalah lebih mulia dan lebih utama daripada yang dicari untuk lainnya. Yang dicari untuk lainnya, ialah dirham dan dinar. Keduanya adalah batu, tak ada gunanya. Kalau tidaklah Allah Ta'ala menjadikan keduanya untuk memudahkan memperoleh keperluan hidup, maka dirham dan dinar itu sama saja dengan batu yang terletak di tepi jalan.

Yang dicari untuk benda itu sendiri yaitu kebahagiaan di akhirat dan kesenangan memandang Wajah Allah swt. Dan yang dicari untuk benda itu sendiri dan untuk lainnya, seperti : keselamatan tubuh. Keselamatan seseorang itu -umpamanya- dicari, dari segi, bahwa keselamatan itu, adalah keselamatan bagi tubuh, dari kepedihan. Dan dengan keselamatan itu, dicari untuk berjalan dan mencapai maksud-maksud dan hajat keperluan.

Dengan pandangan tersebut, apabila anda perhatikan kepada ilmu, niscaya anda memperoleh pada ilmu itu sendiri suatu kesenangan. Jadi, ilmu itu termasuk dicari untuk ilmu itu sendiri. Dan anda peroleh bahwa ilmu itu jalan ke negeri akhirat, kebahagiaan akhirat dan jalan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Dan tidak akan sampai kepadaNya, selain dengan ilmu.

Kedudukan yang tertinggi bagi seorang manusia, ialah kebahagiaan abadi. Dan suatu yang paling utama, ialah jalan kepadanya. Dan tidak akan sampai kepadanya selain dengan ilmu dan amal. Dan tidak akan sampai kepada amal, selain dengan mengetahui cara beramal.

Maka asal kebahagiaan di dunia dan di akhirat, adalah ilmu. Jadi, ilmulah yang terutama dari segala amal perbuatan. Betapa tidak! Kadang-kadang mengetahui keutamaan sesuatu juga dengan kemuliaan hasilnya. Dan anda mengetahui bahwa hasil ilmu itu, ialah mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat tinggi. Itu semuanya adalah di akhirat.

74

Adapun di dunia, maka adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh, pemerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri. Sehingga orang Turki yang bodoh dan orang Arab yang kasar, secara naluri, mereka menghormati kepala-kepalanya. Karena kekhususan mereka dengan ketambahan ilmu, yang diperoleh dari pengalaman. Bahkan dengan tabiatnya hewan menghormati manusia karena perasaannya perbedaan manusia dengan kesempurnaan yang melebihi derajat hewan itu

Inilah keutamaan ilmu secara mutlak! Kemudian, ilmu itu berbeda-beda seperti akan diterangkan dan sudah pada tempatnya pula berlebih kurang keutamaaanya, disebabkan kelebihkurangnya itu, Dan keutamaan mengajar dan belajar, sudah jelas dari apa yang kami sebutkan dahulu.

Apabila ilmu itu, lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih utama itu. Maka mengajarkannya, adalah memberi faedah bagi keutamaan. Jelasnya, segala maksud manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak teratur, selain dengan teraturnya dunia. Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah Ta'ala, bagi orang yang mau mengambilnya menjadi alat dan tempat tinggal. Tidak bagi orang yang mengambilnya menjadi tempat tetap dan tanah air abadi.

Urusan duniawi tidak akan teratur, selain dengan amal perbuatan manusia. Amal perbuatan, pekerjaan dan perusahaan manusia itu, terbatas pada tiga bahagian :

Pertama pokok : Alam ini tidak dapat tegak bila pokok ini tidak ada, yaitu empat; pertanian untuk pangan, pertenunan untuk sandang, perumahan untuk tempat tinggal dan siasah (politik), yaitu untuk kerukunan, persatuan dan gotong-royong mencapai sebab-sebab yang membawa kepada kehidupan yang lebih baik dan mengendalikannya.

Kedua: ialah, yang mempersiapkan bagi tiap-tiap usaha tersebut dan yang melayaninya. Seperti pertukangan besi, adalah melayani pertanian dan sejumlah usaha dengan persiapan alat-alatnya. Seperti membersihkan kapas dari bijinya dan membuat benang. Semuanya itu demi untuk bertenun kain dengan persiapan amal usahanya.

75

Ketiga : ialah, penyempurna bagi pokok dan penghias, scperti menumbuk tepung dan membuat roti bagi pertanian, menggunting kain dan menjahit bagi pertenunan.

Yang tersebut tadi, bila dihubungkan kepada tegak berdirinya alam kebumian, adalah seumpama bahagian-bahagian dari se-seorang, bila dihubungkan kepada keseluruhannya. Yaitu ada tiga macam pula. Adakalanya pokok, seperti hati, jantung dan otak. Adakalanya pelayan bagi pokok itu seperti perut, urat, urat syaraf dan pembuluh darah. Dan adakalanya penyempurna dan penghias bagi pokok, seperti kuku, anak jari, dan bulu kening.

Yang termulia dari segala pekerjaan itu ialah pokoknya. Yang termulia dari pokoknya ialah siasah, dengan kerukunan dan perbaikannya, Dari itu, usaha tersebut meminta kesempurnaan dari orang yang bertanggung-jawab, melebihi dari usaha-usaha yang lain.

Dari itu tidak mustakhil, yang punya pekerjaan tersebut, menggunakan pengusaha-pengusaha yang lain. Dan siasah pada perbaikan orang banyak dan menunjukkannya ke jalan lurus, yang membawa kelepasan di dunia dan di akhirat, adalah atas empat tingkat:-

1. Tingkat tertinggi, yaitu siasah dan hukum Nabi-Nabi as. terhadap golongan tertentu dan orang banyak, baik dhahir atau bathin.

2. Tingkat khalifah, raja-raja dan sultan-sultan. Dan hukum yang dijalankan mereka adalah terhadap golongan tertentu dan umum seluruhnya. Tetapi mengenai yang dhahir saja, tidak yang bathin.

3. Tingkat 'alim ulama, yang mengenai Allah dan agamaNya, yang menjadi pewaris dari Nabi-Nabi. Hukum mereka adalah terhadap bathin golongan tertentu saja. Golongan orang awwam, tak dapat memahami untuk memperoleh faedah dari mereka.

Kekuatan para ulama itu, tidak sampai kepada pengurusan amal perbuatan dhahiriyah golongan tadi, baik dengan menyuruh, melarang dan memerintahkan.

4. Tingkat para juru nasihat. Hukum mereka adalah mengenai bathin orang awwam saja.

Yang termulia dari usaha empat tingkat tadi, sesudah tingkat kenabian, ialah memfaedahkan ilmu dan mendidik jiwa manusia supaya terhindar dari pekerti tercela yang membinasakan dan menunjuk jalan, kepada budi pekerti terpuji yang mendatangkan kebahagiaan.

76

Itulah yang dimaksudkan dengan pengajaran. Kami sesungguhnya mengatakan, bahwa mengajar ini adalah yang lebih utama, dibandingkan dengan pekerjaan dan usaha lain. Karena keutamaan usaha itu, dapat dikenal dengan tiga perkara: adakalanya dengan menoleh kepada naluri, yang menyampaikan kepada mengenalinya, seperti keutamaan Ilmu Pasti dari Ilmu bahasa, karena Ilmu Pasti itu diketahui dengan akal, sedang Ilmu Bahasa dengan mendengar. Akal adalah lebih mulia dari pendengaran. Adakalanya dengan melihat kepada kepentingannya yang lebih lengkap, seumpama kelebihan pertanian dari pertukangan emas. Dan adakalanya dengan memperhatikan tempat pekerjaan itu, seumpama kelebihan pertukangan emas daripada penyamakan kulit. Sebab yang pertama tempatnya emas dan yang kedua tempatnya kulit bangkai.

Dan tidaklah tersembunyi bahwa ilmu agama ialah memahami jalan akhirat, yang dapat diketahui dengan kesempurnaan akal dan kebersihan kecerdikan. Akal adalah yang termulia dari sifat-sifat insan sebagaimana akan diterangkan nanti. Karena dengan akal, manusia menerima amanah Allah. Dan dengan akal akan sampai kesisi Allah swt. Adapun tentang umum kegunaannya, maka tak diragukan lagi, karena kegunaan dan kehasilannya ialah kebahagiaan akhirat. Adapun kemuliaan tempat, maka bagaimana tersembunyi? Guru itu berpengurusan dalam hati dan jiwa manusia. Yang termulia di atas bumi, ialah jenis manusia. Yang termulia dari bagian tubuh manusia ialah hatinya. Guru itu bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekati Allah 'Azza wa Jalla. Mengajarkan ilmu itu dari satu segi adalah ibadah kepada Allah Ta'ala dan dari segi yang lain adalah menjadi khalifah Allah Ta'ala. Dan itu adalah yang termulia menjadi khalifah Allah. Bahwa Allah telah membuka pada hati orang berilmu, akan pengetahuan yang menjadi sifatNya yang teristimewa, maka dia adalah seperti penjaga gudang terhadap barang gudangannya yang termulia. Kemudian diizinkan berbelanja dengan barang itu untuk siapa saja yang membutuhkannya.

Maka manakah pangkat yang lebih mulia dari menjadi perantara, antara Tuhan dan makhlukNya untuk mendekatkan kepadaNya dan membawa mereka ke sorga tempat kediaman? Kiranya Allah dengan kemurahanNya menjadikan kita diantara ahli sorga! Dan rakhmat Allah kepada semua hambaNya yang pilihan.

77

BAB KEDUA
Mengenai ilmu terpuji dan tercela, bahagian-bahagiannya dan hukum-hukumnya. Padanya penjelasan, apakah yang fardlu 'ain dan apakah yang fardlu kifayah. Penjelasan, bahwa kedudukan ilmu kalam dan ilmu fiqih dalam ilmu agama, sampai mana batasnya dan keutamaan ilmu akhirat. Penjelasan ilmu yang menjadi fardlu 'ain.

Bersabda Nabi saw.: "Menuntut ilmu wajib atas tiap-tiap muslim". Dan bersabda pula Nabi saw.: "Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina sekalipun". (1)

Berbeda pendapat manusia mengenai ilmu yang menjadi fardlu 'ain atas tiap-tiap muslim, sampai berpecah-belah lebih dari dua puluh golongan. Kami di sini tidak akan menguraikannya secara terperinci. Akan tetapi hasilnya, ialah masing-masing golongan itu menempatkan wajib, pada ilmu yang dipilihnya. Berkata ulama' ilmu kalam, ialah ilmu kalam yang wajib karena dengan ilmu kalam diketahui keesaan Tuhan, zat dan sifatNya. Berkata ulama fiqih ialah ilmu fiqih yang fardlu 'ain, karena dengan ilmu fiqih diketahui ibadah, halal dan haram, apa yang diharamkan dan yang diha-lalkan dari hukum mu’amalah. Ulama fiqih berusaha dengan sungguh-sungguh membentangkan apa yang diperlukan masing-masing orang, tidak pada soal-soal yang jarang terjadi. Ulama tafsir dan ulama hadits, berkata : yaitu ilmu Kitab dan Sunnah yang fardlu 'ain. Karena dengan perantaraan keduanya, akan sampai kepada ilmu-ilmu yang lain seluruhnya. Berkata ulama tasawwuf, bahwa yang dimaksudkan, ialah ilmu tasawwuf. Setengah mereka mengatakan bahwa ilmu tasawwuf itu ialah pengetahuan hamba Allah dengan dirinya dan kedudukannya dari Allah 'Azza wa Jalla. Sebahagian mereka mengatakan, bahwa ilmu tasawwuf itu ialah, ilmu tentang keikhlasan dan penyaklt-penyakit yang membahayakan bagi diri
_______________
(1) Kedua-duanya hadits ini sudah diterangkan dahulu.

78

dan untuk membedakan antara langkah Malaikat dari langkah Setan. Diantara mereka mengatakan bahwa ilmu tasawwuf itu ilmu bathin. Dari itu diwajibkan mempelajarinya bagi golongan tertentu, di mana mereka ahli untuk itu. Dan dapat memalingkan kata-kata dari umumnya.

Berkata Abu Tholib Al-Makki bahwa ilmu yang diwajibkan ialah pengetahuan yang terkandung dalam hadits yang menerangkan sendi-sendi Islam, yaitu sabda Nabi saw.: "Didirikan Islam atas lima sendi: mengakui bahwasanya tiada Tuhan selain Allah............ Sampai akhir hadits". (1)

Karena yang wajib adalah yang lima itulah, maka wajiblah mengetahui cara mengerjakannya dan betapa kewajibannya. Dan yang seyogianya diyakini oleh yang memperolehnya dan tidak diragukan lagi, ialah apa yang akan kami terangkan. Yaitu bahwa ilmu seperti telah kami singgung pada kata pembukaan kitab ini terbagi kepada: ilmu mu'amalah dan ilmu mukasyafah. Dan ilmu yang dimaksudkan di sini, tidak lain dari ilmu mu 'amalah.

Ilmu Mu'amalah yang ditugaskan kepada hamba Allah, yang berakal dan dewasa, untuk mengamalkannya, ialah tiga : aqidah, berbuat dan tidak berbuat. Orang yang berakal sehat, apabila telah sampai umur (baligh), baik dengan bermimpi (ihtilam) atau dengan kiraan tahun, pada pagi hari umpamanya, maka yang pertama kali wajib atas dirinya ialah mempelajari dua kalimah syahadah serta memahami artinya. Yaitu: "Laa ilaahaillallaah, Muhammadur rasuulullaah". Dan tidak diwajibkan kepadanya, untuk berhasil menyingkapkan bagi dirinya, dengan pemikiran, pembahasan dan penguraian dalil-dalil. Tetapi cukuplah sekedar ia membenarkan dan meyakini benar-benar, dengan tak bercampur keraguan dan kebimbingan hati.

Hal itu mungkin berhasil dengan semata-mata bertaklid dan mendengar, tanpa pembahasan dan dalil. "Karena Rasulullah saw. sendiri mencukupkan dari orang-orang Arab itu dengan membenarkan dan mengakui tanpa mempelajari dalil". (2)

Apabila telah terlaksana demikian, maka telah tertunailah kewajiban waktu itu. Dan adalah ilmu yang menjadi fardlu 'ain baginya di waktu itu, ialah mempelajari dua kalimah syahadah dan
______________
(1) Muhammad itu utusan-Nya, mendirlkan shalat, mengeriakan puasa Ramadlan. memberikan Zakat dan menunaikan hajjl apabila ada kesartggupan.
(2) Dirawikan Muslim dari kissah Diammam bin Tsa'labah.

79

memahami artinya. Dan tidak ada kewajibannya di balik itu, pada waktu tersebut, berdalilkan, jika sekiranya mati dia sesudah itu, maka adalah kematiannya dalam ta'at kepada Allah 'Azza wa Jalla. Tidak dalam ma'siat.

Kewajiban selain itu, akan datang dengan sebab-sebab yang mendatang. Dan tidaklah yang demikian, perlu (dlaruri), pada tiap-tiap orang, bahkan mungkin terlepas daripadanya.

Sebab-sebab mendatang itu, adakalanya dalam berbuat, atau tidak berbuat atau pada aqidah. Dalam berbuat umpamanya, dia hidup terus dari pagi hari itu sampai waktu Dhuhur. Maka dengan masuknya waktu Dhuhur, datanglah kewajipan baru baginya, yaitu mempelajari cara bersuci dan bershalat.

Kalau dia sehat dan terus bertahan sampai waktu tergelincir matahari, yang tidak mungkin ia menyempurnakan pelajaran dan mengerjakan Dhuhur dalam waktunya, tetapi waktu akan habis jika dia terus belajar, maka tepatlah kalau dikatakan bahwa pada dhahirnya dia terus hidup. Dari itu, wajjblah ia mendahulukan belajar atas masuknya waktu. Dan boleh pula dikatakan bahwa wajib adanya ilmu itu menjadi syarat untuk amal, sesudah wajib amal itu. Maka belajar itu belum lagi wajib sebelum gelincir matahari.

Demikian pula pada sembahyang-sembahyang selain dari Dhuhur tadi. Bila dia terus hidup sampai bulan Ramadlan, maka bertambah pula kewajibannya mempelajari puasa. Yaitu mengetahui bahwa waktunya dari waktu Shubuh sampai terbenam matahari. Bahwa diwajibkan pada puasa, ialah: niat, menahan diri dari makan, minum dan bersetubuk. Keadaan demikian berjalan terus sampai tampak bulan, oleh dia sendiri atau oleh dua orang saksi.

Kalau hartanya bertambah atau memang dia orang berharta ketika dewasa, maka wajib pula mempelajari kewajiban zakat. Tetapi tidaklah diwajibkan itu ketika itu juga. Hanya baru wajib waktu telah sampai setahun (haul) dari masa Islamnya. Jika dia hanya mempunyai unta maka yang harus dipelajarinya ialah zakat unta. Begitu pula dengan jenis-jenis yang lain.

Apabila datang bulan hajji, tidaklah wajib ia bersegera mempelajari pengetahuan hajji, karena mengerjakannya adalah dalam waktu yang lama. Dari itu tidak diwajibkan mempelajarinya cepat-cepat.

80

Tetapi seyogialah bagi ulama Islam memperingatkannya bahwa hajji itu suatu kewajiban yang lama, atas tiap-tiap orang yang mempunyai perbekalan dan kendaraan. Apabila ia memiliki barang-barang tersebut, maka mungkin timbul hasrat dalam hatinya hendak menyegerakan menunaikan ibadah hajji itu. Maka ketika itu, bila hasrat telah timbul, maka haruslah ia mempelajari cara mengerjakan hajji. Dan tidak harus, selain mempelajari rukun dan wajibnya, tidak sunatnya. Sebab bila mengerjakannya sunat, maka mempelajarinya sunat pula. Dari itu tidaklah menjadi fardlu 'ain mempelajarinya.

Tentang haramnya berdiam diri, dari pada memberitahukan atas kewajiban pokok hajji itu, pada waktu sekarang, adalah menjadi suatu perhatian yang layak pada ilmu fiqih.

Demikianlah secara beransur-ansur, tentang ilmu amal perbuatan yang lain, yang menjadi fardlu 'ain.
Adapun yang tidak berbuat (ditinggalkan mengerjakannya) maka wajiblah mempelajari ilmu itu menurut perkembangan keadaan. Dan yang demikian itu berbeda, menurut keadaan orang. Karena tidaklah wajib atas orang bisu, mempelajari kata-kata yang diharamkan. Tidaklah atas orang buta mempelajari apa-apa yang haram dari pemandangan. Dan tidaklah atas orang desa (badui) mempelajari tempat-tempat duduk yang diharamkan.

Maka yang demikian itu juga wajib menurut yang dikehendaki oleh keadaan. Apa yang diketahuinya bahwa dia terlepas daripadanya, maka tidaklah diwajibkan mempelajarinya. Dan apa yang tidak terlepas daripadanya, maka wajiblah diberitahukan kepadanya. Seumpama, ketika ia masuk Islam, adalah ia memakai kain sutera atau duduk pada perampokan atau suka melihat yang bukan mahramnya maka wajiblah diberitahukan kepadanya yang demikian itu.

Dan apa yang tidak melekat padanya, tetapi akan dihadapi, pada masa dekat seperti makan dan minum, maka wajiblah mengajarkannya. Sehingga apabila timbul dalam negeri, minuman khamar dan makanan daging habi, maka wajiblah diajarkan yang demikian dan diberitahukan. Dan tiap-tiap wajib diajarkan maka wajiblah dipelajari.

81

Adapun mengenai aqidah dan amal perbuatan hati, wajiblah mengetahuinya menurut bisikan hati. Kalau timbul keraguan mengenai pengertian yang terkandung dalam dua kalimah syahadah, maka wajiblah ia mempelajari apa yang menyampaikannya kepada hilangnya keraguan itu.

Jikalau tiada terguris yang demikian itu dan ia mati sebelum beri'tikad bahwa kalam Allah itu qadim, IaNya akan dilihat dan tiada padaNya segala sifat makhluk serta lain-lain sebagainya, yang tersebut dalam bahagian kei'tiqadan, maka sepakatlah ulama bahwa ia mati dalam Islam. Tetapi bisikan-bisikan hati ini yang menyangkut dengan kepercayaan, sebahagian timbul disebabkan kepribadian seseorang dan sebahagian lagi disebabkan pendengaran dari sesama penduduk. Jikalau dalam negeri, berkembang pembicaraan mengenai yang demikian dan manusia memperkatakan tentang perbuatan-perbuatan bid'ah, maka seyogialah dijaga dari permulaan masa dewasa, dengan mengajarkan yang benar. Kalau ke dalam hatinya telah dimasukkan yang batil, niscaya wajiblah dihilangkan dari hatinya itu. Mungkin yang demikian itu sukar. Seumpama, Jikalau muslim itu saudagar dan telah berkembang ditempatnya perbuatan riba, maka wajiblah dipelajarinya, cara menjaga dari dari riba itu.

Demikianlah sebenarnya mengenai pengetahuan yang fardlu 'ain. Artinya, ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib. Maka orang yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu wajibnya, berartilah dia sudah mengetahui ilmu yang fardlu 'ain.

Apa yang diterangkan kaum sufi, tentang memahami bisikan-bisikan musuh dan langkah malaikat, adalah benar juga, tetapi terhadap orang yang ada hubunganya dengan itu.

Apabila menurut biasanya, bahwa manusia itu tidak terlepas dari panggilan kejahatan, ria dan dengki, maka haruslah ia mempelajari ilmu bahagian sifat-sifat yang membinasakan diri, apa yang dipandanghya perlu untuk dirinya. Bagaimana tidak wajib? Rasulullah saw. pernah bersabda . (Tsalaatsun muhlikaatun : Syuhhun muthaa'un wahawan muttaba-'un wa i'jaabul mar-i binafsih). Artinya : "Tiga perkara, membinasakan manusia: kikir yang dipatuhi, hawa nafsu yang dituruti dan keta'juban manusia kepada dirinya". (1)

(1) Dirawikan Ath-Thibrani, Abu Na'lm din Al-Baihaqi dari Anas, dengan isnad dla'if.

82

Tidak terlepaslah manusia dari sifat-sifat tersebut dan lain-lain sifat yang akan kami terangkan, dari sifat-sifat hal-ikhwal hati yang tercela. Seperti takabur, 'ujub dan sebagainya yang mengikuti tiga sifat yang membinasakan itu.

Menghilangkan sifat-sifat tadi adalah fardlu 'ain. Dan tidak mungkin menghilangkannya, kecuali dengan mengetahui batas-batasnya, sebab-sebabnya, tanda-tandanya dan cara mengobatinya. Orang yang tidak mengetahui sesuatu kejahatan, akan terperosok ke dalamnya. Obatnya ialah, menghadapi sebab itu, dengan lawannya. Maka bagaimana mungkin melawannya itu tanpa mengetahui sebab dan yang disebabkannya.

Kebanyakan dari yang kami terangkan dalam bahagian sifat-sifat yang membinasakan diri," termasuk dalam fardlu 'ain. Dan sudah ditinggalkan manusia karena sibuk dengan yang tak perlu. Diantara yang seyogianya disegerakan mengajarkannya, apabila tidaklah orang itu telah berpindah dari satu agama ke agama yang lain, ialah keimanan dengan sorga, neraka, kebangkitan dari kubur dan pengumpulan di padang mahsyar. Sehingga dia beriman dan mempercayainya. Dan itu adalah sebagian dari kesempurnaan dan dua kalimah syahadah. Karena setelah membenarkan dengan kerasulan Nabi saw. itu, seyogialah memahami akan risalah (kera-sulan) yang dibawanya. Yaitu, bahwa orang yang menta'ati Allah dan RasulNya, maka baginya sorga. Dan orang yang mendurhakai keduanya, maka baginya neraka.

Maka apabila anda telah memperoleh perhatian akan pelajaran tersebut secara beransur-ansur, maka tahulah anda bahwa inilah madzhab yang sebenarnya dan yakinlah anda bahwa tiap-tiap hamba Allah dalam perkembangan hal ikhwalnya, siangnya dan malamnya, adalah tidak terlepas dari kejadian-kejadian yang mengenai ibadahnya dan mu'amalahnya secara terus-menerus, akan akibat-akibatnya. Maka haruslah bertanya tentang kejadian-kejadian yang jarang terjadi dan haruslah bersegera mempelajari apa yang diharapkan biasanya terjadi dalam waktu dekat. Apabila telah jelas bahwa Nabi saw. bermaksud dengan perkataan "Al-ilmu" pakai alif dan lam pada sabdanya: "Menuntut al-ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim", ialah ilmu yang disertai dengan amal perbuatan, yang terkenal wajibnya atas pundak kaum muslimin, tidak lain, maka jelaslah cara beransur-ansurnya dan waktu yang diwajibkan mempelajarinya. Wallaahu a'lam (ALLAH Maha Tahu).

83

PENJELASAN TENTANG ILMU YANG FARDLU KIFAYAH
Ketahuilah bahwa fardlu tidak berbeda dengan yang tidak fardlu, kecuali dengan menyebutkan bahagian-bahagian ilmu. Dan ilmu-ilmu itu dengan disangkutkan kepada fardlu yang sedang kita bicarakan ini, terbagi kepada: ilmu syari'ah dan bukan ilmu syari'ah.

Yang dimaksudkan dengan ilmu syari'ah ialah yang diperoleh dari Nabi-Nabi as. Dan tidak ditunjukkan oleh akal manusia kepadanya, seumpama ilmu berhitung atau percobaan seumpama ilmu kedokteran atau pendengaran seumpama bahasa.

Maka ilmu-ilmu yang bukan syari'ah, terbagi kepada: ilmu yang terpuji, ilmu yang tercela dan ilmu yang dibolehkan. Ilmu yang terpuji, ialah yang ada hubungannya dengan kepentingan urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Dan itu terbagi kepada fardlu kifayah dan kepada ilmu utama yang tidak fardlu.

Yang fardlu kifayah, ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan urusan duniawi, seumpama ilmu kedokteran. Karena pentingnya dalam pemeliharaan tubuh manusia. Dan seumpama ilmu berhitung, karena pentingnya dalam masyarakat jual beli, pembahagian harta wasiat, pusaka dan lain-lainnya. Inilah ilmu-ilmu, jikalau kosonglah negeri daripada orang-orang yang menegakkannya, niscaya berdosalah penduduk negeri itu. Tetapi apabila ada seorang saja yang bangun menegakkan ilmu itu maka mencukupilah dan terlepaslah yang lain dari kewajipan tersebut.

Dari itu, tak usah diherankan dari perkataan kami, bahwa ilmu kedokteran dan ilmu berhitung itu termasuk fardlu kifayah. Juga pokok-pokok perusahaan (industri) juga termasuk fardlu kifayah, seumpama pertanian, pertenunan dan siasat. Bahkan juga pembekaman dan penjahitan, karena jikalau kosonglah negeri dari tukang bekam maka segeralah datang kebinasaan kepada mereka. Dan berdosalah mereka itu membawa dirinya kepada kebinasaan. Maka sesungguhnya Yang Menurunkan penyakit, Dia pulalah yang menurunkan obat dan memberi petunjuk cara memakainya serta menyediakan sebab-sebab untuk merawatinya. Maka tidak dibolehkan membawa diri kepada kebinasaan dengan menyia-nyiakan obat itu.

84

Adapun ilmu yang dihitung : utama, tidaklah fardlu. Maka mendalami hal-hal yang halus bagi ilmu berhitung, ilmu kedokteran dan lain-lainnya, adalah termasuk yang tidak diperlukan begitu penting. Tetapi berfaedah menambahkan kekuatan pada kadar yang diperlukan.

Adapun ilmu yang tercela yaitu : ilmu sihir, mantera-mantera, ilmu tenung dan ilmu balik mata.
Adapun ilmu yang dibolehkan yaitu : ilmu tentang pantun-pantun yang tak cabul, berita-berita sejarah dan sebagainya. Adapun ilmu syari'ah dan itulah yang dimaksud menjelaskannya, maka adalah terpuji semuanya. Tetapi kadang-kadang bercampur dengan apa yang disangkakan itu syari'ah. Pada hal adalah itu tercela. Dari itu, terbagi kepada : terpuji dan tercela.

Yang terpuji mempunyai pokok, cabang, mukaddimah dan peleng-kap, sehingga berjumlah empat.

Yang pertama : pokok (ushul). Yaitu empat : Kitabullah 'Azza wa Jalla, Sunnah Rasul saw.', Ijma' ummat dan peninggalan-peninggalan shahabat (atsar).

Dan Ijma' itu pokok,' dari segi bahwa dia menunjukkan kepada Sunnah. Maka adalah dia pokok pada derajat ketiga. Begitu juga peninggalan shababat, maka dia juga pokok menunjukkan kepada Sunnah. Karena para shahabat r.a. menyaksikan wahyu dan penurunan Al-Qur-an. Dan mengetahui dengan petunjuk-petunjuk keadaan, apa yang tidak diketahui oleh orang lain. Kadang-kadang tidak dijumpai kata-kata dalam apa yang diketahui dengan petunjuk keadaan. Maka dengan dasar ini, para alim ulama berpendapat untuk mengikuti dan berpegang teguh kepada peninggalan-peninggalan shahabat. Dan yang demikian itu adalah dengan syarat tertentu, dalam bentuk tertentu dan tidak wajar menerangkannya dalam kupasan ini.

Yang kedua : Cabang (rufu'), yaitu apa yang dipahamkan dari pokok-pokok (ushul) di atas. Tidak menurut yang dikehendaki oleh kata-katanya, tetapi menurut pengertian yang dapat dicapai oleh akal pikiran. Dengan sebab itu maka faham menjadi luas, Sehingga dari k?ta-kata yang diucapkan, dapat dipahami yang lain. Seperti apa yang dapat dipahami dari sabda Nabi saw. : (Laa yaqdlil qaadlii wa huwa ghadl-bnanu).

85

Artinya : "Hakim (kadli) itu tidak mengadili perkara ketika dia sedang marah', bahwa dia tidak mengadili juga ketika mau buang air, lapar atau merasa sakit". (1)

Ilmu furu' ita terbagi dua : pertama menyangkut dengan kepentingan duniawi. Dan termuat dalam kitab-kitab fiqih. Yang bertanggung jawab terhadapnya ialah para ulama fiqih. Dan mereka itu adalah ulama dunia. Kedua menyangkut dengan kepentingan akhirat. Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi pekerti terpuji dan tercela, hal-ikhwal yang direlai dan yang dibenci Allah. Pengetahuan ini termuat pada bagian penghabisan dari kitab ini. Yakni dalam jumlah kitab "Ihya'Ulumiddin". Dan sebahagian daripadanya, ialah ilmu yang memancar dari hati kepada anggota badan, dalam ibadahnya dan 'adat kebiasaannya. Dan itu termuat pada bahagian pertama dari kitab ini.

Yang kctiga : mukaddimah (ilmu pengantar), yaitu ilmu yang merupakan alat seperti ilmu bahasa dan tata-bahasa. Kedua-nya adalah merupakan alat untuk mengetahui isi Kitabullah dan Sunnah Rasul saw. Bahasa dan tata-bahasa itu tidaklah termasuk dalam ilmu syari'ah. Tetapi harus dipelajari disebabkan agama. Karena syari'ah (Agama Islam) ini datangnya dengan bahasa Arab. Dan semua agama tidak lahir selain dengan sesuatu bahasa. Maka jadilah mempelajari bahasa itu sebagai alat.

Dan setengah dari alat, ialah : ilmu menulis tulisan. Tetapi tidaklah itu penting. "Karena Rasulullah saw. sendiripun tidak tahu tulis baca(ummi)". (2)

Kalaulah tergambar dapat dihafal semua yang didengar, maka menulis itu tidak perlu lagi. Tetapi pada ghalibnya, lemah dari hapalan maka menulis itu menjadi penting.

Yang keempat : penyempurna, yaitu : mengenai ilmu Al-Qur-an. Dan terbagi kepada : yang berhubungan dengan kata-katanya seperti mempelajari qiraah (cara membaca), . dan bunyi liurufnya. Dan yang berhubungan dengan pengertiannya, seperti tafsir, karena pengertian itu berpegang pula kepada naqal (keadaan di sekitar ayat itu, baik sebab turunnya dan suasananya yang diperoleh dalam sejarah tiap-tiap ayat suci).
______________
(1) Olrawikan AI-Bukhari dan Muslim dari Abi Bikrah.
(2) Dirawtkan Ibnu Mardawaih dari Abdullah bin Umar

86

Karena semata-mata bahasa saja, tidak dapat berdiri sendiri. Dan yang berhubungan dengan hukumnya, seperti mengetahui yang nasikh dan mansukh, yang umum dan yang khusus, yang nash dan yang dhahir dan cara menggunakan antara sebahagian ayat dengan sebahagian lainnya. Yaitu suatu ilmu yang bernama "Ushulul fiqh". Dan ilmu'ini melengkapi juga Sunnah Nabi.

Adapun, ilmu penyempurna pada hadits Nabi dan peninggalan peninggalan shahabat (atsar), yaitu ilrrtu mengenai perawi-perawi hadits, namanya, keturunannya, nama-nama shahabat, kepribadiannya dan ilmu mengenai adalah (kejujuran) perawi-perawi dan keadaan mereka dalam meriwayatkan hadits. Supaya dapat membedakan antara hadits lemah dan hadits kuat. Dan mengetahui umur mereka supaya dapat membedakan antara hadits mursal dan hadits musnad. Dan juga mengetahui yang berhubungan dengan musnad itu (1).

Inilah ilmu-ihnu syari'ah dan semuanya itu terpuji, bahkan semuanya termasuk fardlu kifayah.

Jikalau anda tanyakan : mengapakah aku hubungkan ilmu fiqih dengan ilmu dunia dan ulama-ulama fiqih dengan ulama-ulama dunia? Aku menjawab, bahwa ketahuilah sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan Adam a.s. dari tanah dan keturunannya dari unsur-unsur bahan dari tanah dan air hanyir. Mereka dikeluarkan dari tulang sulbi laki-laki, ke dalam rahim wanita. Dari situ ke dunia, kemudian ke kubur, kemudian k.e padang makhsyar, kemudian ke-sorga atau ke neraka. Inilah permulaan mereka dan inilah kesudahan mereka! Dan inilah tempat kediaman mereka! Dijadikan dunia tempat mencari perbekalan untuk akhirat, supaya dapat diperoleh dari dunia itu, apa yang patut untiik perbekalan itu.

Kalau manusia itu memperoleh dunia dengan. keadilan, maka lenyaplah segala permusuhan. Dan kosonglah para alim ulama dari kesibukan. Tetapi manusia itu memperoleh dunia dengan nafsu-syahwat, lalu timbullah bermacam-macam permusuhan. Maka perlulah kepada penguasa (sultan) untuk memimpinnya. Dan penguasa itu memerlukan kepada undang-undang (qanun) untuk memimpin ummat manusia itu.

Ahli fiqih, ialah orang yang tahu dengan undang-undang siasah, jalan mengetengahi diantara orang banyak, apabila bertengkar di bawah hukum hawa nafsu. ;Jadi, ahli fiqih itu adalah guru sultan dan penunjuknya kepada jalan memimpin dan mengatur makhluk i supaya teratur urusan duniawi dengan kelurusan tnereka.
____________
(1) Hadits mursal. yaitu : perawi-perawinya tidak jelas sambung-bersambung sampai kepada Nabi saw., sedang hadits musnad adalah jelas (peny).

87

Demi sebenarnya, hal tersebut, berhubungan juga dengan agama. Tetapi tidaklah dengan agama itu sendiri, melainkan dengan perantaraan dunia. Karena dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dan agama itu tidak sempurna selain dengan dunia. Penguasa (raja) dan agama adalah dua anak kembar. Agama itu pokok dan penguasa itu pengawal. Sesuatu yang tidak berpokok (bersendi), roboh. Sesuatu yang tidak berpengawal (berpenjaga) hilang. Kerajaan dan kepastian hukum tak sempurna, selain dengan penguasa. Jalan kepastian hukum untuk menyelesaikan persoalan pemerintahan, ialah dengan fiqih.

Sebagaimana siasah manusia dengan pemerintahan, tidak termasuk sebahagian dari ilmu agama, pada tingkat pertama. Tetapi, adalah penolong kepada sesuatu, di mana agama tidak sempurna, kecuali dengan dia. Maka demikian juga pengetahuan jalan siasah. Seperti dimaklumi, bahwa ibadah hajji, tidak akan sempurna, kecuali dengan pengawal, yang mengawal dari orang-orang Arab diperjalanan. Sedang ibadah hajji itu suatu hal dan berjalan menuju ibadah hajji itu adalah hal kedua. Dan mengadakan pengawalan, di mana hajji itu tidak akan sempurna, selain dengan pengawalan itu, adalah hal ketiga. Dan mengetahui cara-cara, daya upaya dan aturan-aturan pengawalan itu, adalah hal keempat.

Maka hasil dari pengetahuan fiqih, ialah mengetahui cara kepemimpinan dan kepengawalan. Dan ditunjukkan kepada yang demikian, oleh apa yang dirawikan dari hadits musnad : (Laa yuftin naasa illaa tsalaatsatun amiirun au ma'muurun au mu-takallifun). Artinya : "Tidak memberi fatwa (perintah) kepada manusia selain oleh tiga:

amir atau ma'mur atau yang memikul beban itu (mutakallif)". (1)

Amir ialah imam (penguasa). Merekalah yang mengeluarkan fatwa. Ma'mur ialah wakil dari amir. Yang memikul beban itu, ialah yang lain dari yang dua tadi. Dan memikul beban tersebut tanpa diperlukan
_____________
(1) Dirawikan Ibnu Majah dari 'Amar bin Syu'aib. isnadnya hasan (baik).

88

Para shahabat Nabi ra. menjaga diri dari mengeluarkan sesuatu fatwa. Hingga masing-masing mereka, menyerahkan kepada temannya. Dan mereka tidak menjaga benar, apabila ditanyakan tentang ilmu Al-Qur-an dan jalan ke akhirat.

Pada setengah riwayat, ganti dari yang memikul beban itu, ialah: "Orang yang bekerja dengan ria". Maka orang yang mau memikul resiko dengan menyatakan sesuatu fatwa, sedang dia tidak ditugaskan untuk itu, maka tidak ada maksud orang itu, selain mencari kemegahan dan harta.

Jika anda menyatakan kepadaku bahwa pendapatku tentang ilmu fiqih itu, kalaupun betul, hanya mengenai hukum penganiayaan, hukum denda, utang-piutang dan penyelesaian persengketaan, maka tidaklah betul mengenai bahagian ibadah, dari hal puasa dan shalat. Dan tidak pada yang dilengkapi oleh bahagian adat dari hukum mu'amalah, dari penjelasan halal dan haram.

Ketahuilah! Bahwa yang terdekat dari apa yang diperkatakan oleh ahli fiqih, dari amal perbuatan, di mana amal perbuatan itu adalah amal perbuatan akhirat, ialah tiga : Islam, shalat dan zakat, halal dan haram. Apabila anda perhatikan sejauh pandangan ahli fiqih tentang hal di atas, niscaya anda tahu, bahwa hal tersebut tidaklah melampaui batas-batas dunia kepada akhirat. Apabila telah dipahami demikian pada yang tiga tadi, maka pada lainnya lebih jelas lagi. Tentang Islam maka ahli fiqih itu, memperkatakan tentang yang syah dari padanya, tentang yang batal dan tentang syarat-syaratnya. Dan tidaklah diperhatikan padanya, selain kepada lisan. Dan hati tidaklah termasuk dalam lingkungan wilayah seorang ahli fiqih. Karena Rasulullah saw. meletakkan pemegang pedang dan kekuasaan,diluar hati, dengan sabdanya.: Hallaa syaqaqta 'an qalbih). Artinya : "Mengapa tidak engkau pisahkan dari hatinya?". (1)
_______________
(1) Dirawikan Muslim dari Usamah bin Zaid.

89

Sabda ini ditujukan oleh Nabi saw. kepada seorang pembunuh, yang membunuh orang yang telah mengucapkan kalimah Islam, dengan alasan bahwa pengucapannya itu lantaran takut kepada pedang. Bahkan ahli fiqih itu menetapkan syah Islam dibawah naungan pedang, pada hal ia tahu pedang itu tidak menyingkapkan isi niat seseorang dan tidak menghilangkan dari hati, kebodohan dan keheranan. Tetapi mengisyaratkan kepada pemegang pedang. Pedang itu memanjang kepada lehernya. Dan tangan itu memanjang kapada hartanya. Kalimat tadi dengan lisan adalah menyelamatkan leher dan harta, selama leher dan hartanya belum lagi terpisah dari padanya. Begitulah di dunia. Dari itu, Nabi saw. bersabda : (Umirtu an uqaatilan naasa hattaa yaquuluu laa ilaaha illallaahu fa-idzaa qaaluu haa faqad 'ashamuu minnii dimaa-ahum wa amwaa-lanum). Artinya : "Aku disuruh memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan "Laa ilaaha illallaah ". Apabila telah diucapkannya, maka terpeliharalah darah dan hartanya daripadaku". Nabi saw. menetapkan akibatnya pengucapan itu pada darah (nyawa) dan harta". (1)

Adapun di akhirat, maka harta itu tidak berguna padanya. Tetapi nur hati, rahasianya dan keikhlasannya yang berguna. Dan itu tidak termasuk dalam bidang fiqih. Kalau seorang ahli fiqih mencempelungkan diri dalam ilmu fiqih, adalah seperti kalau ia mencempelungkan diri dalam ilmu kalam dan ilmu kedokteran. Dan dia itu berada di luar bidangnya.

Mengenai shalat, maka ahli fiqih itu berfatwa dengan syah bila shalat itu dikerjakan dengan bentuk segala perbuatan shalat serta jelas syarat-syaratnya, meskipun ia lengah dalam seluruh shalatnya, dari awal sampai akhirnya. Asyik berfikir menghitung penjualan di pasar, kecuali ketika bertakbir.

Shalat semacam itu tidaklah bermanfaat di akhirat, sebagaimana pengucapan dengan lisan mengenai Islam tak adalah manfa'atnya.
____________
(1) Dirawikan Al-Bukhari dari Muslim dari Abu Hurairah.

90

Tetapi ahli fiqih berfatwa dengan syahnya. Artinya apa yang telah dikerjakan, telah berhasil menuruti bunyi perintah dan hapuslah daripadanya, hukuman bunuh dan dera.

Adapun khusu' dan menghadirkan hati yang menjadi amal perbuatan akhirat dan dengan itu bermanfa'atlah amal dhahir, maka tidaklah disinggung-singgung oleh ahli fiqih. Kalau pun ada, maka adalah di luar bidangnya.

Mengenai zakat, maka ahli fiqih itu memandang yang mana dapat diminta bantuan penguasa. Sehingga apabila ada yang enggan membayar zakat, lalu penguasa mengambilnya dengan paksa. Karena telah diputuskan, bahwa harta itu telah terlepas dari hak miliknya. Menurut ceritera, bahwa Kadli Abu Yusuf memberikan hartanya pada akhir tahun (akhir haul) kepada isterinya dan ia sendiri menerima pemberian dari isterinya untuk menghindarkan zakat. Maka diceriterakannya hal itu kepada Imam Abu Hanifah ra. Imam Abu Hanifah ra. menjawab : "Itu adalah dari segi fiqihnya. Dan dia benar. Itu adalah dari fiqih dunia. Akan tetapi di akhirat melaratnya lebih besar dari segala penganiayaan".

Seumpama inilah kiranya, ilmu yang mendatangkan melarat. Mengenai halal dan haram, maka menjaga diri (wara’) dari yang haram, adalah sebahagian dari agama. Tetapi wara' itu mempunyai empat tingkat :

Tingkat pertama : ialah penjagaan diri (wara'), yang disyaratkan pada keadilan kesaksian. Yaitu bila penjagaan diri yang tersebut tidak ada, maka orang tidak boleh menjadi saksi, hakim dan wali. Penjagaan diri yang dimaksud, ialah penjagaan diri, dari perbuatan yang nyata haramnya.

Tingkat kedua : ialah wara' orang-orang salih. Yaitu, menjauhkan diri dari segala perbuatan syubhat, yang ada padanya kemungkinan-kemungkinan yang diragukan.

Bersabda Nabi saw. : (Da'-maa yuriibuka ilaa maa laa yuriibuka).

91

Artinya : "Tinggalkanlah yang meragukan untuk diambil yang tidak meragukan". (1)

Dan Nabi saw. bersabda : (Al-itsmu hazzaazul quluub).

Artinya : "Dosa itu mcmbawa penyakit bagi hati (jiwa) ". (2)

Tingkat hetiga : ialah wara' orang-orang yang taqwa (muttaqin). Yaiitu meninggalkan perbuatan yang sebenarnya halal tetapi diku-watiri terbawa kepada yang haram.

Bersabda Nabi saw. : (Laa yakuunurrajulu minal muttaqiina hattaa yada'a maa laa ba'sa bihi makhaafatan mimmaa bihi ba'sun)

Artinya : "Tidaklah orang itu bernama orang taqwa, sebt'lum ia meninggalkan sesuatu yang tak ada apa-apanya, karena takut kepada yang ada apa-apanya ". (3)

Contohnya seumpama : menjaga diri (wara') dari memper-cakapkan hal orang. Karena takut terperosok kepada mengumpat. Dan memelihara diri dari memakan sepanjang keinginan, karena takut bergelora semangat dan tenaga yang membawa kepada perbuatan terlarang.

Tingkat keempat : ialah wara' orang-orang shiddiqin. Yaitu berpaling (meninggalkan), selain kepada Allah Ta'ala. Karena takut
_______________
(1) Diciwikin At-Tirmidzi, An-N«a-i dan Ibnu Hibban dari AI-Haian bin All .
(2) Qirawikan AI-Baihaqi dari Ifanu Mas'ud. Dan dirawikan AI-'Adani. hadits mauquf.
(3) Dirawikan At-Tirmidzi. Ibnu Majah dan AI-Hakim dan ditashihkannya dari 'Athly yah as-Sa'di.

92

terpakai meskipun sesa'at dari umur, kepada yang tidak mendatangkan faedah lebih pendekatan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla, walaupun ia tahu dan yakin bahwa perbuatan tersebut tidak membawa kepada yang haram.

Maka semua tingkat tadi adalah di luar perhatian ahli fiqih, selain tingkat pertama. Yaitu : mengenai pemeliharaan diri (wara’) saksi, hakim dan yang merusakkan 'adalah (keadilan). Menegakkan pemeliharaan diri (wara') dengan yang derpikian, tidaklah meniada-kan dosa di akhirat. Bersabda Nabi saw kepada Wabishah : (Istafti qalbaka wa-in aftauka wa-in aftauka wa-in aftauka). Artinya: "Mintalak fatwa kepada hatimu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu, walaupun orang telah memberi fawa kepadamu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu!". (1)

Ahli fiqih itu tidak memperkatakan tentang penyakit hati (jiwa) dan cara mengatasinya. Tetapi yang ada, mengenai yang merusakkan 'adalah (keadilan) saja. Jadi seluruh perhatian ahli fiqih, adalah menyangkut dengan dunia, yang dengan dunia itu, ada perbaikan jalan akhirat. Bila sekiranya ia memperkatakan sesuatu dari sifat-sifat hati dan hukum akhirat, adalah termasuk ke dalam percakap-annya itu secara sambil lalu. Sebagaimana kadang-kadang termasuk ke dalam percakapannya, persoalan kedokteran, berhitung, ilmu bintang dan ilmu kalam. Dan sebagaimana termasuknya ilmu falsa-fah ke dalam tata bahasa dan pantun.

Sufyan Ats-Tsuri, seorang pemuka ilmu dhahir berkata : "Sesungguhnya mempelajari ini (ilmu fiqih), tidaklah termasuk perbekalan akhirat". Bagaimana? Telah sepakat para ahli bahwa kemuliaan pada ilmu itu, ialah pelaksanaannya. Maka bagaimana ia menyangka, dia mengajar hukum dhihar (menyerupakan isteri dengan punggung ibu) hukum al-li'an (mengutuk isteri), hukum as-salam (berjual beli benda yang belum dilihat si pembeli, hanya diterangkan sifat-sifat-nya saja oleh si penjual), sewa-menyewa dan tukar-menukar uang? Dan orang yang mempelajari hal-hal tersebut, untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala itu, adalah gila. Sesungguhnya perbuatan itu adalah dengan hati dan anggota tubuh pada segala amal ta'at. Dan kemuliaan, ialah amalan-amalan itu.
______________
(1) Dirawikan Ahmad dari Wabishah.

93

Kalau anda bertanya, mengapa tidak aku samakan antara ilmu fiqih dan ilmu kedokteran, karena ilmu kedokteran juga berhubungan dengan dunia, yaitu kesehatan badan. Dan itu berhubung pula dengan kebaikan agama. Dan penyaraaan ini menyalahi dengan ijma' ummat Islam?

Ketahuilah! Bahwa penyamaan itu tidaklah suatu keharusan, bahkan terdapat perbedaan antara keduanya. Ilmu fiqih itu lebih mulia dari ilmu kedokteran dari tiga segi :

Pertama: fiqih itu ilmu syari'ah, karena dia diperoleh dari kenabian. Lain halnya dengan ilmu kedokteran. Dia itu tidaklah tertnasuk ilmu syari'ah.

Kedua : ilmu fiqih itu tidak dapat melepaskan diri sekali-kali, oleh seseorang yang menuju ke jalan akhirat, baik dia sehat atau sakit. Sedang ilmu kedokteran tidak diperlukan selain oleh orang sakit. Dan orang sakit itu sedikit.

Ketiga : ilmu fiqih itu berdampingan dengan ilmu jalan akhirat. Karena dia memandang pada amal perbuatan anggota tubuh. Sumber dan tempat terjadinya amal perbuatan anggota tubuh itu, adalah peri laku hati (jiwa). Yang terpuji dari pada amal perbuatan itu, adalah yang timbul dari budi pekerti yang terpuji, yang melepaskan diri dari bahaya di akhirat. Yang tercela adalah timbul dari budi pekerti yang tercela. Dan tidak tersembunyi lagi akan hubungan antara anggota tubuh dengan hati (jiwa) itu.

Adapun sehat dan sakit, maka tempat terjadinya, adalah bersih pada sifat badan dan percampuran. Dan itu adalah dari sifat-sifat tubuh, tidak dari sifat-sifat hati. Maka manakala dihubung-kan ilmu fiqih kepada ilmu kedokteran, niscaya tampaklah kemu-liaan ilmu fiqih itu. Dan apabila dihubungkan Umur jalan ke akhirat kepada ilmu fiqih, maka tampaklah pula kelebihan ilmu jalan ke akhirat.

Jika anda menyatakan : "Uraikanlah kepadaku dengan jelas, ilmu jalan ke akhirat itu, yang menunjukkan isi serta tujuannya, meskipun tidak sampai terperinci benar!".

Maka-ketahuilah, bahwa ilmu jalan ke akhirat itu adalah dua macam, ilmu mukasyafah dan ilmu mu'amalah.

Yang pertama : ilmu mukasyafah itu ialah ilmu bathin. Dan itulah, kesudahan segala .ilmu. Telah berkata setengah arifin (ahli ilmu ma'rifah yaitu ilmu mengenal Allah Ta'ala) : "Orang yang ti-

94

dak mempunyai bahagian dari ilmu mukasyafah ini, aku takut akan buruk kesudahannya (tidak memperoleh husnul-khatimah). Sekurang-kurang bahagian dari padanya, ialah membenarkah ilmu itu dan tunduk kepada ahlinya".

Berkata. yang lain : "Orang yang ada padanya dua perkara, tidak akan terbuka baginya sedikitpun dari ilmu ini, yaitu, berbuat bid'ah atau takabur".

Ada lagi yang mengatakan : "Barang siapa mencintai dunia atau selalu memperturutkan hawa nafsu, niscaya ia tidak akan ya-kin kepada ilmu ini dan mungkin ia yakin kepada ilmu-ilmu yang lain. Sekurang-kurangnya penyiksaan terhadap orang yang meng-ingkarinya, ialah tidak merasakan sedikitpun kelezatan ilmu ini".

Ahli yang berkata tadi lalu bermadah :
"Relalah terhadap orang yang telah hilang dari engkau, oleh kehilangannya.
Maka itu dosa,
ada siksaan padanya ".

Itulah ilmu orang-orang shiddiqin dan muqarrabin. Yakni ilmu mukasyafah. Yaitu : ibarat cahaya yang lahir dalam hati ketika penyucian dan pembersihannya dari sifat-sifat yang tercela. Dari cahaya itu, tersingkaplah beberapa banyak keadaan, yang tadinya namanya pernah didengar. Maka diragukan pengertiannya yang tidak terurai, lagi tidak jelas. Lalu jelaslah ketika itu, sehingga ber-hasillah ma'rifat yang hakiki dengan Dzat Allah swt. dan sifatNya yang kekal sempurna, perbuatanNya dan hukumNya pada kejadian dunia dan akhirat. Cara penyusunanNya melebihkan akhirat dari dunia, mengenal arti kenabian dan Nabi, arti Wahyu, arti setan, arti kata-kata Malaikat dan setan-setan, cara permusuhan setan dengan manusia, bagaimana kedatangan malaikat kepada Nabi-nabi, bagaimana sampai wahyu itu kepada Nabi-nabi,mengenal alam ma-lakut langit dan bumi, mengenal hati dan betapa benterokan antara bala tentara malaikat dan setan di dalam hati, mengenal perbedaan antara langkah malaikat dan. langkah setan, mengenal akhirat, sorga dan neraka, azab kubur, titian, timbangan, hitungan amal dan maksud dari firman Allah Ta'ala :

95

(Iqra' kitaabaka kafaa binafsikal yauma 'alaika hasiiban). Artinya : "Bacalah kitabmu! Cukuplah pada hari ini, engkau membuat perhitungan atas dirimu sendiri". (S. Al-Isra', ayat 14).

dan maksud firman Allah Ta'ala : (Wa innad daaral aakhirata lahiyal hayawaanu lau-kaanuu ya'la-muun). Artinya : "Dan bahwa kampung akhirat itulah kehidupan yang sebenamya kalau mereka mengetahui". (S. Al-Ankabut, ayat 64).

dan arti berjumpa dengan Allah Ta'ala dan memandang kepada wajahNya Yang Maha Mulia, arti dekat dengan Allah dan bertempat disampingNya, arti memperoleh kebahagiaan dengan menemani alam arwah, Malaikat dan Nabi-nabi, arti berlebih-kurangnya pangkat ahli Sorga, sehingga mereka melihat satu sama lain, seumpama menampak bintang bersinar dilembaran langitdan lain-lainnya yang panjang kalau dibentangkan. Karena manusia, mengenai pengertian hal-hal yang tersebut di atas sesudah membenarkan pokok-pokoknya, mempunyai bermacam-macam tingkat. Sebagian mereka berpendapat, bahwa semuanyaitu adalah conton-contoh. Dan yang disediakan oleh Allah untuk hambaNya yang sholih, ialah : sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas di dalan hati manusia. Dan tak adalah serta makhluk itu Sorga, selain dari sifat-sifat dan nama-nama.

Setengah berpendapat bahwa sebahagian adalah contoh-contoh dan sebahagian lagi bersesuaian dengan hakikat yang sebenarnya yang dipahami dari kata-katanya. Demikian juga, sebahagian mereka berpendapat, bahwa kesudahan mengenai Allah Ta'ala ialah mengakui kelemahan diri dari pada mengenalNya. Sebahagian lagi mendakwakan beberapa hal yang agung, tentang mengenai Allah Ta'ala. Ada lagi yang mengatakan, bahwa batas mengenai Allah Ta'ala itu, ialah apa yang sampai kepada aqidah orang kebanyakan. Yaitu beriman ; bahwa Allah Ta'ala itu ada, maha mengetahui, maha kuasa, mendengar, melihat dan berkata-kata.

96

Kami maksudkan dengan ilmu mukasyafah itu ialah bahwa terangkat tutup yang menutupi sehingga jelaslah kenyataan kebenaran Allah pada semuanya itu, dengan sejelas-jelasnya, laksana mata memandang, yang tak diragukan lagi.

Hal yang demikian itu mungkin pada diri (jauhar) manusia, sekiranya tidak cermin hatinya telah tebal dengan karat dan kotor dengan kotoran dunia.

Sesungguhnya kami maksudkan dengan ilmu jalan ke akhirat, ialah ilmu mengenai cara menggosok cermin tersebut, dari kotoran-kotoran tadi, yang menjadi dinding (hijab) dari pada Allah Ta'ala, daripada mengenai sifat-sifat dan af'alNya. Membersihkan dan mensucikannya ialah dengan mencegah diri dari menuruti hawa nafsu dan berpegang teguh dalam segala hal, kepada ajaran Nabi-Nabi as. Maka menurut apa yang cemerlang dari hati dan berbetulan. kearah kebenaran, niscaya bergemilanglah hakikatnya. Dan jalan untuk itu, tak lain dari latihan yang akan datang perinciannya nanti pada tempatnya dan dengan ilmu dan mengajarinya.

Inilah ilmu yang tidak dituliskan dalam kitab-kitab dan tidak diperkatakan oleh orang-orang yang telah dianugerahi oleh Allah Ta'ala dengan sesuatu dari ilmu ini, selain bersama ahlinya. Yaitu dengan bersama-sama bertukar-pikiran dan dengan cara rahasia.

Inilah ilmu tersembunyi yang dimaksudkan oleh Nabi saw. dengan sabdanya : (Inna minal Mlmi kahaiatil maknuuni laa ya'lamuhu illaa ahlul ma'rifati billaahi ta'aalaa. Fa-idzaa nathaquu bihii lam yajhalhu illaa ahlul ightiraari billaahi ta'aalaa. Falaa tahqiruu 'aaliman aataa-hullaahu ta'aalaa 'ilman minhu, fa-innallaaha 'azza wa jalla lam yah-qirhu idz-aataahu iyyaah).

Artinya : "Sesungguhnya sebahagian dari ilmu itu seakan-akan seperti keadaan tertutup yang tidak diketahui, selain oleh ahli yang mengenal

97
(ma'rifat) akan Allah Ta'ala. Apabila mereka mempercakapkannya, maka tidak ada yang tak mengerti Selain dari orang-orang ' yang telah tertipu, jauh dari Allah Ta'ala. Dari itu janganlah kamu hinakan seorang yang berilmu, yang dianugerahi oleh Allah Ta'ala ilmu tsb. Karena Allah Ta'ala sendiri tidak menghinakannya karena telah menganugerahi ilmu tadi". (1)

Yang kedua : ilmu mu'amalah, ialah ilmu perihal hati (jiwa). Apa yang terpuji dari padanya, seperti sabar, syukur, takut, harap, rela, zuhud, taqwa, sederhana, pemurah, mengenal nikmat Allah Ta'ala dalam segala keadaan, ihsan, baik sangka, baik budi, bagus pergaulan, benar&ikhlas. Maka mengetahui hakikat hal keadaan ini, batas-batasnya dan sebab-sebabnya yang diusahakan,hasil, tanda dan cara mengobati yang lemah dari padanya, sehingga menjadi kuat dan yang hilang sehingga kembali, adalah termasuk sebahagi-an dari ilmu akhirat.

Adapun yang tercela yaitu : takut miskin, marah kepada taqdir, menokoh, dengki, busuk hati, menipu, mau tinggi, suka di puji, mencintai lama hidup di dunia untuk bersenang-senang, takabur, ria, marah, keras kepala, suka bermusuhan, amarah, loba, kikir, gembira tidak pada tempatnya, angkuh, congkak, bangga dengan kekayaan ditangannya, menghormati orang kaya, menghina orang miskin, gila hormat dan pangkat, suka berlomba secara tidak jujur, menyombong diri menerima kebenaran ; suka campur soal yang tidak penting, suka banyak bicara, memuji diri, menghias-hiasi budi pekerti, berminyak air, ujub, asyik memperkatakan kekurangan orang melupakan kekurangan diri sendiri, hilang perasaan gundah dan takut dari hati, sangat menekan perasaan jiwa apabila tersinggung, lemah hati mencari .kebenaran, mengambil teman dhahir dari musuh bathin, merasa aman dari kemurkaan Allah Ta'ala, pada menarik apa saja dari pemberianNya, bersandar kepada ta'at, murka, khianat, tokoh-menokoh, panjang angan-angan, kesat dan kasar hati, gembira dengan dunia dan berduka cita atas hilangnya, berjinak hati dengan makhluk dan merasa sepi bercerai dengan mereka, kaku, ceroboh, tergopoh-gopoh, kurang malu dan kurang belas kasihan.

Inilah dan yang seumpama dengan ini, dari sifat-sifat hati (Jiwa), menjadi sumber perbuatan keji dan tempat tumbuh perbuatan terlajang. Lawannya adalah budi pekerti yang terpuji, tempat memancar ta'at dan pendekatan diri kepada Allah Ta'ala.
_______________
(1) Dirawikan Abu Abdirrahman Af-Salami dari Abu Huralrah, isnad dla'lf.

98

Maka mengetahui batas-batas hal ini, hakikat, sebab, hasil dan pengobatannya adalah ilmu akhirat dan fardlu 'ain menurut fatwa ulama-ulama akhirat. Orang yang membuang muka dari ilmu tersebut, adalah binasa dengan kekuasaan Raja-diraja di akhirat, sebagaimana orang yang membuang muka dari segala pekerjaan dhahir, adalah binasa dengan kekuasaan pedang raja-raja dunia, berdasarkan fatwa ahli fiqih dunia.

Maka pandangan ulama fiqih mengenai fardlu 'ain itu, adalah bersandarkan kepada kepentingan dunia, sedang ini, bersandarkan kepada kepentingan akhirat. Bila ditanyakan kepada seorang ahli fiqih, tentang arti dari arti-arti ini, umpamanya tentang ikhlas atau tentang tawakkal atau tentang menjaga diri dari sifat ria, maka ia akan tertegun, sedangkan karena fardlu 'ainnya, bila diabaikan akan mendatangkan kebinasaannya di akhirat. Tetapi coba tanyakan tentang li'an, dhihar, berlombakuda dan memanah, niscaya akan diletakkannya dihadapanmu berjilid-jilid buku dengan terperinci yang mendalarn, yang menelan banyak waktu,. pada hal sedikitpun tidak diperlukan. Kalaupun ada yang diperlukan, niscaya tidaklah kosong negeri, dari orang yang menyanggupinya. Dan cukuplah letih dan payah padanya, lalu senantiaia ia berpayah-payah padanya, malam dan siang, pada menghafal dan mempelajarinya. Dan melupakan dari apa yang penting dalam agama.

Apabila didesak, maka ahli fiqih itu menjawab : "Aku menghabiskan waktu mempelajarinya karena fiqih itu ilmu agama dan fardlu kifayah". Ia mengelabui dirinya dan orang lain pada mempelajarinya. Orang cerdik itu tahu bahwa kalau adalah maksudnya melaksanakan perintah pada fardlu kifayah, tentu didahulukannya fardlu 'ain. Bahkan jugaakan didahulukannya banyak dari fardlu-fardlu kifayah yang.lain dari ilmu fiqih itu.

Berapa banyak negeri yang tidak berdokter, selain dari orang zimmi (orang kafir yang dilindungi pemerintah Islam). Orang zimmi itu menurut hukum fiqih, tidak dapat diterima menjadi saksi mengenai hal yang menyangktit dengan kedokteran. Kemudian, tidak seorangpun dari orang Islam, kami lihat bekerja dalam lapangan kedokteran. Mereka berlomba-lomba kepada ilmu fiqih, lebih-lebih masalah khilafiah dan perdebatan.

99

Negeri penuh dengan ulama fiqih, yang bekerja mengeluarkan fatwa dan memberi penjawaban dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Wahai kiranya, bagaimana ahli-ahli fiqih agama, memurahkan waktunya ' mengerjakan fardlu kifayah yang telah dikerjakan oleh suatu golongan. Dan mengabaikan yang tak ada orang bangun mengerjakannya. Adakah ini mempunyai sebab tertentu? Hanya pengetahuan kedokteran itu, tidak mudah menjadi pengurus harta wakaf, harta wasiat, pengawas harta anak yatim, menjadi hakim dan pemerintah, terkemuka dari teman sejawat dan berkuasa menghantam lawan. Benarlah kiranya, telah terinjak-injak ilmu agama dengan tingkah laku ulama jahat. Maka Allah Ta'ala tempat bermohon pertolongan. KepadaNya tempat berlindung, kiranya dilindungiNya kita dari penipuan ini, yang membawa kepada amarahNya dan metertawakan setan.

Ahli wara' dari ulama dhahir, mengaku kelebihan ulama bathin dan yang mempunyai mata hati. Imam Asy-Syafi'i ra. pernah duduk dihadapan Syaiban Pengembala, seperti duduknya seorang anak kecil di maktab, seraya bertanya : "Bagaimana membuat itu dan itu?" Maka dikatakan kepada Imam Asy-Syafi'i : "Seperti engkau bertanya pada Badui ini?". Maka menjawab Imam Syafi'i : "Sesungguhnya ini sesuai dengan apa yang kami lupakan". Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan Yahya bin Mu'in selalu pergi menjumpai Ma'ruf Al-Karkhi, padahal dalam ilmu dhahir tak adalah orang lain yang setingkat dengan keduanya. Imam Ahmad dan Yahya menanyakan : "Bagaimana?". Sedang Rasulullah saw, pernah bersabda, ketika ditanyakan : "Apa yang kami perbuat, apabila datang kepada kami suatu persoalan, yang kami tidak peroleh dalam Kitab dan Sunnah?". Maka Nabi saw. menjawab : (Salush shaalihiina waj-'aluuhu syuuraa bainahum). Artinya : "Tanyakanlah kepada orang-orang sholih dan selesaikanlah dengan jalan bermusyawarak dengan mereku". (1)
__________________
(1) DirawikanAth-Thabrani dari Ibnu Abbas, dipandang lemah oleh kebanyakan ahli hadits.

100

Karena itulah, dikatakan bahwa ulama dhahir itu adalah hiasan bumi dan kerajaan. Dan ulama bathin adalah hiasan langit dan alam malakut. Berkata Al-Junaid ra. : "Bertanya As-Sirri guruku kepadaku pada suatu hari : "Apabila engkau berpindah daripadaku, maka dengan siapa engkau bercakap-cakap?". Lain aku jawab : "Dengan Al-Muhasibi". Maka ia berkata : "Ya, betul! Ambillah dari-ilmunya dan adab kesopanannya! Tinggalkanlah dari engkau pemecahannya ilmu kalam dan serahkan itu kepada para ulama ilmu kalam sendiri (ulama mutakallimin)!". Kemudian tatkala aku berpisah, aku mendengar dia mengatakan : "Kiranya Allah menjadikan engkau seorang ahli hadits yang sufi. Tidak dijadikanNya engkau, seorang sufi yang ahli hadits". Diisyaratkan oleh As-Sirri, bahwa orang yang memperoleh hadits dan ilmu, kemudian bertasawwuf, maka akan memperoleh kemenangan. Dan orang yang bertasawwuf sebelum berilmu maka akan membahayakan bagi dirinya.

Kalau anda bertanya : "Mengapa anda tidak membentangkan ilmu kalam dan falsafah dalam bermacam-macam ilmu itu dan anda terangkan bahwa keduanya itu tercela atau terpuji?". Ketahuilah, bahwa hasil yang dilengkapi padanya ilmu kalam ialah dalil-dalil yang bermanfa'at. Maka Al-Qur-an dan hadits itu melengkapi padanya. Yang di luar dari Al-Qur-an dan Sunnah, maka adakalanya pertengkaran yang tercela dan ini termasuk perbuatan bid'ah, yang akan dijelaskan nanti. Dan adakalanya permusuhan yang menyangkut dengan partai-partai yang berlawanan. Dan merentang panjang dengan mengambil kata-kata, yang kebanyakannya batil dan keliru, dipandang buruk oleh pribadi yang baik dan ditolak oleh telinga yang sehat. Dan sebahagiannya lagi campuran pada yang tak ada hubungannya dengan agama. Bahkan tak dikenal pada masa pertama dari agama.

Dan adalah turut campur padanya dengan keseluruhan termasuk bid'ah. Tetapi sekarang, hukumnya telah berubah. Karena telah muncul bid'ah yang menyeleweng dari kehendak Al-Quran dan Sunnah. Dan telah tampil suatu golongan yang mencampuradukkan barang yang tak jelas. Lalu mereka menyusun kata-kata yang tersusun, sehingga yang ditakuti itu, memperoleh keizinan karena terpaksa. Bahkan telah menjadi sebagian dari fardlu kifayah.

101

Yaitu kadar yangdihadapi oleh pembuat bid'ah, apabila bermaksud menyerukan orang kepada bid'ah. Dan yang demikian kepada batas yang tertentu, akan kami sebutkan nanti pada bab yang akan datang, insya Allah Ta'ala. Adapun falsafah, maka tidaklah ia suatu ilmu yang berdiri sendiri. Tetapi terdiri dari em pat bahagian :

Pertama ilmu ukur dan ilmu berhitung. Keduanya mubah (dibolehkan) sebagaimana telah diterangkan. Dan tidak dilarang kedua ilmu itu, kecuali orang yang ditakuti akan melampaui kepada ilmu yang ! tercela. Kebanyakan orang yang bergiat dalam lapangan ilmu yang dua tadi, lalu keluar kepada bid'ah. Dari itu orang yang lemah, harus dijaga dari kedua ilmu tadi, bukan karena air (diri) keduanya, sebagaimana dijaga anak kecil dari tepi sungai, karena takut jatuh ke dalam sungai. Dan sebagaimana dijaga orang baru masuk Islam,daripada bercampur-baur dengan orang-orang kafir. Karena ditakuti membahayakan kepadanya. Sedang orang yang kuat, tak akan tertarik kepada bercampur dengan mereka.

Kedua ilmu mantiq (ilmu logika), yaitu membahas cara membuat dalil dan syarat-syaratnya, membuat batas dalil dan syaratnya. Dan keduanya itu masuk dalam ilmu kalam.

Ketiga ilmu keTuhanan. Yaitu membahas tentang dzat Allah Ta'ala dan sifatNya. Ini termasuk juga dalam ilmu kalam.

Para filosuf tidak menyendiri mengenai ilmu keTuhanan dengan bentuk suatu ilmu yang lain. Tetapi mereka menyendiri dengan bentuk aliran-aliran (madzhab-madzhab). Sebahagian dari padanya adalah kufur dan sebahagian lagi adalah bid'ah. Sebagaimana aliran Mu'tazilahpun tidaklah merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Tetapi penganut-penganutnya adalah suatu golongan dari ulama mutakallimin (ulama ilmu kalam). Dan ahli pembahasan dan penyelidikan itu, menyendiri dengan madzhab-madzhab yang batil. Maka seperti itu pulalah filosuf-filosuf. Keempat ilmu alam. Sebahagian daripadanya menyalahi syara' dan agama benar. Itu adalah kebodohan, bukan ilmu pengetahuan, sehingga dimasukkan dalam bahagian-bahagian ilmu.

Sebahagian lagi pembahasan, tentang sifat-sifat jizim (benda yang bertubuh) dan kegunaannya, cara berubah dan bertukar bentuknya.

Dan itu menyerupai dengan pandangan para dokter. Bedanya, . dokter itu memperhatikan pada tubuh manusia khususnya, dari segi ia sakit dan sehat. Sedang para ahli ilmu alam itu memperhatikan pada seluruh benda yang bertubuh (al-ajsam), dari segi ia berubah dan bergerak.

102

Tetapi ilmu kedokteran mempunyai kelebihan dari ilmu alam. Yaitu ilmu alam itu memerlukan kepada ilmu kedokteran. Dan ilmu para ahli ilmu alam itu, tidak diperlukan kepadanya. Jadi, ilmu kalam itu termasuk dalam jumlah usaha yang wajib secara kifayah, untuk menjaga hati orang awwam, dari penghayalan ahli bid'ah. Yang demikian itu terjadi, dengan terjadinya bid'ah, sebagaimana datangnya keperluan manusia menyewa pengawal dalam perjalanan hajji, dengan adanya kedzaliman dan perampokan di jalan yang dilakukan orang Arab. Kalau orang Arab itu telah meninggalkan permusuhan, maka tidaklah menyewa pengawal itu menjadi syarat dalam perjalanan hajji.

Maka karena itulah, kalau tukang bid'ah itu telah meninggalkan perkataan yang sia-sia, maka tak perlu lagi menambah dari apa yang ada pada masa shahabat Nabi ra.
Maka ahli ilmu kalam hendaklah mengetahui akan batasnya dalam agama. Dan kedudukan ilmu kalam dalam agama, sebagai kedudukan pengawal dalam perjalanan hajji. Apabila pengawal itu tidak melakukan pengawalan, niscaya dia tidak termasuk dalam jumlah orang hajji. Dan ahli ilmu kalam apabila tidak melakukan tugasnya untuk berdebat & mempertahankan pendirian, tidak menjalani jalan akhirat dan tidak bekerja mendidik dan memperbaiki hati, maka tidaklah sekali-kali dia tergolong dalam jumlah ulama agama. Dan tidaklah pada ahli ilmu kalam itu agama, selain aqidah yang bersekutu padanya, orang kebanyakan yang lain. 'Aqidah itu termasuk dalam golongan amal perbuatan dhahir dari hati dan lisan. Dan bedanya ahli ilmu kalam dari orang awwam, ialah dengan perbuatan berdebat dan penjagaan.

Adapun mengenai Allah Ta'ala, sifat dan af'alNya serta sekalian yang. telah kami isyaratkan dalam ilmu mukasyafah, maka tidaklah diperoleh dari ilmu kalam. Malah hampir adalah ilmu kalam itu menjadi hijab dan penghalang. Dan sesungguhnya, sampai kepadanya, ialah dengan mujahadah (bersungguh-sungguh hati) yang dijadikan oleh Allah sebagai mukaddimah bagi petunjuk, dengan firman-Nya :

103

wal ladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa wa innal laaha lama'al muhsiniin).
Artinya : "Mereka yang bersungguh-sungguh pada Kami, maka akan Kami tunjuki mcreka akan jalan Kami dan sesungguhnya Allah beserta orang yang berbuat baik". (S. Al-Ankabut, ayat 69).

Jika anda berkata, bahwa aku telah berulang kali mengatakan akan batas tugas ahli ilmu kalam, kepada menjaga 'aqidah orang awwam dari gaugguan pembuat bid'ah sebagaimana batas tugas pengawal, ialah menjaga pakaian jama'ah hajji dari gangguan orang Arab dan berulang-kali aku mengatakan akan batas tugas ahli fiqih, ialah menjaga undang-undang (qanun), yang dapat mencegah penguasa, kejahatan sebahagian musuh dari sebahagian yang lain.

Ini dua tingkat yang menurun, dengan menyandarkan kepada ilmu agama. Dan ulama ummat yang terkenal dengan keutamaan, adalah mereka, para ulama fiqih dan ulama kalam. Merekalah makhluk yang utama pada sisi Allah Ta'ala. Maka bagaimanakah menurunkannya derajat mereka kepada kedudukan yang rendah itu, dengan menyandarkan kepada ilmu agama?

Maka ketahuilah, bahwa orang yang mengenal kebenaran dengan orang-orang adalah orang yang heran dalam keheranan kesesatan. Dari itu kenalilah kebenaran, niscaya engkau akan mengenal ahli kebenaran itu, kalau engkau berjalan menuju jalan kebenaran. Jika engkau padakan dengan taqlid dan melihat kepada yang termasyhur dari tingkat-tingkat keutamaan diantara manusia, maka janganlah engkau melupakan para shahabat Nabi saw. dan ketinggian kedudukannya. Telah sepakat mereka, yang telah aku bentangkan, dengan menyebutkan mereka dari para ulama fiqih dan ilmu kalam, atas terkemukanya para shahabat itu. Dan sesungguhnya tidak terdapat tujuan pribadi mereka pada agama. Dan tidak dihancurkan debu jejak mereka. Dan tidaklah terkemuka mereka dengan ilmu kalam dan fiqih, akan tetapi dengan ilmu akhirat dan jalan menuju kepadanya. Tidaklah Abu Bakar ra. melebihi manusia lain lantaran banyak puasa, shalat, banyak meriwayatkan hadits, fatwa dan kata-kata. Tetapi kelebihannya adalah karena scsuatu yang mulia di dalam dadanya, sebagaimana diakui oleh Nabi saw. sendiri. (1)

________________
(1) Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Bakar bin Abdullan AI-Mazni dan kata Al-lraqi, aku

104

Dari itu hendaklah engkau berusaha mencari rahasia itu! Itulah jauhar yang bernilai dan mutiara yang tersimpan rapi. Tinggalkanlah akan apa yang bersesuaian engkau dengan kebanyakan manusia terhadap hal itu, terhadap pengagungan dan penghormatannya. Karena sebab-sebab dan penarik-penarik, yang akan panjang perinciannya.

Rasulullah saw. telah berpulang dengan meninggalkan beribu-ribu orang shahabat ra. Semuanya ulama billah. Mereka dipuji oleh Rasulullah saw. Tak ada seorangpun dari mereka yang tahu dengan baik tentang ilmu kalam. Dan tidak menegakkan dirinya menjadi juru fatwa, kecuali beberapa belas orang saja. Diantaranya ialah : Ibnu Umar ra.

Apabila Ibnu Umar ra. dimintakan fatwanya, lalu ia menjawab kepada peminta itu : "Pergilah kepada amir Aku yang bertanggung jawab segala urusan manusia dan letakkanlah dipundaknya". Kata-kata itu menunjukkan bahwa mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan dan hukum-hukum, adalah termasuk mengiluiti kekuasaan dan pemerintahan.

Ketika Umar ra. wafat, maka berkata Ibnu Mas'ud : "Telah meninggal sembilan persepuluh (9/10) ilmu".

Lalu orang bertanya kepadanya : "Mengapakah anda berkata demikian, padahal di tengah-tengah kita masih banyak shahabat?". Ibnu Mas'ud menjawab : "Aku tidak maksudkan ilmu fatwa dan hukum. Sesungguhnya aku maksudkan ilmu tentang Allah Ta'ala. Adakah anda berpendapat bahwa maksud Ibnu Mas'ud itu ilmu kalam dan ilmu berdebat? Kalau begitu mengapa anda tidak berlomba-lomba mempelajari ilmu tadi yang hilang sembilan persepuluh dari padanya, dengan wafatnya Umar ra. ? Dan Umarlah yang menutup pinlu ilmu kalam dan pertengkaran dan memukul Shabigh bin ‘Isl dengan ceraeti, tatkala memajukan suatu pertanyaan kepadanya tentang bertentangan dua ayat dalam Kitabullah (Al-Qur-an) dan membekotinya serta menyuruh orang banyak membikotinya (tidak bcrcakup-cakap dengan dia).

Adapun kata anda bahwu yang termasyhur dari ahli ilmu, ialah ahli ilmu fiqih dan ahli ilmu kalam, maka ketahuilah bahwa kelebihan yang diperoleh mereka pada sisi Allah itu adalah satu hal. Dan kemasyhuran yang diperolehnya pada manusia itu satu hal yang lain.

105

Sesungguhnya kemasyhuran Abu Bakar r.a. adalah karena dia khafilah. Sedang kelebihan yang diperolehnya adalah karena suatu sirr (rahasia) yang mulia di dalam hatinya. Kemasyuhuran Umar ra. adalah disebabkan siasah (politik). Dan kelebihannya adalah disebabkan ilmu mengenal Allah, yang mati sembilan persepuluh dari padanya. dengan kematiannya. Dan disebabkan maksudnya mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dalam pemerintahan keadilan dan kasih-sayangnya kepada makhluk Allah.

Dan itu adalah keadaan bathin dalam rahasia dirinya. Adapun segala perbuatan dhahiriahnya yang lain, maka tergambar timbulnya dari mencari kemegahan, nama, ingin terkenal dan gemar pada kemashuran itu. Maka adalah kemasyhuran itu, pada yang membinasakan. Dan kelebihan itu, mengenai hal rahasia yang tidak dilihat oleh seorang manusia pun.

Maka para ahli ilmu fiqih dan ilmu kalam, adalah seperti khalifah, kadli (hakim) dan ulama. Mereka itu terbagi-bagi. Ada diantaranya yang dikehendaki oleh Allah ta'ala dengan ilmunya, fatwanya dan pertahanannya akan Sunnah Nabi. Dan ia tidak mencari dengan yang demikian itu, keriaan dan kemasyhuran nama. Merekalah yang memperoleh kerelaan Allah. Dan kelebihan mereka pada sisiNya, karena telah berbuat sepanjang ilmu mereka. Dan karena kehendak mereka akan wajah Allah dengan fatwa dan pandangannya.

Tiap-tiap ilmu ada amal perbuatannya. Yaitu perbuatan yang diusahakan. Dan tidaklah tiap-tiap amal perbuatan itu bernama ilmu. Seorang tabib (dokter) sanggup mendekatkan dirinya kepada Allah Ta'ala dengan ilmunya. Maka ia memperoleh pahala atas ilmunya itu dari segi, bahwa ia berbuat karena Allah swt. Sultan (penguasa) menjadi perantaraan antara sesama makhluk Allah. Maka ia memperoleh kerelaan dan pahala daripada Allah swt. Tidak dari segi pertanggung-jawabannya dengan ilmu agama, akan tetapi dari segi ia mengikuti perbuatan, yang maksudnya, mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan ilmunya.

Bahagian-bahagian yang mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala itu, liga : ilmu semata-mata, yaitu ilmu mukasyafah. Amal semala-mata, yaitu seperti, keadilan bagi seorang raja dan perhati-annya akan kepentingan rakyat. Dan yang tersusun dari amal dan ilmu. Yaitu : ilmu jalan akhirat. Yang empunya ilmu tersebut , adalah sebagian dari ulama dan orang-orang yang beramal. Maka perhatikanlah kepada dirimu sendiri! Adakah engkau pada hari qiamat nanti, dalam golongan ulama Allah atau yang beramal pada jalan Allah atau dalam golongan kedua-duanya? Maka jadikanlah "

106

bahagianmu bersama kedua golongan itu! Maka inilah yang lebih penting kepadamu daripada turut-turutan, untuk semata-mata kemasyhuran, seperti kata orang :

"Ambillah apa yang engkau lihat, tinggalkanlah sesuatu yang didengar. Untuk mengetahui matahari terbit, engkau memerlukan bintang Zuhal".

Akan kami nukilkan dari riwayat hidup ulama-ulama fiqih terdahulu, di mana anda akan mengetahui nanti, bahwa orang-orang yang menganut madzhab mereka, telah berbuat dhalim terhadap mereka. Dan menjadi musuh terbesar dari ulama-ulama itu pada hari qiamat.
Para ulama yang terdahulu itu tak bermaksud dengan ilmunya, selain wajah Allah Ta'ala. Dari hal ikhwal mereka, dapat dipersaksikan, apa yang menjadi tanda-tanda ulama akhirat, sebagaimana akan diterangkan nanti pada Bab Tanda-tanda Ulama Akhirat. Mereka tidaklah semata-mata untuk ilmu fiqih, tetapi mereka berbuat dan memperhatikan akan ilmu yang berhubungan dengan hati. Bahkan mereka telah dipalingkan dari mengajar dan mengarang, oleh apa yang telah memalingkan para shahabat dahulu, dari mengarang dan mengajari fiqih. Padahal mereka itu adalah ulama fiqih yang berdiri sendiri dengan ilmu fatwa. Yang memalingkan dan yang mengajak itu diyakini dan tak ada perlunya disebutkan di sini.

Sekarang akan kami sebutkan kata-kata ulama fiqih Islam, di mana akan anda ketahui bahwa apa yang kami sebutkan itu, tidaklah mengecam mereka. Tetapi, adalah kecaman kepada orang-orang yang menyatakan dirinya mengikuti dan menganut madzhab mereka. Karena orang itu, menyalahi dalam perbuatan dan perjalanan dengan para ulama fiqih itu.

Adapun ulama fiqih yang menjadi pemimpin ilmu fiqih dan pahlawan ummat, yakni mereka yang banyak pengikutnya pada madzhab-madzhab itu, adalah lima, yaitu: Asy-Syafi'i, Malik, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsuri rahmat Allah kiranya kepada mereka. sekalian. Masing-masing mereka adalah 'abid (kuat beribadah), zahib (tidak terpengaruh oleh dunia), 'alim dengan semua ilmu akhirat, paham akan kepentingan ummat di dunia dan menghendaki dengan fiqihnya itu, akan wajah Allah Ta'ala.

107

Ini lima perkara, di mana yang diikuti oleh ulama fiqih sekirang dari keseluruhannya, hanya satu perkara saja. Yaitu : memberi tenaga dan bersangatan membuat fiqih itu bercabang-cabang. Karena yang empat perkara itu, tidaklah layak melainkan untuk akhirat. Dan yang satu perkara itu adalah untuk dunia dan akhirat. Jikalau dimaksudkan dengan dia itu akhirat, maka sedikitlah kepentingannya untuk dunia.

Ulama-ulama fiqih itu memberi tenaga dan mendakwakan dirinya serupa dengan imam-imam besar itu. Alangkah janggalnya, membandingkan malaikat dengan tukang-tukang besi!.

Marilah sekarang kami bentangkan hal-ikhwal mereka, yang menunjukkan kepada empat perkara tadi. Karena pengetahuan mereka tentang fiqh itu, terang.

Adapun Imam Asy-Syafi'i ra., maka yang menunjukkan ia seorang 'abid adalah riwayat yang menerangkan bahwa ia membagi malam, tiga bahagian : sepertiga untuk ilmu, sepertiga untuk ibadah dan sepertiga lagi untuk tidur.

Berkata Ar-Rabi' : "Adalah Imam Asy-Syafi'i ra. mengkhatamkan (menamatkan bacaan) Al-Qur-an dalam bulan Ramadlan, enam puluh kali. Semuanya itu dalam shalat.

Al-Buaithi salah seorang shahabatnya, mengkhatamkan Al-Qur-an dalam bulan Ramadlan, tiap-tiap hari sekali.

Berkata Al-Hasan Al-Karabisi : "Aku bermalam bersama Imam Asy-Syafi'i bukan satu malam. Dia melakukan shalat hampir sepertiga malam. Tidak aku lihat dia melebihkan dari lima puluh ayat. Apabila dia perbanyak maka sampai seratus ayat. Apabila ia membaca ayat rahmat lalu berdo'a kepada Allah Ta'ala untuk dirinya sendiri dan untuk sekalian kaum muslimin dan mu'minin. Dan apabila ia membaca ayat 'azab, lalu memohonkan perlindungan dan kelepasan daripadanya untuk dirinya dan untuk orang mu'min. Seakan-akan ia mengumpulkan harap dan bersama dengan takut.

Lihatlah, betapa dibuktikan oleh kependekan bacaannya atas 50 ayat, kepada melaut dan mendalam pemahamannya akan rahasia yang terkandung di dalam Al-Qur-an.

108

Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata : "Aku tidak pernah kenyang selama 16 tahun. Karena kekenyangan itu memberatkan tubuh, mengesatkan hati, menghilangkan cerdik, menarikkan tidur dan melemahkan orang yang kenyang itu dari beribadah". Maka lihatlah kepada hikmahnya pada menyebutkan bahaya-bahaya kekenyangan! Kemudian mengenai kesungguhannya beribadah, karena ia meninggalkan kekenyangan itu karena ibadah. Dan pundak beribadah itu, ialah menyedikitkan makan.

Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. lagi : "Tidak pernah aku bersumpah dengan nama Allah, baik dalam hal yang benar apalagi bohong". Lihatlah betapa hormat dan tunduknya kepada Allah Ta'ala dan dibuktikan oleh demikian atas pengetahuannya dengan kebesaran Allah swt.!.

Ditanyakan Imam Asy-Syafi'i ra. tentang suatu masalah, maka ia diam. Ketika ditanyakan lagi". Mengapa tuan tidak menjawab? Kiranya Allah merahmati tuan". Maka beliau menjawab : "Aku berpikir, sehingga aku mengetahui, mana yang lebih baik, pada diamku atau jawabku". Lihatlah, betapa diawasinya lidahnya, sedang lidah itu adalah anggota badan yang paling berkuasa bagi ulama fiqih dan paling payah mengekang dan menundukkannya. Dengan itu, jelaslah bahwa ia tidak berkata atau diam kecuali untuk memperoleh keutamaan dan pahala.

Berkata Ahmad bin Yahya bin Al Wazir : "Pada suatu hari keluarlah Imam Asy-Syafi'i ra. pergi ke pasar lampu, lalu kami ikuti dia dari belakang. Tiba-tiba ada orang yang membodohkan seorang ahli ilmu. Maka Imam Asy-Syafi'i menoleh kepada kami seraya berkata : "Bersihkanlah pendengaranmu dari mendengar kata-kata keji seperti kamu membersihkan lidahmu dari mengucapkannya. Sesungguhnya si pendengar adalah sekutu dari yang berkata. Orang yang lemah pikiran, melihat kepada barang yang sangat buruk di dalam wadahnya. Maka ia berusaha menuangkannya ke dalam wadahmu. Kalau ditolak perkataan orang yang lemah pikiran itu, maka akan berbahagialah yang menolaknya, sebagaimana akan celakalah yang mengatakannya".

Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Seorang filosuf menulis surat kepada seorang filosuf. Diantara isinya yaitu : "Engkau telah mendapat ilmu, maka janganlah engkau kotorkan ilmumu itu dengan kegelapan dosa. Nanti engkau akan tinggal dalam kegelapan, pada hari, di mana ahli ilmu bekerja dengan nur ilmunya".

Adapun zuhudnya maka berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Barangsiapa mendakwakan bahwa ia mengumpulkan antara cinta kepada dunia dan cinta kepada pencipta dunia dalam hati nuraninya, , maka dia itu bohong".

109

Berkata Al-Humaidi : "Imam Asy-Syafi'i ra. pergi ke Yaman bersama beberapa orang pembesar negeri. Lalu ia berangkat ke Makkah dengan membawa uang sepuluh ribu dirham, Di luar kota Makkah dibangunnya suatu tempat tinggal. Maka berdatanganlah manusia berkunjung kepadanya. Dia terus menetap di tempat itu sampai uang itu habis dibagi-bagikannya".

Pada suatu kali, Imam Asy-Syafi'i ra. keluar dari kamar mandi umum, lalu diberikannya uang yang banyak kepada penjaga kamar mandi itu. Pada suatu kali tongkatnya jatuh dari tangannya, lalu tongkat itu diserahkan orang kepadanya. Maka untuk berterima kasih kepada orang itu, lalu Imam Asy-Syafi'i ra. memberikan uang 50 dinar.

Kemurahan hati Imam Asy-Syafi'i ra. adalah lebih terkenal dari apa yang diceriterakan. Pangkal zuhud ialah kemurahan hati. Karena orang yang mencintai sesuatu benda, akan memegangnya erat-erat. Tidak ingin berpisah daripadanya. Maka tidak mau berpisah dari harta, selain orang yang telah kecillah dunia pada pandangannya. Dan itulah arti zuhud.

Betapa kuat zuhudnya dan sangat takutnya kepada Allah Ta'ala serta kesungguhan kemauannya dengan akhirat, adalah dibuktikan oleh apa yang diriwayatkan bahwa sesungguhnya Sufyan bin 'Uyaynah meriwayatkan suatu hadits tentang sifat yang halus-halus, lalu pingsanlah Asy-Syafi'i ra. Maka orang mengatakan kepadanya : Imam Asy-Syafi'i telah wafat. Lalu Sufyan menjawab : "Jika benarlah ia telah wafat maka telah wafatlah orang yang paling utama bagi zamannya". Dan apa yang diriwayatkan Abdullah bin Muhammad Al-Balawi dengan katanya :"Adalah aku & Umar bin Nabatah duduk memperkatakan tentang orang 'abid dan orang zahid. Maka berkata Umar kepadaku : "Belum pernah aku melihat orang yang lebih wara' dan lancar berbicara dari Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i ra. Aku, Imam Asy-Syafi'i dan Al-Harits bin Lu-baid pergi ke bukit Shafa. Al-Harits adalah murid Ash-Shalih Al-Marri. Ia memulai membaca Al-Qur-an. Adalah dia mempunyai suara merdu, lalu membaca ayat ini :

110

(Haadzaa yaumu laa yanthiquun. Wa laa yu'-dzanu lahum faya'ta-dziruun). Artinya : "Inilah hari yang dikala itu mereka tiada dapat berbicara. Dan kepada mereka tiada diberikan keizinan, sehingga mereka dapat memajukan keberatan (pembelaan)". (S. Al-Mursalat, ayat 35-36).

Maka aku lihat Imam Asy-Syafi'i ra. berubah warna mukanya, berkerut kulit keningnya, badannya gemetar lalu jatuh tersungkur. Ketika ia sadar kembali, maka ia berkata: "Aku berlindung dengan Engkau ya Allah dari tempat berdirinya orang-orang dusta dan penyelewengan orang-orang lengah. Ya Allah, kepadaMu jua tunduk hati orang-orang 'arifin (orang yang mengenal Allah) dan membungkuk merendahkan diri orang-orang yang rindu kepada Engkau! Tuhanku! Anugerahilah kepadaku limpah kuruniaMu! Muliakanlah aku dengan lindunganMu! Ma'afkanlah keteledoranku dengan kemurahanMu!".

Abdullah bin Muhammad Al-Balawi menerangkan : "Kemudian ia pergi dan kamipun pergi. Tatkala aku masuk Bagdad dan Asy-Syafi'i ra. masih di Irak. Maka aku duduk di tepi sungai, mengambil wudlu untuk bershalat. Tiba-tiba lewat disampingku seorang laki-laki, seraya berkata kepadaku : "Ya, saudara! Berwudlulah dengan baik, niscaya Allah memberikan kebaikan kepadamu di dunia dan di akhirat". Lalu aku menoleh, maka tiba-tiba aku dengan orang yang diikuti oleh orang ramai. Maka bergegas-gegaslah aku berwudlu dan mengikutinya dari belakang. Maka ia memandang kepadaku seraya bertanya : "Adakah bagimu keperluan ?".

"Ada!", jawabku. "Ajarilah aku sedikit dari pengetahuan yang dianugerahi Allah kepadamu!".

Maka ia menjawab : "Ketahuilah! Orang yang membenarkan Allah, niscaya terlepas dari bahaya. Orang yang sayang kepada agamaNya, niscaya selamat dari kehinaan. Orang yang zuhud pada dunia, niscaya tetaplah dua matanya memandang pahala dari pada Allah Ta'ala pada hari esok. Apakah aku tambahkan lagi ?" "Ya!". jawabku.

111

Lalu ia menyambung : "Orang yang ada padanya tiga perkara, maka sempurnalah imannya : orang yang menegakkan amar ma'ruf terhadap orang lalai dan terhadap dirinya, orang yang menjalankan nahi mungkar terhadap orang lain dan terhadap dirinya dan orang yang menjaga batas-batas yang ditcntu'kan Allah Ta'ala. Apakah aku tambahkan lagi?" 'Ya!", jawabku.

Maka ia menyambung : "Hendaklah kamu zuhud di dunia dan gemar ke akhirat. Dan benarkanlah akan Allah Ta'ala dalam segala pekerjaanmu, niscaya engkau terlepas serta orang-orang, yang terlepas dari segala mara bahaya". Kemudian ia pergi lalu aku tanyakan, siapakah orang itu ? Maka menjawab orang banyak : "Itulah Imam Asy-Syafi'i".

Lihatlah Imam Asy-Syafi'i ra. jatuh tersungkur, kemudian perhatikanlah kepada pengajarannya, betapa membuktikan yang demikian itu, kepada kezuhudan dan sangat ketakutannya kepada Allah Ta'ala. Ketakutan dan kezuhudan ini tidak datang selain karena mengenal Allah 'Azza wa Jalla.

Allah berfirman : (Innamaa yakhsyallaaha min 'ibaadihil 'ulamaa-u) (S. Fathir, ayat 28). Artinya : "Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hambaNya ialah ulama ". (S. Pathir, ayat 28).

Maka Imam Asy-Syafi'i ra. tidaklah memperoleh ketakutan dan kezuhudan itu. dari ilmu kitab berjual-beli dan sewa-menyewa dan lain-lam kitab fiqih. Tetapi diperolehnya dari ilmu akhirat yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits. Karena hukum dari orang-orang terdahulu dan yang kemudian, tersimpan pada keduanya.

Adapun tentang ke'alimannya, mengetahui segala rahasia hati dan ilmu-ilmu akhirat, maka anda dapat mengetahuinya dari kata-kata hikmah yang berasal daripadanya.

Menurut riwayat, pernah orang bertanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. tentang ria, maka ia menjawab dengan tegas: "Ria adalah suatu fitnah yang diikatkan oleh hawa nafsu untuk mendindingi penglihatan mata hati ulama-ulama. Lalu mereka melihat kepada ria itu, dengan jahatnya pilihan jiwa. Maka binasalah segala amalannya".

112

berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Apabila engkau takuti timbul 'ujub pada amalanmu, maka pandanglah kepada rela Tuhan yang engkau cari, pada pahala yang engkau gemari, pada siksa manapun yang engkau takuti, pada sehat yang engkau syukuri dan pada bala yang engkau ingati. Apabila engkau renungkan salah satu dari perkara-perkara tadi maka kecillah rasanya pada matamu amalanmu itu".

Lihatlah bagaimana Imam Asy-Syafi'i ra. menerangkan hakikat ria dan cara mengobati 'ujub. Keduanya itu adalah bahaya besar bagi hati.

Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Barangsiapa tiada menjaga dirinya maka tak bergunalah ilmunya".

Katanya lagi : "Barangsiapa ta'at kepada Allah Ta'ala dengan ilmu, maka bermanfa'atlah bathinnya". Katanya lagi: "Tiada seorangpun melainkan mempunyai yang dikasihi dan yang dimarahi. Apabila ada seperti demikian, rnaka hendaklah engkau bersama golongan orang yang ta'at kepada Allah Ta'ala".

Diceriterakan bahwa Abdul Kadir bin Abdul Aziz adalah seorang salih yang wara'. Dan ia bertanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. tentang masalah wara' itu. Dan Imam Asy-Syafi'i amat suka menerima kedatangannya karena wara'nya. Maka pada suatu hari bertenyalah ia kepada Imam Asy-Syafi'i ra. "Manakah yang lebih utama : sabar atau diuji atau diberi keteguhan hati?".

Maka menjawab Imam Asy-Syafi'i ra. : "Diberi keteguhan hati adalah derajat Nabi-Nabi. Dan tak ada keteguhan hati itu selain sesudah diuji. Apabila diuji maka bersabar. Apabila sudah bersabar maka teguhlah hati. Tidaklah engkau lihat, bahwa Allah Ta'ala menguji Nabi Ibrahim as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati? Ia menguji Nabi Musa as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati. Ia menguji Nabi Ayub as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati. Dan ia menguji Nabi Sulaiman as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati dan menganugerahinya kerajaan. Maka ketetapan hati itu, adalah derajat yang paling utama Berfirman Allah Ta'ala : (Wa kadzaalika makkannaa li-yuusufa fil ardli).

113

Artinya : "Dan begitulah Kami teguhkan kedudukan Yusuf di muka bumi". (S. Yusuf, ayat 21).

Nabi Ayub as. sesudah menghadapi ujian besar, barulah diberi keteguhan hati.

Berfirman Allah Ta'ala : ( Ai Wa aatainaahu ahlahuu wa mitslahum ma'ahum.).

Artinya : "Kami berikan kepadanya pcngikut-pengikutnya dan tambahannya lagi sebanyak itu pula". (S. Al-Ambiya', ayat 84).

Kata-kata tersebut dari Imam Asy-Syafi'i ra. menunjukkan betapa melaui pahamnya akan rahasia yang terkandung dalam Al-Qur-an dan penglihatannya tentang kedudukan orang-orang yang menuju kepada Allah Ta'ala, baik Nabi-Nabi atau Wali-Wali. Semuanya itu adalah dari ilmu akhirat.

Ditanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. : "Bilakah seorang itu dipandang 'alim?".

Ia menjawab : "Apabila ia yakin pada sesuatu ilmu lalu diajarinya ilmu itu. Kemudian ia menempuh ilmu-ilmu yang lain, maka dilihatnya, mana yang belum diperolehnya. Ketika itu, barulah dia seorang 'alim".

Pernah ditanyakan orang kepada Jalinus : "Sesungguhnya tuan menyuruh buat bermacam-macam obat untuk satu penyakit" Menjawab Jalinus : "Yang dimaksudkan dari obat-obat itu adalah satu. Dan dimasukkan yang lain ke dalamnya, adalah supaya tetap ketajamannya, karena kalau masing-masing sendiriannya itu membunuh".

Contoh tadidan lain-lainnya yang tidak terkira banyaknya, menunjukkan ketinggian derajat Imam Asy-Syafi'i tentang mengenal Allah Ta'ala dan ilmu akhirat.

Adapun maksudnya dengan ilmu fiqih dan perdebatan di dalamnya, adalah semata-mata wajah Allah Ta'ala. Dalil untuk itu adalah riwayat yang menerangkan bahwa Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata:

114

"Aku ingin manusia mengambil manfa'at dari ilmu ini dan ilmu-ilmu lain yang ada padaku, meskipun sedikit".

Maka lihatlah betapa Imam Asy-Syafi'i ra. memperhatikan kepada bahaya ilmu dan mencari nama baginya. Dan bagaimana ia membersihkan hati dari pada berpaling kepadanya, yang semata-mata niatnya adalah karena wajah Allah Ta'ala. Asy-Syafi'i ra. berkata : "Tidaklah sekali-kali aku bertukar pikiran dengan seseorang, dengan tujuan bahwa aku lebih suka ia salah". Katanya lagi : "Tidaklah sekali-kali aku berkata dengan seseorang, selain aku menyukai supaya dia mendapat taufiq dan kebenaran, pertolongan dan pimpman daripada Allah Ta'ala serta pemeliharaan. Dan tidak-jah sekali-kali aku berbicara dengan seseorang, selain perhatianku supaya kebenaran diterangkan Allah dengan lidahku atau lidahnya"

Berkata lagi Imam Asy-Syafi'i ra. : "Tidaklah aku kemukakan kebenaran dan keterangan kepada seseorang, lalu diterimanya daripadaku, melainkan aku takut kepadanya dan aku percaya akan kasih sayangnya. Sebaliknya, kalau orang menyombong diri dengan aku terhadap kebenaran dan menolak keterangan maka jatuhlah orang itu dari pandanganku dan aku menolak berhadapan dengan dia".

Inilah tanda-tanda, yang menunjukkan atas kehendak Allah Ta'ala dengan ilmu fiqih dan perdebatan (munadlarah) itu. Maka lihatlah betapa Imam Asy-Syafi'i ra. dituruti orang dari jumlah perkara yang lima itu, kepada satu perkara saja. Kemudian, bagaimana pula orang-orang itu menyalahinya dalam satu perkara tadi. Dan karena inilah berkata Abu Tsaur ra. : "Tak pernah aku dan orang-orang lain melihat seperti Imam Asy-Syafi'i ra.". Berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra. : "Tak pernah aku melakukan shalat selama empat puluh tahun, yang tidak aku berdo'a kepada Imam Asy-Syafi'i ra.".

Lihatlah betapa adanya keinsyafan dari orang yang mendo'a dan betapa pula derajat orang yang dido'akan. Cobalah bandingkan dehgan Imam Asy-Syafi'i ra. akan teman-teman dan tokoh-tokoh ulama pada masa ini. Dan apa yang terjadi dikalangan mereka yang merupakan pendendaman dan permusuhan. Supaya engkau tahu keteledoran mereka mengakui mengikuti ulama-ulama besar itu. Karena banyaknya do'a Imam Ahmad bin Hanbal kepada Imam Asy-Syafi'i ra. lalu bertanyalah anaknya : "Orang mana Asy-Syafi'i itu sampai ayah mendo'a semua do'a ini?".

115

Maka menjawab Ahmad bin Hanbal : "Hai anakku! Imam Asy-Syafii " itu adalah seumpama matahari bagi dunia dan kesehatan bagi manusia". Lihatlah, adakah bagi dua perumpamaan tadi, orang yang dapat menggantikannya?

Imam Ahmad pernah berkata : "Tiada seorangpun menyentuh botol tinta dengan tangannya, melainkan ada jasa Imam Asy-Syafi'i padanya".

Berkata Yahya bin Sa'id Al-Qattan : "Tidak pernah aku bershalat selama empat puluh tahun, yang tidak aku berdo'a di dalamnya kepada Imam Asy-Syafi'i. Karena Allah 'Azza wa Jalla telah membuka ilmu baginya dan memberinya taufiq kepada jalan yang benar".

Kiranya kita cukupkan sekian mengenai hal-ikhwal Imam Asy-Syafi'i itu, karena banyaknya tidak terhingga. Sebahagian besar dari perjalanan hidup Imam Asy-Syafi'i ini, kami salin dari kitab biografinya, karangan Syekh Nasar bin Ibrahim Al-Muqaddasi ra. Kiranya Allah merelai Imam Asy-Syafi'i dan seluruh kaum muslim!. Adapun Imam Malik; ra. maka beliaupun berpakaian dengan yang lima perkara itu. Pernah orang bertanya kepadanya tentang menuntut ilmu : "Apakah yang hendak tuan katakan tentang menuntut ilmu?". Lalu menjawab Imam Malik ra. : "Bagus, baik! Tetapi perhatikanlah apa yang harus engkau kerjakan dari pagi sampai petang, maka perlukanlah pekerjaan itu!". Imam Malik ra. sangat memuliakan ilmu agama. Sehingga apabila ia bermaksud meriwayatkan hadits, maka lebih dahulu ia mengambil wudlu' dan duduk dihadapan tempat duduknya dan menyisirkan janggutnya, memakai bau-bauan serta duduk dengan tenang dan bersikap. Maka barulah beliau meriwayatkan hadits itu". Karena caranya yang demikian, maka orang bertanya kepadanya, lalu ia menjawab : "Aku suka membesarkan hadits Rasulullahsaw." Berkata Imam Malik ra. : "Ilmu itu nur, yang diberikan oleh Allah menurut kehendakNya. Dan tidaklah ilmu itu dengan banyak cerita"

Kehormatan dan kemuliaan yang diberikan Imam Malik itu, menunjukkan kepada ketinggian mutu pengetahuannya tentang kebesaran Allah Ta'ala.

116

Tentang tujuan Imam Malik ra. dengan ilmunya itu akan wajah Allah Ta'ala, dibuktikan oleh ucapannya : "Bertengkar dalam agama, tiada gunanya sama sekali". Dan dibuktikan lagi dengan ucapan Imam Asy-Syafi'i ra. : "Saya melihat Imam Malik ra, ketika dimajukan kepadanya empat puluh delapan masalah, maka ia menjawab mengenai tiga puluh dua dari masalah -masalah itu : "Saya tidak tahu".

Orang yang bertujuan dengan ilmunya bukan wajah Allah Ta'ala, tentu tidak bersedia mengaku tidak tahu. Dari itu, berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Apabila disebut nama ulama, maka Malik adalah bintangnya yang cemerlang. Dan tidak ada seorangpun yang lebih banyak jasanya kepadaku, dari Imam Malik".

Menurut riwayat, Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur melarang Imam Malik daripada meriwayatkan hadits mengenai talak dari orang yang dipaksakan. Kemudian Abu Ja'far mengancam orang yang menanyakan itu pada Imam Malik. Lalu Imam Malik menyambut ancaman tadi dengan meriwayatkan di muka umum hadits Nabi saw. yang menerangkan bahwa tidak jatuh talak orang yang dipaksakan.

Maka khalifah menyuruh pukul Imam Malik dengan cemeti. Tetapi beliau terus meriwayatkan hadits itu.

Imam Malik ra. berkata : "Tiadalah seseorang yang benar dalam pembicaraannya dan tidak membohong, melainkan akal pikirannya mendapat hiasan dan tidak akan kena bencana dan pikiran-pikiran khurafat pada hari tuanya".

Tentang zuhudnya Imam Malik menghadapi dunia, dibuktikan oleh riwayat bahwa khalifah Al-Mahdi bertanya kepada Imam Malik: "Adakah tuan mempunyai rumah?".

"Tidak ada", jawab Imam Malik. "Tetapi dapat aku terangkan bahwa pernah mendengar Rabi'ah bin Abi Abdir Rahman berkata : "Bangsa seseorang ditunjukkan oleh rumahnya".

Khalifah Harunur Rasyid bertanya kepada Imam Malik : "Adakah tuan mempunyai rumah?".

"Tidak ada!", jawabnya.

"Lalu Harunur Rasyid menganugerahkan uang tiga ribu dinar kepada Imam Malik, seraya mengatakan : "Belilah rumah dengan uang ini!".

Imam Malik mengambil uang itu, tetapi tidak dibelinya rumah.

117

Ketika Harunur Rasyid ingin bertambah terkenal, lalu mengatakan kepada Imam Malik ra. "Seyogialah tuan pergi bersama kami. Aku bercita-cita membawa perhatian manusia kepada kitab " Al-Muaththa' " (nama kitab yang dikarang Imam Malik), sebagaimana khalifah Usman ra. membawa perhatian manusia kepada Al-Quran.

Menjawab Imam Malik : "Adapun membawa manusia kepada Kitab Al-Muaththa', maka tiada jalan kepadanya. Karena para shahabat Rasulullah saw. sudah bersebar kesegenap negeri sesudah wafatnya. Lalu mereka memperkatakan hadits. Maka pada tiap-tiap penduduk negeri ada ilmunya. Nabi saw. pernah mengatakan : (Dchtilaafu ummatii rahmah). Artinya : "Perbedaan pendapat ummatku itu adalah suatu rahmat".(1)

Adapun keluar bersama tuan, maka tiada jalan kepadanya. Nabi saw. pernah bersabda : (Al-madiinatu khairun lahum lau kaanuu yalamuun). Artinya : "Madinah ini lebih baik bagi mereka kalau mereka mengetahuinya" Dan lagi Nabi saw. bersabda : (Al-madiinatu tanfii khabatsahaa kamaa yanfil kiiru khabatsal ha-diid). Artinya : "Madinah itu menghilangkan kotorannya seperti penempaan menghilangkan kotoran best".
_________________
(1) Hadits ini dlriwilon AI-Bilhaql dart Ibnu Atabai dan isnadnya dla'lf.
(2) Dlrawikan AI-Bukharl dan Mutlim aari Sufyan bin Abl Zuhalr.
(3) Dlrawikan AI-Bukharl dan Muslim dart Abl Huralrah.

118

Inilah dinarmu, seperti adanya! Kalau kamu mau, maka ambilkan-lah! Dan kalau kamu tak mau, maka tinggalkanlah! Yakni sekira-nya engkau memaksakan aku supaya berpisah dengan kota Madinah, maka tidak dapat engkau berbuat demikian kepadaku. Aku tidak dapat memilih dunia dari Madinah Rasulullah saw.".

Begitulah zuhudnya Imam Malik ra. pada dunia! Sewaktu dibawa kepadanya harta yang banyak dari beberapa sudut dunia untuk perkembangan ilmunya dan teman-temannya, maka dibagi-bagikannya uang itu pada jalan kebajikan. Kemurahan hatinya menunjukkan kepada zuhudnya dan sedikit cintanya kepada dunia. Zuhud sebetulnya bukan ketiadaan harta, tetapi zuhud ialah kosongnya hati dari harta itu. Nabi Sulaiman pun salah seorang yang zuhud dalam pemerintahannya.

Dibuktikan betapa hina pandangan Imam Malik kepada dunia, oleh suatu riwayat dari Imam Asy-Syafi'i, bahwa Imam Asy-Syafi'i menerangkan : "Aku melihat pada pintu tempat tinggal Imam Malik seekor kuda Khurasan, namanya "Misr". Aku belum pernah melihat kuda secantik itu. Lalu aku mengatakan kepadanya : "Alangkah cantiknya kuda ini!".

Maka beliau menjawab : "Kuda ini hadiahku kepadamu, hai ayah Abdullah!".

Maka aku menjawab : "Biarlah kuda ini untuk tuan hamba, menjadi kuda tunggangan tuan hamba sendiri".

Menyambung Imam Malik : "Aku malu kepada Allah Ta'ala memijakkan tanah dengan kuku kuda, di mana di dalamnya dikuburkan Nabi Allah saw.".

Lihatlah betapa kemurahan hati Imam Malik dengan menyerahkan semuanya itu sekaligus dan betapa penghormatannya kepada tanah Madinah!.

Dibuktikan kepada kehendaknya dengan ilmu itu, akan wajah Allah Ta'ala dan tentang hina pandangannya kepada dunia, oleh riwayat yang menerangkan bahwa Imam Malik pernah berkata : "Aku pernah datang ke tempat Harunur Rasyid. Lalu berkatalah Harunur Rasyid kepadaku : "Wahai Ayah Abdullah! Sayogialah tuan selalu datang kepada kami, sehingga anak-anak kita mendengar kitab Al-Muaththa' langsung dari tuan sendiri". Imam Malik berkata : "Lalu jawabku : "Kiranya Allah menambahkan kemuliaan Amir penghulu kami. Sesungguhnya ilmu itu adalah seumpama t uang keluar dari padamu. Jikalau engkau muliakan, maka mulialah dia dan jika engkau hinakan maka hinalah dia. Ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi (Al-'ilmu yu'tawalaa ya'ti)"

119

Maka menyambung Harunur Arasyid : "Benar tuan! Keluarlah ." ke masjid supaya tuan mendengar bersama manusia ramai!". Adapun Imam Abu Hanifah ra. juga seorang 'abid, zahid, 'arif billah, amat takut kepadaNya dan menghendaki wajah Allah dengan ilmunya.

Adapun dia itu 'abid, maka dapat diketahui dengan riwayat dari Ibnul Mubarak yang mengatakan : "Imam Abu Hanifah ra. adalah seorang yang berperikemanusiaan dan banyak mengerjakan shalat". Menurut ceritera Hammad bin Abi Sulaiman, adalah Imam Abu Hanifah menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah. Menurut riwayat yang lain, ia menghidupkan setengah malam dengan ibadah.

Pada suatu hari, Imam Abu Hanifah lalu di jalan besar. Lalu orang menunjukkan kepadanya dan ia sedang berjalan kaki, dengan mengatakan kepada orang lain : "Itulah dia, orang yang menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah".

Maka senantiasalah sesudah itu, ia menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah dan mengatakan : "Aku malu kepada Allah swt disebutkan tentang ibadahku yang tidak sebenarnya". Mengenai zuhudnya, diriwayatkan dari Ar-Rabi' bin 'Ashim, yang mengatakan : "Aku diutus oleh Yazid bin Umar bin Hubairah. Maka aku datang menjumpai Abu Hanifah. Yazid mau mengangkat Abu Hanifah menjadi pengurus "baital-mal". Ia menolak lalu dipukul 20 kali".

Lihatlah bagaimana ia lari dari pangkat dan bersedia menanggung 'azab sengsara.

Berkata Al-Hakam bin Hisyam At-Tsaqafi : "Orang menceriterakan kepadaku di negeri Syam, suatu ceritera tentang Abu Hanifah, bahwa beliau adalah seorang manusia pemegang amanah yang terbesar. Sultan mau mengangkatnya menjadi pemegang kunci gudang kekayaan negara atau memukulnya kalau menolak. Maka Abu Hanifah memilih siksaan mereka daripada siksaan Allah Ta'ala".

120

Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah disebutkan namanya pada Ibnul Mubarak, lalu Ibnul mubarak menjawab : "Adakah kamu sebutkah seorang laki-laki, yang diberikan kepadanya dunia dengan segala kemewahannya, lalu ia lari daripada kemewahan itu?".

Diriwayatkan dari Muhammad bin Syujja', berasal dari setengah shahabat Abu Hanifah, bahwa ada orang mengatakan kepada Abu Hanifah : "Amirul-mu'minin Abu Ja'far Al-Manshur memerintahkan untuk dianugerahkan kepada tuan, uang sebanyak sepuluh ribu dirham".

Muhammad bin Syujja' mengatakan, bahwa Abu Hanifah tidak bersedia menerima pemberian tersebut. Muhammad bin Syujja' mengatakan : "Ketika sampai pada hari yang diduga uang itu akan diantarkan kepada Abu Hanifah, maka ia mengerjakan shalat shubuh. Kemudian ia menutup badannya dan tidak berkata-kata sepatah katapun".

Maka datanglah utusan Al-Hasan bin Quhthubah membawa uang, lalu masuk ke tempat Abu Hanifah. Dan Abu Hanifah tidak berbicara dengan dia. Lalu berkata sebahagian seorang yang hadlir : "Beliau itu tidak berbicara dengan kita, kecuali sepatah demi sepatah. Artinya, itulah kebiasaan beliau".

Kemudian, maka berkatalah Imam Abu Hanifah : "Letakkanlah uang itu dalam tas kulit ini dan bawalah ke sudut rumah!". Kemudian, sesudah itu, Abu Hanifah meninggalkan wasiat mengenai harta benda di rumahnya. Dia mengatakan kepada anak-nya : "Apabila aku mati kelak dan aku telah kamu kuburkan maka ambillah dirham yang puluhan ribu ini. Dan bawalah kepada Al-Hasan bin Quhthubah dan katakanlah kepadanya : "Ambillah barang simpanan engkau yang engkau simpan pada Abu Hanifah!".

Berkata anak Abu Hanifah : "Maka aku laksanakan wasiat itu". Lalu berkata Al-Hasan : "Rahmat Allah kepada ayahmu. Sesungguhnya dia adalah orang yang tidak mau sedikitpun mengulur tentang agamanya".

Diriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah dipanggil untuk diangkat menjadi kadli (hakim), lalu ia menjawab : "Aku tidak layak untuk jabatan itu!".

Lalu orang bertanya kepadanya : "Mengapa?".

Abu Hanifah menjawab : "Kalau aku benar, maka aku tak layak untuk itu. Kalau aku bohong, maka pembohong tak layak menjadi kadli!".

121

Adapun ilmunya dengan jalan akhirat dan jalan urusan agama serta pengetahuannya tentang Allah 'Azza wa Jalla, maka dibuktikan oleh kesangatan takutnya kepada Allah Ta'aladan zuhudnya terhadap dunia. Berkata Ibnu Juraij : "Telah sampai kepadaku tentang orang negeri Kufahmu yakni Nu'man bin Tsabit (Abu Hanifah) itu, bahwa ia seorang yang sangat takut kepada Allah . Ta'ala".

Berkata Syuraik An-Nakha'i : "Adalah Abu Hanifah seorang pendiam, selalu berpikir dan sedikit berbicara dengan manusia". Inilah diantara tanda-tanda yang tegas, dari ilmu bathin dan bekerja untuk kepentingan agama. Barangsiapa bersifat pendiam dan zuhud, maka telah memperoleh semua ilmu pengetahuan.

Demikianlah sekelumit dari perikehidupan tiga imam besar itu. Adapun Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan Sufyan Ats-Tsuri ra. maka pengikut keduanya adalah kurang, bila dibandingkan dengan pengikut imam yang tiga itu. Pengikut Sufyan, adalah kurang bila dibandingkan dengan pengikut Imam Ahmad. Tetapi kemasyhuran dua imam ini, dengan wara' dan zuhud, adalah lebih menonjol. Seluruh isi kitab ini, penuh dengan ceritera-ceritera mengenai perbuatan dan perkataan keduanya. Dari itu tidak perlu lagi diperinci sekarang.

Maka lihatlah sekarang tentang perjalanan hidup imam tiga itu!. Dan perhatikanlah bahwa segala keadaan tersebut, perkataan dan perbuatan mereka itu, tentang berpaling dari dunia dan menumpahkan seluruh perhatian kepada Allah Ta'ala, adakah dihasilkan oleh semata-mata pengetahuan dengan cabang-cabang fiqih, dari pengetahuan berjual beli, menyewa, dhihar, ila' dan li'an ata'u dihasilkan oleh sesuatu pengetahuan lain yang lebih tiriggi dan lebih mulia dari ilmu fiqih itu? Dan lihatlah kepada mereka yang mendakwakan dirinya pengikut imam-imam itu, apakah mereka benar pada pendakwaannya atau tidak?

122

BAB KETIGA : Ilmu yang dianggap oleh orang awwam, terpuji dan sebenarnya tidak. Padanya penjelasan segi yang menyebabkan sebahagian ilmu itu menjadi tercela dan penjelasan penggantian nama-nama ilmu, yaitu : Fiqih, Ilmu, Tauhid, Tadzkir dan Hikmah. Dan penjelasan batas terpuji dan batas tercela dari ilmu-ilmu sya-ri'at.

PENJELASAN SEBAB TERCELANYA ILMU YANG TERCELA

Mudah-mudahan anda mengatakan bahwa ilmu ialah mengetahui sesuatu, menurut yang sebenarnya. Dan ilmu itu adalah salah satu daripada sifat Allah Ta'ala. Maka bagaimanakah sesuatu itu menjadi ilmu dan bagaimanakah ia menjadi ilmu yang tercela?

Ketahuilah kiranya, bahwa ilmu itu tidaklah tercela karena ilmu itu sendiri. Tetapi tercelanya adalah pada hak manusia, karena salah satu dari tiga sebab :

Sebab Pertama : Adalah ilmu itu membawa kepada sesuatu kemelaratan. Baik bagi yang mempunyai ilmu itu sendiri atau bagi orang lain seumpama tercelanya ilmu sihir dan mantera-mantera.

Itu memang sebenarnya, karena diakui oleh Al-Quran yang demikian. Dan ilmu itu menjadi sebab yang membawa kepada perceraian diantara suami isteri. Rasulullah saw. telah pernah disihir orang dan sampai sakit karenanya (1). Maka malaikat Jibril as. datang menyampaikan peristiwa itu kepada Nabi saw. dan mengambil benda sihir itu dari bawah batu pada dasar sumur.

Sihir itu adalah semacam keadaan, yang diambil dari pengetahuan dengan khasiat benda-benda, disertai dengan hitungan tentang terbit bintang-bintang. Dari benda-benda itu diperbuat suatu boneka menurut bentuk orang yang disihirkan.
________________
(1) Hadits tentang Rasulullah saw. disihir orang. dirawikan AI-Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah ra.

123

Dan diintip suatu waktu tertentu dari terbit bintang-bintang dan disertai pembacaan kalimat-kalimat yang berasal dari kufur dan keji, yang menyalahi syari'at. Dan dengan kalimat-kalimat itu, sampai kepada meminta tolong kepada setan-setan.

Dari keseluruhah itu, dengan hukum kehendak Allah Ta'ala di luar kebiasaan, terjadilah hal-hal yang luar biasa pada diri orang yang disihirkan.

Dan mengetahui sebab-sebab tersebut dari segi dia itu pengetahuan, tidaklah tercela. Tetapi tidaklah dia itu membawa kebaikan, selain daripada mendatangkan kemelaratan kepada makhluk Tuhan.

Jalan kepada kejahatan adalah kejahatan. Maka itulah sebabnya, ilmu sihir itu menjadi ilmu yang tercela. Bahkan orang yang mengikuti seorang aulia Allah untuk dibunuhnya, di mana aulia itu sudah bersembunyi daripadanya, pada suatu tempat yang ;, terjamin, apabila orang dzalim menanyakan tempat aulia itu, maka tidak boleh memberitahukannya tetapi wajib berdusta.

Menerangkan tempat persembunyian aulia itu, adalah menunjuk dan memfaedahkan pengetahuan tentang sesuatu, menurut yang sebenarnya. Tetapi itu tercela, sebab membawa kepada kemelaratan.

Sebab Kedua : Bahwa ilmu itu menurut kebiasaan, memberi melarat kepada yang empunya ilmu itu sendiri, seperti ilmu nujum.

Ilmu nujum itu sendiri tidak tercela, sebab dia terbagi dua :

1. Bahagian hisab. Al-Qur-an sudah menerangkan bahwa perjalanan matahari dan bulan itu dengan hisab.

Berfirman Allah Ta'ala : (Asy-syamsu wal qamaru bihusbaan). (S. Ar-Rahmaan, ayat 5).

Artinya : "Matahari dan bulan itu beredar menurut hisab (perhitungan). (S. Ar-Rahman, ayat 5)

124

Dan firman Allah Ta'ala : (Wal qamara qaddamaahu manaazila hattaa 'aada kal-'urjuunil qadiim). (S. Yaasiin, ayat 39).

Artinya : "Kami tentukan bulan itu beberapa tempat tertentu sampai kembali dia seperti mayang yang sudah tua ". (S. Yaasiin, ayat 39).

2. Hukum-hukum dan hasilnya kembali kepada membuat dalil atas segala kejadian dengan sebab-musababnya. Yaitu, menyerupai dengan cara dokter membuat dalil dengan detakan jantung kepada apa yang akan terjadi dari penyakit. Yakni mengetahui tempat berlakunya sunnah Allah dan adat kebiasaanNya pada makhlukNya.

Tetapi ilmu tadi dicela agama. Bersabda Nabi saw. : (Idzaa dzukiral qadaru fa-amsikuu wa idzaa dzukiratin nujuumu fa-amsikuu wa idzaa dzukira ashhaabii fa-amsikuu).

Artinya : "Apabila disebut taqdir, maka peganglah! Apabila disebut bintang maka peganglah! Dan apabila disebut shahabatku. maka peeanelah!".(1)

Dan bersabda Nabi saw. : (Akhaafu 'alaa ummatii ba'dii tsalaatsan : haiful a-immati wal umaanu binnujuumi wat-takdziibu bil qadari).
_______________
(1) Dirawikan Al-Thabrani dari Ibnu Mas'ud. densan Isnad baik

125

Artinya: "Aku takut atas ummatku sesudahku tiga perkara : kezaliman imam-imam, percaya kepada bintang-bintang dan pcndustaan kepada taqdir. (1)

Berkata Umar bin Al-Khaththab ra. : "Pelajarilah dari bintang-bintang itu, apa yang dapat menunjuhkan jalan kepadamu didarat dan dilaut, kemudian berpeganglah kepada pengetahuan itu!".

Dilarang pengetahuan tersebut dari tiga segi :

1: Bahwa ilmu itu memberi melarat kepada kebanyakan orang. Sebab apabila diterangkan kepada mereka bahwa hal-hal itu terjadi adalah akibat perjalanan bintang-bintang, lalu tumbuhlah anggapan dalam hati mereka bahwa bintang-bintang itu dapat memberi bekas. Dan bahwa bintang-bintang itu tuhan-tuhan pengatur, karena dia itu dzat mulia di langit. Dan besarlah kesannya dalam hati, lalu kekallah hati menoleh kepadanya. Dan hati itu melihat kebaikan dan kejahatan itu dilarang atau diharap dari pihak bintang-bintang itu. Lalu terputuslah dari hati ingatan kepada Allah Ta'ala. Orang yang lemah imannya menunjukkan pandangannya kepada perantara-perantara. Seorang berilmu yang mendalam, memandang bahwa matahari, bulan dan bintang itu menuruti perintah Allah Ta'ala.

Pandangan seorang yang lemah iman, kepada adanya cahaya matahari sesudah terbit, adalah seumpama semut, jika dijadikan baginya akal dan dia berada di atas secarik kertas, lalu memandang kepada kehitaman tulisan yang terus membaru, maka dia beri'tikad bahwa itu perbuatan pena dan tidak meningkat pandangannya kepada memperhatikan anak jari. Kemudian dari jari, kepada tangan, kemudian kepada kemauan yang menggerakkan tangan itu. Kemudian dari tangan kepada penulis itu sendiri yang bertenaga dan berkemauan. Kemudian dari penulis itu kepada Yang Menjadikan tangan, kemampuan dan kemauan.

Kebanyakan pandangan manusia terbatas pada sebab-sebab yang dekat, yang di bawah, terputus dari peningkatan kepada yang menyebabkan sebab-sebab itu. Iniah salah satu sebab pelarangan ilmu nujum.

(1) Dirawikan Ibnu Abdil-Barr diri Abi Muhtan, sinad dla'if.

126

2 Bahwa keputusan-keputusan ilmu nujum itu, adalah terkaan semata-mata. Tidaklah diketahui mengenai hak diri seseorang baik secara yakin atau berat dugaan. Maka keputusan dari nujum itu, adalah keputusan dengan kebodohan.

Maka adalah tercelanya di atas dasar ini, dari segi bahwa ilmu nujum itu kebodohan. Tiada ia suatu ilmu pengetahuan. Adalah yang demikian itu suatu mu'jizat bagi Nabi Idris as. menurut yang diriwayatkan. Ilmu nujum itu telah lenyap, tersapu dan terhapus.
Apa yang kebetulan benar terjadi dari ahli nujum itu secara luar biasa, maka itu adalah suatu kebetulan. Karena kadang-kadang muncul di atas sebagian sebab-sebab. Dan tidak terjadi akibat di belakang sebab-sebab tadi, melainkan sesudah memenuhi banyak syarat-syarat, yang tidak sanggup tenaga manusia mengetahui hakikat-nya. Jika sesuai, bahwa Allah Ta'ala mentakdirkan sebab-sebab yang masih ada, maka terjadilah yang benar. Jika tidak ditakdirkan oleh Allah Ta'ala, maka salahlah dia.

Yang demikian itu, adalah seperti terkaan orang bahwa langit akan menurunkan hujan tatkala dilihatnya awan tebal berkumpul dan berarak dari gunung-gunung. Lalu keraslah dugaannya, bahwa hujan akan turun. Dan kadang-kadang siang akan panas dengan matahari dan mendung itu hilang.

Kadang-kadang terjadi sebaliknya. Semata-mata mendung belum cukup untuk mendatangkan hujan. Dan sebab-sebab yang masih ada, tidak diketahui.

Begitu pula terkaan nakhoda bahwa kapal akan selamat, berpegang kepada apa yang diketahuinya dari kebiasaan tentang angin. Dan angin itu mempunyai banyak sebab yang tersembunyi, yang tidak diketahuinya. Sekali ia betul pada terkaannya dan lain kali ia salah. Dan karena sebab inilah, dilarang orang yang kuat imannya dari ilmu nujum.

3. Bahwa tak ada faedahnya ilmu nujum itu. Sekurang-kurang keadaannya, ialah terperosok ke dalam perbuatan yang sia-sia, yang tak perlu dan membuang-buang umur yang amat berharga bagi manusia, pada yang tak berfaedah. Itulah suatu kerugian yang tak berkesudahan.

Rasulullah saw. lalu dekat seorang laki-laki dan orang banyak berkumpul padanya

127

Maka bertanya Nabi saw. : "Siapa orang ini?". Menjawab orang banyak : "Orang yang amat 'alim| "Tentang apa?", tanya Nabi saw. "Tentang sya'ir dan keturunan orang-orang Arab", sahut mereka. Maka sahut Nabi saw. : "Ilmu yang tak bermanfa'at dan bodoh ' yang tak memberi melarat". (1).

Bersabda Nabi saw. : (Innamal 'ilmu aayatun muhkamatuh au sunnatun qaaimatun au fariidlatun 'aadilah). Artinya : "Sesunggunya ilmu itu adalah ayat yang kokoh, atau sunnat yang tegak atau fardlu yang adil". (2)

Jadi, turut campur dalam ilmu nujum dan yang serupa dengan ilmu nujum, adalah menghadang bahaya dan terperosok ke dalam kebodohan, yang tak ada gunanya. Apa yang ditaqdirkan, itulah yang terjadi. Menjaga diri dari padanya, adalah tidak mungkin. Kecuali ilmu kedokteran, maka ilmu ini diperlukan. Kebanyakan dalil-dalilnya, dapat diselidiki. Dan kecuali juga ilmu mentabirkan mimpi, maka walaupun dia merupakan terkaan, tetapi adalah sebahagian dari empat puluh enam bahagian dari kenabian dan tak ada bahaya padanya. Sebab Ketiga :

Terjun ke dalam ilmu, yang tidak memberi faedah kepada orang itu dari ilmunya. Ilmu yang semacam itu adalah tercela terhadap orang itu, seperti dipelajarinya ilmu yang halus-halus sebelum yang kasar-kasar, dipelajarinya ilmu yang tersembunyi sebelum ilmu yang terang dan seperti diperbincangkannya tentang rahasia ketuhanan (al-asroril-ilahiyah).

Karena para filosuf dan ulama ilmu kalam telah tampil pada ilmu-ilmu itu. Dan mereka tidak berdiri sendiri dalam hal itu. Hanya yang dapat berdiri sendiri, memperkatakan al-asroril-ilahiyah dan mengetahui jalan-jalan sebahagian daripadanya, ialah Nabi-Nabi dan aulia-aulia.
_________________
(1) Dirawikan Ibnu Abdil-Barr dari Abi Hurairah dan dipandangnya hadits ini dla'if
(2) Dirawikan Abu Daud dan Ibnu Majan dari Abdullah bin 'Amr.

128

Maka wajiblah dilarang orang banyak membahas tentang al-asroril-ilahiyah dan dikembalikan mereka kepada yang telah diucapkan oleh syari'at. Yang demikian itu mencukupilah untuk orang yang mendapat taufiq.

Berapa banyak orang yang terjun ke dalam ilmu pengetahuan dan memperoleh kemelaratan. Jikalau tidaklah ia terjun ke dalam ilmu pengetahuan itu, niscaya adalah halnya lebih baik dalam agama, daripada apa yang telah terjadi padanya.

Dan tak dapat dibantah, adanya ilmu yang mendatangkan melarat bagi sebahagian manusia, seumpama melaratnya daging burung dan beberapa macam kuweh yang enak rasanya, kepada bayi yang masih menyusu. Bahkan banyak orang, yang berguna baginya kebodohan dalam beberapa hal.

Menurut ceritera, bahwa sebahagian orang mengadukan halnya kepada seorang tabib akan kemandulan isterinya. Wanita itu tidak beranak. Maka tabib itu memeriksa denyut urat nadi. Lalu berkata : "Tak ada gunanya engkau diberikan obat beranak. Sebab engkau akan mati, sampai empat puluh hari ini. Denyut urat nadimu menunjukkan yang demikian".

Maka gementarlah wanita itu dengan ketakutan yang sangat dan susahlah kehidupannya. Dikeluarkannyalah hartanya, dibagi-bagikan dan diwasiatkan. Tinggallah ia tidak makan dan tidak minum, sehingga berlalulah masa itu. Dan wanita itu tidak mati. Maka datanglah suaminya kepada tabib dan menanyakan, mengapa isterinya tidak mati. Maka menjawab tabib : "Aku sudah tahu yang demikian. Sekarang bersetubuhlah!. Ia akan beranak".

"Mengapa begitu?", tanya si suami.

Menjawab tabib : "Aku lihat dia sangat gemuk, lemak telah menutupi mulut rahimnya. Aku tahu, bahwa dia tidak akan kurus, selain dengan takut kepada mati. Maka aku takutkan dia dengan demikian, sehingga dia kurus. Dan hilanglah halangan dari beranak".

Maka ini memberitahukan engkau kepada merasakan bahaya sebahagian pengetahuan. Dan memberi pemahaman kepada engkau pe-ngertian, sabda Nabi saw. : (Na 'uudzu billaahi min 'ilmin laa yanfa').

129

Artinya :"Kita berlindung dengan Allah Ta'ala dari ilmu yang tidak bermanfa'at". (1)

Maka ambillah ibarat dengan ceritera ini! Janganlah kiranya anda menjadi penyelidik dari ilmu yang dicela Agama dan dilarang daripadanya! Dan haruslah mengikuti para shahabat Nabi saw dan berpeganglah kepada Sunnah! Keselamatan adalah dengan mengikuti jejak Nabi. Dan bahaya adalah dalam membahas beberapa perkara dan berdiri sendiri dalam hal itu.

Janganlah diperbanyak membanggakan diri dengan pendapat sendiri, akal pikiran sendiri, dalil sendiri dan keterangan sendiri dengan mendakwakan : "Bahwa aku mengadakan pembahasan tentang hal-hal itu, untuk aku ketahui yang sebenarnya". Manapun kemelaratan yang timbul dalam pemikiran mengenai ilmu pengetahuan, maka kemelaratannya yang kembali kepadamu adalah lebih besar. Berapa banyak hal yang engkau perhatikan, lalu menim-bulkan kemelaratan oleh perhatian itu, yang hampir mencelakakan kamu di akhirat, kalau tidaklah rahmatTuhan datang membelainya. Ketahuilah! Sebagaimana seorang tabib yang ahli, mengetahui segala pengobatan, di mana menjauhkan diri daripadanya, orang yang tak mengetahiiinya, maka demikian pula para Nabi, tabib hati dan para ulama, yang tahu sebab-sebab hidup keakhiratan. Dari itu, Janganlah terlalu berpegang teguh kepada sunnah mereka, dengan akal pikiranmu, maka kamu akan binasa! Berapa banyak orang yang terkena suatu halangan pada anak jari tangannya. Lalu akal pikirannya menghendaki untuk memijit anak jari itu. Sehingga diberitahukan oleh tabib yang ahli, bahwa obatnya adalah tapak ta-ngan itu dipijit dari bahagian lain dari badan. Orang itu tidak mau menerimanya, karena ia tidak mengetahui percabangan urat dan pertumbuhannya serta cara perlipatannya pada tubuh. Maka begitu juga urusan pada jalan akhirat, pada yang halus-halus dari sunnah agama dan adab-adabnya. Dan mengenai aqidahnya yang menjadi ibadah manusia, mengandung rahasia dan isi yang halus-halus, yang tak sanggup keluasan akal manusia dan kekuatannya mengetahui-nya. Sebagaimana pada khasiat batu-batu ada hal-hal yang ajaib, yang tak sampai ilmu tukangnya ke sana. Sehingga tidak ada orang yang mengetahui sebab, maka besi berani itu menarik besi biasa.
__________
(1) Dirawikan Ibnu Abdil-Barr dari Yasir dengan sanad baik.

130

Maka keheranan dan keganjilan pada aqidah dan amal, dan meng-gunakannya untuk menjernihkan, membersihkan, mensucikan, jnengadakan perbaikan bagi hati (jiwa) untuk meningkat tinggi di samping Allah Ta'ala dan membawanya bagi anugerah kemurahar jjya, adalah lebih banyak dan lebih besar dari apa yang pada obat-obat dan jamu-jamu.

Sebagaimana tak sampai akal manusia, mengetahui keguna-an obat-obatan, serta percobaan adalah jalan kepadanya, maka akal manusiapun tak sampai untuk mengetahui apa yang berman-fa'at pada hidup akhirat, sedang percobaan tak ada jalan ke sana. Hanya adalah percobaan berjalan ke akhirat, kalau pulanglah kepada kita beberapa orang yang telah mati.Lalu mencrangkan kepada kita, amal perbuatan yang diterima, yang bermanfa'at, yang mende-katkan kepada Allah Ta'ala di sisiNya dan dari amal yang menjauhkan daripadaNya.

Begitu pula, mengenai aqidah. Dan yang demikian itu. termasuk yang tak usah diharapkan. Dari itu, cukuplah kiranya bagi anda dari kegunaan akal, unfuk dapat memmjukkan anda, kepada mem-benarkan Nabi saw. dan memahamkan anda segala sumber isyarat-nya.

Kemudian, singkirkanlah akal itu dari penggunaannya dan tetaplah mengikuti Nabi, di mana anda akan selamat dengan jalan itu. Dari itu Nabi saw. bersabda : (Inna minal 'ilmi jahlan wa inna minal qauli 'iyyan). artinya : "Bahwa sebahagian dari ilmu itu, kebodohan dan sebahagian dari perkataan itu tidak menjelaskan". (1)

Yang dimaklumi, bahwa ilmu itu tidaklah kebodohan, tetapi ilmu itu membekas akan pembekasan kebodohan, pada mendatangkan kemelaratan.

Maka Nabi saw. bersabda pula :

____________________
(1) Dirawikan Abu Daud dari Buraidah. Sanadnya tidak diketahui.

131

(Qaliilun minat taufiiqi khairun min katsiirin minal 'ilmi).
Artinya : "Sedikit taufiq Tuhan adalah lebih baik dari banyak ilmu ".
Nabi Isa as. pernah berkata : "Alangkah banyaknya pohon kayu dan tidaklah semuahya berbuah. Alangkah banyaknya buah-buahan dan tidaklah semuanya baik dan alangkah banyaknya ilmu pengetahuan dan tidaklah semuanya berguna".

PENJELASAN : Apa yang digantikdn dari kata-kata ilmu.
Ketahuilah! Bahwa sumber yang menimbulkan keserupaan ilmu yang tercela dengan ilmu syari'at ialah penyelewengan nama-nama yang terpuji, penggantiannya dan pemindahannya, dengan maksud-maksud yang merusakkan kepada pengertian-pengertian yang tidak dikehendaki oleh orang-orang shaleh terdahulu dan abad pertama.

Iaitu lima perkataan: fiqih, ilmu, tauhid, tadzkir dan hikmah. Inilah nama-nama yang terpuji. Orang-orang yang bersifat dengan nama-nama tadi, adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi dalam agama. Tetapi sekarang nama-nama itu sudah dialihkan kepada pengertian-pengertian yang tercela. Sehingga hati, lari dari celaan orang-orang yang bersifat dengan pengertian-pengertian itu, karena terkenalnya pemakaian nama-nama itu kepada mereka.

Perkataan Pertama: FIQIH.
Telah diselewengkan pemakaiannya secara tertentu. Tidak dengan dipindahkan dan diputarkan. Karena mereka telah menentukan nya pemakaian fiqih itu, kepada pengetahuan furu'(cabang) agama, yang ganjil mengenai fatwa, mengetahui sebab-sebab yang mendalam dari fatwa itu, memperbanyak pembicaraan padanya, menghafal kata-kata yang berhubungan dengan fatwa itu.

Maka orang yang amat mendalaminya dan banyak berbuat kepada-nya, disebut "al-afqah" (yang terahli dalam ilmu fiqih).
Pada masa pertama dahulu, adalah nama fiqih itu ditujukan. Menurut Al-lraqi, dia tidak pernah menjumpai hadits ini.

132

Kepada pengetahuan jalan akhirat, kepada mengenal penyakit jiwa yang halus-halus dan yang merusakkan amal, teguh pendirian dengan pandangan hina kepada dunia, sangat menuju perhatian kepada nikmat akhirat dan menekankan ketakutan kepada hati.

Dibuktikan kepada yang demikian itu oleh firman Allah 'Azza wa Jalla :
(Liyatafaqqahuu fid diini wa liyundziruu qaumahum idzaa raja'uu ilaihim).
Artinya : "untuk mempelajari (berfiqih) dalam agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila telah kembali (dari menuntut ilmu) kepada mereka". (S. Al-Baqarah, ayat 122).

Ilmu yang menghasilkan peringatan dan penakutan, itulah FIQIH namanya. Bukanlah fiqih itu mencabang-cabang soal talak, soal pembebasan perbudakan, li'an, pesanan barang dan sewa-menyewa. Yang demikian itu, tidaklah membuahkan peringatan dan penakutan. Bahkan bila terus menerus bergelimang dengan itu, membawa kepada hati kasar, mencabut ketakutan dari hati, sebagaimana kita saksikan sekarang pada orang-orang yang menjurus demikian.

Berfirman Allah Ta'ala :
(Lahum quluubun laa yafqahuuna bihaa). (S. Al-'A'raaf, ayat 179).
Artinya : "Bagi mereka hati yang tidak memahami (berfiqih) dengan hati itu". (S. Al-A'raf, ayat 179).

Dimaksudkan dengan fiqih ialah, pengertian-pengertian keimanan, bukan mengeluarkan fatwa.

Demi umurku, bahwa kata-kala "al-fiqh" dan "al-fahm" menurut bahasa adalah dua nama (ism) dengan satu arti. Dan dipergunakan demikian, menurut kebiasaan pemakaian, baikdahulu atau sekarang.

133

Berfirman Allah Ta'ala :
(La-antum asyaddu rahbatan fit shuduurihim minallaah).
Artinya : "Kamu sangat ditakuti dalam hati mereka, lebih dari Tuhan". (S. Al-Hasyr, ayat 13).
Maka dibawa oleh kurang takutnya kepada Allah dan besar penghormatannya akan kekuasaan makhluk, sehingga menjadi kurangnya faham (fiqih).
Lihatlah, adalah itu natijah tidak menghafal pencabangan fatwa-fatwa atau natijah ketiadaan ilmu yang kami terangkan itu. Bersabda Nabi saw.: "Ulama, hukama, dan fuqaha (para ahli fiqih) kepada mereka yang diutuskan kepadanya".
Ditanyakan Sa'ad bin Ibrahim Az-Zuhri ra. : "Siapakah diantara penduduk Madinah yang lebih paham (fiqih)?". Beliau menjawab : "Yang lebih kua't taqwanya kepada Allah Ta'ala". Seakan-akan beliau memberi isyarat kepada hasil dari paham (fiqih). Dan taqwa adalah hasil dari ilmu bathin. Bukan hasil dari fatwa dan hukum.
Bersabda Nabi saw. : "Apakah aku terangkan kepadamu orang ahli paham (fiqih) yang sebenarnya?".
"Ya!", jawab mereka.
Maka bersabda Nabi saw. : "Orang yang tidak memutus-asakan manusia dari rakhmat Tuhan, yang tidak menyatakan mereka aman dan kutuk Tuhan, yang tiada memutushan-usa mereka dan kasih-sayang Tuhan, yang tidak meninggalkan Al-Quraan lantaran gemar kepada yang lain ".
Sewaktu Anas bin Malik meriwayatkan sabda Nabi saw. :

134

(La-an aq'uda ma'a qaumin yadzkuruunallaah ta'aalaa min ghud-^ratin ilaa thuluu'isy-syamsi ahabbu ilayya min an a'tiqa arba'a riqaabin).
Artinya : "Sesungguhnya aku lebih suka duduk bersama kaum yang mengingati (berdzikir) Allah Ta'ala dari pagi sampai terbit matahari besok, daripada membebaskan empat orang budak". (11
Berkata pengarang kitab Al-Quut : "Maka berpalinglah Anas kepada Zaid Ar-Raqqasyi dan Ziyad An-Numairi, seraya berkata :
"Tidaklah majlis mengingati Tuhan (berdzikir) itu seperti majlis ini, di mana salah seorang dari kamu menceriterakan pengajarannya kepada teman-temannya dan membawa hadits-hadits. Sesungguh-nya kami duduk lain mengingati iman, memahami Al-Qur-an dan berpaham (berfiqih) dalam agama sertq menghitung ni'mat Allah Ta'ala kepada kami, dengan penuh pemahaman (fiqih)".
Di sini dinamakan pemahaman Al-Quran dan penghitungan nikmat itu berfiqih (tafaqquh).
Bersabda Nabi saw. :
(Laa yafqahul 'abdu kullal fiqhi hattaa yamqutan naasa fii dzaatil-laahi wa hattaa yaraa lil Qur-aani wujuuhan kaLsiirah).
Artinya : "Tidaklah seorang itu berfiqih sebenar-benarnya sebelum mcngecam manusia untuk kesucian Dzat Allah Ta'ala dan memandang Al-Quran dari segala segi". (2)
Dirawikan pula suatu hadits mauquf pada Abid Darda' ra. dengan katanya : "Kemudian ia menghadapkan kepada dirinya sendiri lalu mcngecamnya pula secara lebih hebat lagi".

(1) Dirawikan Abu Daud dengan is'nad baik.
(2) Dirawikan Ibnu Abdil-Barr dari Syaddad bin Aus dan katanya. tidak syah hadits itu sebagai hadits marfu

135

Bertanya Farqad As-Sabakhi kepada Al-Hasan mengenai suatu hal. Maka menjawab Al-Hasan, lalu berkata Farqad : "Kaum fuqaha (ahli fiqih) itu berselisih pendapat dengan kamu". Kemudian Al-Hasan ra. berkata : "Wahai Farqad yang dikasihi! Adakah kamu melihat seorang ahli fiqih itu dengan matamu sendiri? Bahwa seorang ahli fiqih itu adalah zuhud di dunia, gemar ke akhirat, bermata hati kepada agama, kekal beribadah kepada Tuhannya, Wara' mencegah dirinya dari mempercakapkan kehormatan orang muslimin, yang memelihara dirinya dari harta mereka dan yang menasehati jama'ah mereka".
Dalam keseluruhannya tadi, Al-Hasan tidak menyebut penghafal furu'-furu' fatwa. Dan saya tidak mengatakan bahwa nama "fiqih" itu tidaklah pokok bahasa dan tidaklah untuk fatwa mengenai hukum-hukum dhahir. Tetapi ada, secara umum dan keseluruhan atau secara diikut-sertakan. Maka adalah pemakaian mereka kata-kata "fiqih" kepada ilmu akhirat itu, lebih banyak.
Maka nyatalah dari pengkhususan tersebut, meragukan kebangkitan manusia untuk memakai perkataan "fiqih" semata-mata kepada yang tadi dan berpaling dari ilmu akhirat dan perihal hati. Dan mereka mendapat untuk yang demikian penolong dari tabiat manusia. Karena ilmu bathin itu tidak terang dan mengerjakannya sukar. Dan memperoleh kedudukan dalam pemerintahan, kehakiman, kemegahan dan kekayaan itu sulit dengan ilmu bathin. Maka setan memperoleh jalan untuk membaikkan yang tersebut, di dalam hati dengan jalan mengkhususkan nama "fiqih", yang menjadi nama terpuji itu pada syari'at.

Perkataan Kedua: ILMU.
Perkataan ini dipakai untuk pengetahuan mengenai ,dzat, ayat-ayat dan perbuatan Allah Ta'ala, terhadap hamba dan makhlukNya. Sehingga ketika Umar ra. wafat, maka berkata Ibnu Mas'ud ra. : "Sesungguhnya telah mati sembilan persepuluh ilmu".
Perkataan "ilmu" itu dijadikan isim ma'rifah dengan Alif dan Lam, menjadi "al-ilmu". Lalu diberi penafsiran, "mengetahui tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala". Kemudian diputarkan pula oleh mereka perkataan "al-ilmu" itu dengan pengkhususan. Sehingga dalam banyak hal, diperkenalkannya orang berilmu, ialah orang yang asyik berdebat melawan musuh dalam masalah-masalah fiqih dan lainnya. Lalu dikatakan orang itu alim yang sebenarnya. Dia

136

seorang tokoh ilmu pengetahuan. Orang-orang yang tidak berbuat demikian dan tidak menghabiskan waktunya untuk itu, dihitung orang lemah dan tidak dihitung dalam bilangan ahli ilmu.
Ini juga, suatu tindakan dengan pengkhususan. Akan tetapi apa yang tersebut tentang kelebihan ilmu dan ulama, adalah kebahyakannya ditujukan kepada ulama yang tahu akan Allah, hukum Nya, perbuatan dan sifat-sifatNya. Dan sekarang, secara mutlak dipakai, kepada orang yang tidak tahu sedikitpun ilmu agama, selain dari pertemuan-pertemuan perdebatan dalam masalah-masalah khilafiah. Dengan itu, lalu dia terhitung termasuk ulama besar, serta bodohnya mengenai tafsir, hadits, ilmu madzhab dan lainnya. Dan yang demikian itu, menjadi sebab, yang membinasakan orang banyak dari penuntut-penuntut ilmu.

Perkataan Ketiga: TAUHID.
Perkataan ini sekarang dipakai untuk menyusun kata-kata. mengetahui cara bertengkar, mengetahui jalan menjatuhkan lawan, sanggup mendesaknya dengan membanyakkan pertanyaan-pertanyaan, dapat membangkitkan keragu-raguan dan dapat menyusun dalil-dalil yang pasti, sehingga oleh golongan-golongannya sendiri, memberinya gelar, ahli adil dan ahli tauhid

Para ahli ilmu kalam, disebut ulama tauhid, padahal seluruh apa yang khusus perbuatan ini, tidak terkenal sedikitpun pada masa pertama dari agama Islam. Bahkan sebahagian mereka, adalah sangat menentang terhadap orang yang membuka pintu pertengkaran dan perdebatan.

Adapun isi Al-Quran, dari dalil-dalil yang terang, mudah ditangkap oleh pikiran demi mendengarnya, maka adalah semua orang mengetahuinya. Pengetahuan dengan Al-Qur-an adalah merupakan ilmu pengetahuan seluruhnya.
Tauhid pada mereka adalah ibarat suatu hal yang tidak dipahami oleh kebanyakan ahli ilmu kalam. Kalaupun dipahaminya, tetapi mereka tidak bersifat dengan dia.

Iaitu melihat urusan seluruhnya, adalah daripada Allah Ta'ala, penglihatan tanpa menoleh kepada sebab dan perantara. Maka ia tidak melihat kebajikan dan kejahatan seluruhnya, melainkan dari pada Allah Yang Maha Mulia.

137

Maka inilah tingkat yang mulia. Salah satu dari buahnya, ialah ta-wakkal, sebagaimana akan diterangkan nanti pada Kitab Tawakkal.
Diantara buahnya juga, ialah meninggalkan pengaduan kepada makhluk, meninggalkan kemarahan kepada mereka, rela dan menyerah kepada hukum Allah Ta'ala.
Dan adalah salah satu buahnya, ialah ucapan Saidina Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., ketika ditanyakan waktu sakitnya : "Apakah kami carikan tabib untuk tuan?". Lalu Abu Bakar menjawab : "Tabib itu membawa saya sakit".
Ucapan lain lagi dari Abu Bakar ra. ketika sakitnya, waktu ia ditanyakan : "Apakah kata tabib tentang penyakit tuan?". Abu Bakar ra. menjawab : "Katanya : bahwa saya berbuat sekehendak saya".
Akan datang pada Kitab Tawakkal dan Kitab Tauhid dalil-dalil untuk itu.
Tauhid adalah suatu mutiara yang bernilai tinggi, mempunyai dua kulit. Yang satu lebih jauh dari isinya daripada yang lain. Lalu orang mengkhususkan, nama tauhid itu kepada kulit dan membuat penjagaan kepada kulit itu, serta menyia-nyiakan ISI secara knseluruhan.

KULIT PERTAMA : iaitu anda mengucapkan dengan lisan LAA ILAAHA ILLALLAAH.
Ini dinamakan tauhid melawan tatslits (Kepercayaan tiga tuhan oknum), yang ditegaskan oleh orang Nasrani. Tetapi ucapan tersebut kadang-kadang datang dari orang munafiq, yang berlawanan bathinnya dengan lahirnya.

KULIT KEDUA ; iaitu tak ada di dalam hati, yang menyalahi dan berlawanan dengan pengertian ucapan tadi. Bahkan yang dhahir dari hati, melengkapi kepada aqidahnya. Dan demikian juga membenarkannya. Iaitu tauhid orang awwam. Dan para ahli ilmu kalam sebagaimana diterangkan dahulu adalah penjaga kulit ini dari gang-guan golongan bid'ah.

YANG KETIGA: iaitu ISI. Bahwa ia melihat keadaan seluruhnya daripada Allah Ta'ala dengan tidak menoleh kepada perantaraan. Dan ia beribadah kepadaNya, dengan ibadah yang tunggal kepada-Nya. Tidak ia beribadah (menyembah) yang lain.

138

Dan keluarlah dari tauhid ini, orang-orang yang menuruti hawa nafsu. Maka tiap-tiap orang yang menuruti hawa nafsunya, dia telah mengambil hawa nasfunya, menjadi Tuhannya.
Berfinnan Allah Ta'ala :
(Afara-aita manit takhadza ilaahahuu hawaah).
Artinya : "Adakah engkau melihat, orang yang mengambil hawa nafsunya,
menjadi Tuhannya?". (S. AWatsiyah.ayat 23).
Bersabda Nabi saw. ;
(Abghadlu ilaahin 'ubida fil ardli 'indallaahi ta'aalaa, huwal hawaa).
Artinya :'
"Tuhan yang disembah di bumi, yang sangat dimarahi Allah Ta 'ala
ialah hawa nafsu". (1)
Dan di atas yang sebenarnya, barang siapa memperhatikan tentu mengerti bahwa penyembah berhala sebetulnya tidaklah ia menyembah berhala. Tetapi ia menyembah hawa nafsunya, karena nafsunya itu condong kepada agama nenek moyangnya. Lalu ia mengikuti kecondongan itu. Dan kecondongan nafsu kepada kebiasaan-kebiasaan, adalah salah satu pengertian yang diibaratkan dengan hawa nafsu itu.
Dan keluarlah dari tauhid ini, menaruh kemarahan kepada makhluk dan berpaling kepada mereka. Maka orang yang melihat seluruhnya berasal dari Allah Ta'ala, bagaimana akan marah kepada orang lain? Dari itu, tauhid adalah ibarat dari tingkat ini. Iaitu tingkat orang-orang Shiddiq (orang yang mempunyai kepercayaan penuh kepada Tuhan).
Dari itu, perhatikanlah, ke mana diputarkan arti tauhid dan kulit mana yang dirasa puas. Maka bagaimana mereka, mem-

(1) Dirawikan Ath-Thabrani dari Abi Amanah, dengan isnad da'if.

139

buat ini, menjadi pegangan, pada pemujian dan pembanggaan, dengan apa yang namanya terpuji, serta kosong dari pengertian yang berhak akan pujian yang hakiki? Hal itu seumpama kosongnya orang yang pagi-pagi benar sudah menghadap qiblat dan membaca:
"Wajjahtu wajhia lilladm /alhtira sumaawaali wal ardla hamifa", (Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menjadikan langit dan bumi karena aku memeluk agama yang benar). Dan itu adalah permulaan kedustaan, dia menghadap Allah tiap-tiap hari, sekira-nya wajah hatinya tidak menghadap Allah Ta'ala, secara khusus.
Sesungguhnya, jika maksudnya dengan "wajah" itu wajah secara dhahir. maka adalah tujuan wajahnya ke Ka'bah dan tidak menuju ke lain jurusan.
Ka'bah tidaklah menjadi pihak bagi Allah yang menjadikan langit dan bumi.sehingga orang yang menghadap ke Ka'bah berarti menghadap kepada Allah Ta'ala. Maha Suci Allah dari berpihak dan berdaerah!.
Sekiranya, maksudnya dengan wajah itu "wajah hati" dan memang itulah yang dimaksud oleh tiap-tiap orang yang beribadah, maka bagaimanakah dapat dibenarkan ucapannya sedangkan hatinya bulak-balik pada kepentingan dan keperluan duniawiyahnya? Dan mencari daya upaya mengumpulkan harta, kemegahan dan memperbanyak sebab-sebab dan perhatian seluruhnya untuk yang demikian.
Maka bilakah ia menghadapkan wajahnya kepada Allah yang menjadikan langit dan bumi?.
Perkataan ini, adalah menerangkan hakikat tauhid. Seorang yang bertauhid, ia tidak melihat melainkan YANG ESA dan tidak menghadapkan wajahnya, melainkan kepada YANG ESA itu.
Iaitu mengikuti firman Allah Ta'ala :
(Qulillaahu tsumma dzarhum fii khaudlihim yal'abuun).
Artinya :
"Katakanlah! Allah. Kemudian biarkanlah mereka main-main dengan percakapan kosongnya". (S. Al-An'am, ayat 91).

140

Tidaklah dimaksudkan dengan "katakanlah" itu "perkataan" dengan lisan. Karena lisan itu merupakan "penterjemah" (pengalih bahasa dari dalam), sekali dia benar dan sekali dia bohong. Maka tempat untuk melihat Allah yang diterjemahkan oleh lisan itu, ialah hati. Hatinya tambang tauhid dan sumbernya.

Perkataan keempat: DZIKIR DAN TADZKIR. Berfirman Allah Ta'ala :
(Wa dzakkir fainnadzdzikraa tanfa'ul mu'miniin).
Artinya :
"Berilah mereka peringatan (tadzkir), karena peringatan itu berguna untuk orang-orang yang beriman". (S. Adz-Dzariyat, ayat 55).
Banyaklah hadits Nabi saw. yang memuji majlis dzikir itu, seperti sabdanya: "Apabila kamu melewati kebon Sorga, maka bersenang-senanglah di dalamnya!".
"Manakah kebun Sorga itu?", tanya yang hadlir. "Majlis-majlis berdzikir", sahut Nabi saw. (1)
Dalam satu hadits tersebut: "Allah Ta'ala mempunyai banyak malaikat yang mengembara di dalam dunia selam dari para malaikat yang ada hubungannya dengan makhluk. Apabila mereka melihat majlis dzikir, lalu mereka panggil-memanggil satu sama lain, dengan mengatakan: "Pergilah kepada kesayanganmu masing-masing!". Lalu pergilah mereka, mengelilingi dan mendengar. Dari itu, berdzikirlah. kepada Allah dan peringatilah dirimu sendiri!". (2).
Oleh kebanyakan juru nasihat pada masa sekarang kita melihat, mengambil yang demikian itu, lalu membiasakan dengan: ceritera-ceritera, sya'ir-sya'ir, do'a-do'a dan kata-kata yang tidak dipahami. (syathah) dan pemutaran perkataan-perkataan agama (thammat).
Adapun ceritera-ceritera (al-kisah), maka itu bid'ah. Telah datang dari ulama-ulama yang terdahulu, larangan duduk mengeli-

(1) Dirawikan At*Tirmidzi dari Anas dan dipandangnya hasan.
(2) Oirawikan AI-Bukhari dan Mullim dari Abi Hurairah.

141

lingi tukang-tukang ceritera itu. Mereka mengatakan, bahwa tak; ada yang demikian pada masa Rasulullah saw. (i). Dan tidak ada pada masa Abu Bakar. ra. dan Umar ra. Sehingga lahirlah fitnah dan timbullah tukang-tukang ceritera.
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar ra. keluar dari masjid, seraya mengatakan: "Aku dikeluarkan oleh tukang ceritera itu. Kalau tidaklah dia maka aku tidak keluar".
Berkata Dlamrah : "Aku bertanya kepada Sufyan Ats-Tsuri "Kita terimakah tukang ceritera itu dengan gembira?".
Menjawab Sufyan : "Balikkanlah tukang bid'ah itu ke belakangmu!'.'
Berkata Ibnu 'Aun : "Aku datang pada Ibnu Sirin, maka ia bertanya : "Hari ini tidak ada kabar?".
Lalu aku jawab : "Amir sudah melarang tukang-tukang ceritera itu berceritera".
Maka menyambung Ibnu Sirin : "Dia sudah mendapat taufiq ke jalan yang benar".
Al-A'masy masuk ke masjid jami' Basrah. Maka dilihatnya seorang tukang ceritera sedang berceritera dan mengatakan : "Diterangkan hadits kepada kami oleh Al-A'masy". Maka Al-A'masypun masuk ke tengah-tengah rombongan itu, sambil mencabut bulu ketiaknya.
Maka berkata tukang ceritera itu : "Tuan! Apakah tidak malu?". Sahut Al-A'masy : "Mengapa? Bukanlah saya berbuat sunnah dan saudara berbuat bohong? Saya ini Al-A'masy dan tidak pernah menceriterakan hadits kepada saudara".
Berkata Ahmad bin Hanbal ra. : "Yang paling banyak berdusta, diantara manusia, ialah tukang ceritera dan peminta-minta".
Ali ra. mengusir tukang ceritera dari masjid jami' Basrah. Tatkala didengarnya yang berceritera al-Hasan Al-Bashri maka tak diusirnya. Karena Al-Hasan memperkatakan tentang ilmu akhirat dan berpikir kepada mati, memperingatkan kepada kekurangan diri, bahaya amal, gurisan setan dan cara menjaga diri padanya. Ia mengingatkan kepada segala rahmat Allah dan nikmatNya, kepada keteledoran hamba pada mensyukuriNya. Ia memperkenalkan kehinaan dunia, kekurangan, kehancuran dan kepalsuan janjinya, bahaya akhirat dan huru-haranya.

(1) Dlrawikan tbnu Maiah dari Umar, dengan isnad Hasan.

142

Maka inilah tadzkir (peringatan) yang terpuji pada agama, yang meriwayatkan dorongan kepadanya pada hadits yang dirawikan Abu Zar, seperti berikut : "Mengunjungi majelis dzikir, adalah lebih utama daripada mengerjakan shalat seribu raka'at. Mengunjungi majelis ilmu, adalah lebih utama daripada mengunjungi seribu orang sakit. Mengunjungi majelis ilmu adalah lebih utama daripada berta'ziah seribu jenazah".
Lalu ditanyakan : "Wahai Rasulullah! Dan dari membaca AI-Qur-an?". Maka Nabi saw. menjawab : "Adakah bermanfa'at membaca Al-Qur-an selain dengan ilmu?".
Berkata 'Atha' ra. : "Majelis dzikir itu menutupkan tujuh puluh majelis yang sia-sia (tempat tontonan)".
Hadits-hadits di atas telah dipergunakan oleh orang-orang yang kotor, untuk alasan kepada membersihkan diri dan mengalihkan nama "tadzkir" kepada khurafat yang dibuat mereka. Mereka lupakan cara dzikir yang terpuji dan menyibukkan diri dengan ceritera-ceritera yang membawa kepada perselisihan, kepada menambah dan mengurangi. Dan berlawanan dengan ceritera yang ada di dalam Al-Quran dan menambahkan kepadanya.
Di antara ceritera-ceritera itu, ada yang bermanfa'at mendengarnya dan ada yang melarat meskipun benar. Orang yang membuka pintu itu kepada dirinya, maka bercampurlah antara benar dan bohong, yang bermanfa'at dan yang melarat. Dari itu maka dilarang daripadanya.
Karena demikianlah, maka berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra. : "Alangkah berhajatnya manusia kepada tukang ceritera yang benar" Jika ceritera itu termasuk ceritera Nabi-Nabi as. yang berhubungan dengan urusan agama dan tukang ceriteranya itu benar dan ceriteranya tidak salah, maka menurut saya, diperbolehkan.
Dari itu jagalah "dari kedustaan, dari ceritera-ceritera keadaan, yang menunjukkan kepada banyak kesalahan atau keteledoran, yang mengambat pemahaman orang awam dari mengetahui maksudnya. Atau menghambatnya dari mengetahui adanya kesalahan, yang jarang terjadi, yang diikuti dengan yang menutupinya, yang dapat diketahui kebaikan-kebaikan yang ditutupkan itu. Orang awam berpegang dengan yang demikian itu, pada segala kete-

Dirawikan Ibnul Jauri dan Ubaidah As-Salmam dafi Umar.

143

ledoran dan kesalahannya. Dan menganggap dirinya dapat dima'afkan. Dia berasalan, bahwa hal itu telah diceritcrakan yang demikian, dari beberapa syekh terkemuka dan ulama terkenal. Semua kita terhadap perbuatan ma'syiat, maka tak ragu lagi. jikalau kita telah berbuat ma'syiat kepada Allah, maka orang-orang yang lebih besar dari kita telah berbuat ma'syiat.
Hal yang tersebut tadi menunjukkan keberaniannya menghadapi Allah Ta'ala dengan tidak sadar.
Maka sesudah menjaga diri dari dua hal yang ditakuti, maka tidak mengapa dengan demikian. Dan ketika itu, kembali kepada ceritera-ceritera yang terpuji dan kepada yang terdapat dalam Al-Qur-an dan kitab-kitab hadits yang shahih.
Sebahagian orang membolehkan membuat ceritera-ceritera yang rnenyukakan kepada perbuatan ta'at. Dan mendakwakan bahwa tujuannya mengajak manusia kepada kebenaran.
Itu sebetulnya bisikan setan karena dalam kebenaran, berkembang kedustaan. Dan mengenai dzikir kepada Allah Ta'ala dan RasulNya, tidak menciptakan nasehat yang tidak mempunyaidasar kebenaran.
Betapa tidak! Membuat sajakpun tidak disukai dan dipan-dang yang demikian membuat-buat. Berkata Sa'ad bin Abi Waqqas ra. kepada anaknya Umar, ketika mendengar ia bersajak : "Inilah yang membawa aku marah kepadamu. Tidak akan aku penuhi keperluanmu selama-lamanya, sebelum engkau bertobat". Sedang Umar sebenarnya ada keperluan maka ia datang kepada ayahnya itu. Nabi saw. telah bersabda kepada Abdullah bin Rawahah, mengenai sajak yang terdiri dari tiga kata :
(lyyaaka was-saj'a yabna rawaahah).
Artinya :
"Awaslah bersaja', haianak Rawahah!".
Dengan hadits ini, seolah-olah sajak yang harus diawasi, lalah yang lebih dari dua kata. Karena itu, tatkala seorang lelaki mengatakan mengenai diat bayi dalam kandungan: "Bagaimana-

144

kah membayar diat orang yang tidak minum, tidak makan, tidak berteriak dan tidak memekik? Samalah itu dengan halal darahnya" lalu Nabi bersabda : "Adakah sajak seperti sajak orang-orang Badui Arab!".
Adapun sya'ir, maka dicela membanyakkannya dalam pengajaran. Berfirman Allah Ta'ala : (Asy syu'araau yattabi'uhumul ghaawuun. Alam tara-annahum fii kulli waadin yahiimuun). (S. Asy-Syu'ara, ayat 224-225).
Artinya : "Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang jahat. Tidakkah engkau lihat bahwa mereka mengembara disetiap lembah dengan tak tentu tujuan". (S. Asy-Syu'ara, ayat 224-225).
Dan berfirman lagi : (Wa maa 'allamnaahusy syi'ra wa maa yanbaghiilah).
Artinya : "Dan kami tiada mengajarkan sya'ir kepadanya (Muhammad) dan
sya'ir itu tiada patut baginya". (S. Yaasiin, ayat 69).
Kebanyakan sya'ir yang dibiasakan oleh juru-juru nasehat, ialah apayang menyangkut dengan penyifatan pada kerinduan, keelokan yang dirindukan, senangnya ada hubungan dan pedihnya berpisah.
Majlis itu, dikunjungi oleh rakyat banyak yang bodoh-bodoh. perutnya penuh dengan hawa nafsu, hatinya tidak terlepas dari pada menoleh kepada rupa yang manis. Dari itu, sya'irnya tidak bergerak dari jiwanya, kecuali ia terpaut padanya. Maka berkobarlah api hawa nafsu padanya. Lalu mereka berteriak dan menari-nari. :

145

Kebanyakan yang demikian atau seluruhnya, membawa kepada semacam kerusakan. Dari itu, tidaklah seyogianya dipakai syair kecuali ada padanya pengajaran atau hikmah untuk jalan petunjuk dan pelunakan hati.
Bersabda Nabi saw. : (Inna minasy syi'ri lahikmah).
Artinya : "Sesungguhnya sebahagian dari sya'iritu mengandunghikmah!".
Jika majlis itu dihadliri orang-orang tertentu yang mempunyai perhatian kepada ketenggelaman hati dengan cinta kepada Allah Ta'ala dan tak ada golongan lain dalam majlis tersebut, maka bagi mereka tak ada melaratnya sya'ir itu, yang dhahiriyahnya menunjukkan kepada hubungan sesama makhluk. Karena pendengarnya dapat menempatkan apa yang didengarnya menurut panggilan hatinya, sebagaimana akan diterangkan nanti pada "Kitab Pendengaran". Dan karena itulah Al-Junaid ra. berbicara kepada lebih kurang sepuluh orang. Kalau mereka sudah banyak, ia tidak berbicara. Dan tidaklah pernah sekali-kali yang menghadliri majlisnya sampai dua puluh orang.
Tentang datang serombongan orang banyak ke pintu rumah Ibnu Salim, lalu dikatakan kepadanya : "Berbicaralah! Telah datang teman-teman tuan".
Ibnu Salim menjawab : "Tidak! Mereka bukan temanku. Mereka adalah teman-teman majlis. Sesungguhnya teman-temanku, ialah orang-orang tertentu (orang-orang al-khawash).
Adapun asy-syathah (do'a-do'a dan kata-kata yang tidak dipahami), maka yang kami maksudkan, ialah dua jenis perkataan, yang diadakan oleh sebahagian kaum shufi.
Yang pertama, ialah do'a-do'a yang panjang yang berbentang tentang keasyikan (kerinduan) bersama Allah Ta'ala dan hubungan yang tidak memerlukan kepada amal dzahiriyah. Sehingga golongan itu berkesudahan kepada mendakwakan al-ittihad (bersatu dengan

146

Allah), terangkat hijab, penyaksian dengan melihat Tuhan dan bercakap-cakap dengan pembicaraan. Lalu mereka mengatakan : "Dikatakan kepada kami demikian. Dan kami mengatakan demiki¬an".
Mereka menyerupakan pada yang demikian itu, dengan Husain bin Mansur AI-Hallaj yang telah dihukum gantung, lantaran diucapkannya kata-kata yang sejenis dengan itu. Dan mereka membuktikan yang demikian dengan ucapan Al-Hullaj : "Anal-haqq" (akulah al-haqq, yakni : yang maha benar, salah satu dari nama Allah Ta'ala).
Dan dengan apa yang diceriterakan dari Abi Yazid Al-Bustami, bahwa Abi Yazid mengatakan : "Subhani-subhani (maha suci aku maha suci aku)".
Ini adalah semacam perkataan, yang amat besar bahayanya pada orang awam. Sehingga segolongan dari kaum tani meninggalkan pertaniannya dan melahirkan dakwaan seperti yang tersebut.
Sesungguhnya perkataan itu dirasakan enak oleh tabiat manusia. Karena padanya membatalkan amal (tak usah amal lagi), serta mensucikan diri (jiwa) dengan memperoleh maqam-maqam (derajat-derajat) tinggi dan hal ikhwal yang baik. Maka orang-orang bodoh tidak lemah dari pada mendakwakan yang demikian bagi diri mereka dan dari pada menerima kata-kata yang tak berketentuan, yang penuh dengan hiasan kata-kata.
Manakala mereka ditantang dari yang demikian, maka mereka tidak merasa iemah untuk mengatakan : "Ini adalah tantangan, yang sumbernya ilmu dan pertengkaran. Ilmu itu dinding dan pertengkaran itu perbuatan diri. Dan pembicaraan ini tidak mengisyaratkan, selain dari bath in dengan terbukanya nur kebenaran".
Maka hal yang tersebut dan yang seperti dengan yang terse¬but itu, daripada yang telah beterbangan kejahatannya dalam negeri dan besar melaratnya pada orang aw warn, sehingga orang yang menuturkan dengan sedikit dari padanya, maka membunuhnya adalah lebih baik pada agama Allah, dari pada menghidupkan sepuluh dari padanya.
Mengenai Abi Yazid Al-Bustami ra. yang tersebut di atas, maka tak benar mengenai apa yang diceriterakan terhadap dirinya.Sekiranya benar ucapan tersebut pernah terdengar daripadanya, maka adalah

147

itu, ia menceriterakan dari Allah 'Azza wa Jalla tentang perkataan * yang diulang-ulangiNya pada diriNya. Seumpama bila terdengaria mengatakan: "Innanii anallaah, laa ilaaha illaa ana fa'budnii". (Sesungguhnya aku adalah aku itu Allah, tiada yang disembah selain aku, maka sembahlah aku) (S. Thaha, ayat 14), maka perka¬taan tersebut hendaklah dipahamkan, tidak lain daripada pembacaan dari firman Allah Ta'ala.
Yang kedua:- dimaksudkan dari perkataan syathah itu, kata-kata yang tidak dipahami, tampaknya menarik, dengan susunan yang mengagumkan. Sedang dibalik itu tak ada faedahnya sama sekali.
Tidak dapat dipahami itu, adakalanya oleh yang mengucapkannya sendiri, karena timbulnya dari gangguan pikiran dan kekacau-balauan khayalan, disebabkan kurang mendalami maksud kata-kata yang menarik perhatiannya itu. Dan inilah yang terbanyak!.
Dan adakalanya dapat dipahami, tetapi tidak sanggup memahaminya dan mendatangkannya dengan kata-kata yang menunjukkan isi hatinya. Karena kurang berpengetahuan dan tidak mempelajari cara melahirkan sesuatu maksud dengan susunan kata yang menarik.
Perkataan yang semacam inipun tak ada faedahnya, selain daripada mengacau-balaukan jiwa, mengganggu pikiran dan membawa keraguan hati. Ataupun dipahaminya menurut maksud yang sebenarnya.tetapi pemahaman itu didorong oleh hawa nafsu dan kepentingan diri sendiri.
Bersabda Nabi saw. : (Maa haddatsa ahadukum qauman bihadiitsiin laa yafqahuunahu illaa kaana fitnatan 'alaihim).
Artinya : "Tidaklah seseorang daripada kamu, menerangkan sesuatu hadits (sesuatu persoalan) kepada segolongan manusia yang tiada memahaminya, selain daripada mendatangkan fitnah kepada mereka
itu".

148

Dan bersabda Nabi saw. : (Kallimunnaasa bimaa ya'rifuuna wa da'uu maa yankiruuna aturii-duuna an yakdziballaahu wa rasuuluh).
Artinya : "berbicaralah dengan orang banyak dengan kata-kata yang dapat dipahaminya dan tinggalkanlah persoalan yang ditantang mereka. Adakah kamu bermaksud bahwa berdusta Allah dan RasulNya?".
Ini mengenai yang dapat dipahami oleh yang mengucapkannya sendiri. Tetapi tidak sampai dapat dipahami oleh otak yang mendengarnya. Maka betapa pula yang tidak dipahami oleh yang mengu¬capkannya sendiri?.
Jikalau dipahami oleh yang mengucapkannya tetapi tidak oleh yang mendengarnya, maka tidak boleh diucapkan.
Berkata Nabi Isa as. : "janganlah kamu Ietakkan ilmu hikmah pada bukan ahlinya maka kamu berbuat aniaya kepadu ilmu hikmah itu. Dan janganlah kamu larang pada ahlinya maka kamu 'berbuat aniaya kepada ahlinya itu. Hendaklah kamu seperti seorang tabib yang penuh kasih sayang, yang meletakkan obat pada tempatnya penyakit!".
Menurut susunan yang lain, sabda Nabi Isa itu berbunyi : "Barang siapa meletakkan ilmu hikmah pada bukan ahlinya, muka dia itu orang bodoh. Dan barang siapa melarang pada ahlinya maka dia itu berbuat aniaya. Ilmu hikmah itu mempunyai hak dan ahli¬nya. Dan itu berilah kepada scmua yang berhak akan haknya".
Adapun thammat (pemutaran perkataan-perkataan agama), maka termasuk di dalamnya apa yang kami sebutkan mengenai syathah. Dan suatu hal lain yang khusus dengan thammat itu, iaitu pemu¬taran perkataan-perkataan agama dari dhahirnya yang mudah dipa¬hami, kepada urusan bathin yang tidak ada padanya menonjol. faedahnya. Seumpama kebiasaan golongan kebathinan memutar-balikkan maksud.

149

Ini juga haram dan melaratnya besar. Karena perkataan-perkataan itu apabila diputar dari tujuan dhahiriahnya, tanpa berpegang teguh padanya, menurut yang dinukilkan dari Nabi saw. dan tanpa suatu kepentingan yang diperlukan sepanjang petunjuk akal pikiran, maka yang demikian itu, membawa hilang kepercayaan kepada perkataan itu sendiri. Dan lenyaplah kegunaan kalam Allah Ta'ala dan kalam RasulNya saw. Lalu apa yang segera terbawa kepada pemahaman, tidaklah dapat dipercayai lagi dan yang bathin itu tak ada katentuan baginya. Tetapi timbullah pertentangan dalam hati dan memungkinkan penempatan perkataan itu ke dalam beberapa corak.
Ini juga termasuk ke dalam bid'ah yang telah berkembang dan besar kerugiannya.
Sesungguhnya tujuan dari orang-orang pembuat thammat itu ialah menciptakan yang ganjil. Karena jiwa manusia, adalah condong kepada yang ganjil dan merasa enak memperoleh yang ganjil.
Dengan cara yang tersebut, sampailah kaurn kebathinan itu meruntuhkan semua syari'at, dengan penta'wilah dzahiriahnya dan menempatkannya menurut pendapat mereka itu sendiri, sebagaimana telah kami ceriterakan mengenai madzhab-madzhab kaum ke¬bathinan itu dalam kitab "Al-Mustadhhari" yang dikarang untuk menolak golorigan tersebut.
Contoh pemutarbalikan (penta'wilan) golongan thammat itu, di antara lain, kata setengah mereka, tentang penta'wilan firman Allah Ta'ala : (Idzhab ilaa fir'auna innahuu thaghaa) (S. Thaha, ayat 24).
Artinya : "Pergilah kepada Fir'aun itu, sesungguhnya dia itu durhaka".
(S. Thaha, ayat 24).
Bahwa itu adalah isyarat kepada hatinya. Dan mengatakan bahwa hatilah yang dimaksud dengan Fir'aun itu. Dan hatilah yang durha¬ka pada tiap-tiap manusia. Dan pada firman Allah Ta'ala :

150

(Wa-an alqi 'ashaaka) (S. Al-Qashash, ayat 31).
Artinya : -Dan campaklak tongkatmu ". (S. Al-Qashash, ayat 31).
Lalu perkataan tongkat itu diputar kepada tiap-tiap sesuatu tempat bersandar dan berpegang selain dari Allah Ta'ala. Itulah yang harus dicampakkan dan dibuang jauh.
Dan. pada sabda Nabi saw. : (Tasahharuu fa-inna fis suhuuri barakatan).
Artinya : "Bersahurlah kamu! Karena pada sahur itu ada berkatnya ".
Lalu diputarkan kepada meminta ampun kepada Tuhan pada waktu sahur, bukan lagi maksudnya makan sahur itu sendiri
Dan contoh-contoh yang lain, di mana mereka memutar-balikkan Al-Quran dari awalnya sampai akhirnya, dari artinya yang dhahir dan dari penafsirannya, yang diterima dari Ibnu Abbas dan ulama-ulama besar lainnya.
Setengah dari pemutar-balikan itu dapat diketahui batilnya dengan terang seumpama meletakkan arti Fir'aun kepada hati. Karena Fir'aun itu adalah seorang manusia yang bisa dilihat, yang mutawatir sejarah menyatakan adanya, di mana Nabi Musa as. menyerukannya kepada agama seperti Nabi Muhammad saw. menyerukan Abu Jahal dan Abu'Lahab serta kafir-kafir lain kepada agama Islam. Dan tidaklah Fir'aun itu sejenis setan atau malaikat yang tidak bisa dilihat dengan pancaindra, sehingga memerlukan pemutaran pada kata-katanya. Dan demikian pula membawa makan sahur kepada meminta ampun pada Tuhan karena Nabi saw. sendiri makan sahur.

151

Dan bersabda : "Bersahurlah!". Dan "Marilah kita kepada makanan yang mengdung berkat ini!".
Semuanya itu, dapat diketahui dengan berita yang mutawatir dan dapat dipersaksikan kebatilannya. Sebahagian dapat diketahui ? dengan berat dugaan. Iaitu yang tidak dapat dipersaksikan oleh ; pancaindra.
Semua yang diterangkan tadi adalah haram hukumnya, menyesatkan dan merusakkan agama rakyat. Tiada satupun daripadanya ". diterima dari shahabat, dari tabi'in dan dari Al-Hasan Al-Bashri, yang bertekun melaksanakan da'wah dan pengajaran kepada rakyat banyak. Maka bagi sabda Nabi saw. : (Man fassaral Qur-aana bira'yihi falyatabawwa' maq'adahu minan naar).
Artinya : "Barangsiapa menafsirkan Al-Qur-an menurut pendapatnya sendiri maka disediakan untuknya suatu tempat dari apt neraka ".
tiada jelas pengertiannya selain dari cara inilah! Iaitu maksud dan pendapatnya, adalah menetapkan dan membuktikan sesuatu, lalu menarik penyaksian Al-Qur-an kepadanya serta membawa Kitab Suci di luar petunjuk kata-kata, baik menurut bahasanya atau me¬nurut yang dinukilkan (naqliah).
Tiada seyogialah dipahamkan dari penjelasan di atas tadi, bahwa Al-Quran tidak boleh ditafsirkan, dengan menggunakan pemahaman yang mendalam dan pemikiran. Karena diantara ayat-ayat suci yang diterima dari para shahabat dan ulama tafsir itu, ada yang mempunyai lima, enam dan sampai tujuh pengertian. Dan semuanya itu tidaklah didengar dari Nabi saw. Kadang-kadang ada yang berlawanan,- yang tidak dapat menerima pengumpulan (disatukan mak¬sud).
Maka, dipakailah pemikiran dan pemahaman dengan maksud yang baik dan mendalam. Dari itu berdo'alah Nabi saw. kepada Ibnu

152

Abbas ra. : "Ya Allah Tuhariku! Berilah kepadanya (Ibnu Abbas) paham dalam agamadan ajarilah dia penta'wilan (penafsiran)!".
Barang siapa membolehkan dari golongan thammat, menggunakan pemutar-balikan seperti itu serta diketahuinya bahwa yang demikian tidaklah yang dimaksud dengan perkataan-perkataan itu daji mendakwakan bahwa tujuannya ialah mengajak manusia kepada Tuhan, maka sikap yang demikian itu, samalah halnya dengan orang yang membolehkan membuat-buat dan mengada-adakan sesuatu terhadap Nabi saw. karena berdasarkan kebenaran tetapi tidak diucapkan oleh agama, seperti orang yang mengada-adakan hadits Nabi saw. dalam suatu persoalan yang dipandangnya benar.
Tindakan yang seperti itu, adalah suatu kedhaliman dan kesesatan serta termasuk ke dalam peringatan Nabi saw. yang dipahami dari sabdanya :
(Man kadzaba 'alayya muta'ammidan fal yatabawwa' maq'adahu minannaar).
Artinya : "Barang siapa berbual dusta kepadaku dengan sengaja maka ia telah menyediakan tempatnya dari api neraka ".
Bahkan adalah amat besar kejahatan dengan memutar-balikkan kata-kata itu. Sebab menghilangkan kepereayaan kepada kata-kata itu sendiri dan melenyapkan jalan untuk memperoleh faedah dan pemahaman dari Al-Quran keseluruhannya.
Maka tahulah kita betapa setan itu memutar-balikkan alat-alat da'wah dari ilmu yang terpuji kepada yang tercela. Semuanya itu adalah perbualan ulama-ulama jahat dengan menggantikan maksud kata-kata itu.
Jika anda mengikuti mereka karena berpegang kepada nama yang termasyhur itu, tanpa memperhatikan kepada apa yang diketahui pada masa pertama dari Islam, maka adalah anda seumpama orang yang ingin memperoleh kemuliaan dengan ilmu hikmah, lalu me¬ngikuti siapa saja yang bernama ahli hikmah. Sedang nama ahli hikmah dipakai untuk tabib., penyair dan ahli nujum pada masa

153

sekarang. Dan itu adalah disebabkan kelengahan, dari penukaran kata-kata itu. ;

Perkataan kelima : HIKMAH.
Nama ahli hikmah (al-hakim) ditujukan kepada tabib, penyair dan ahli nujum, sehingga juga kepada orang yang memutar-mutarkan undian pada tangan di tepi jalan besar.
Hikmah ialah suatu hal yang dipuji Allah Ta'aladengan firmannya ; (Yu'til hikmata man yasyaa-u wa man yu'tal hikmata faqad uutiya khairan katsiira).
Artinya : "DianugerahiNya Hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya dan barang siapa dianugerahi hikmah maka dia telah dianugerahi banyak kebaiikan " (S. Al-Baqarah, ayat 269). Dan sabda Nabi saw. : (Kalimatun minal hikmati yata'allamuharrajulu khairun minaddun-yaa wa maa fiihaa).
Artinya : "Satu kalimat dari hikmah yang dipelajari oleh seseorang, adalah lebih baik baginya dari pada dunia serta isinya". (i).

Perhatikanlah, apakah yang diperkatakan tentang hikmah itu dan kemanakah ditujukan! Kemudian bandingkanlah dengan kata-kata yang lain! Dan jagalah diri dari tertipu dengan keragu-raguan yang dibuat oleh ulama-ulama jahat! Karena kejahatan mereka kepada agama adaiah lebih besar dari kejahatan setan. Sebab dengan perantaraan ulama-ulama jahat itu, setan beransur-ansur mencabut agama dari hati orang banyak.

(1) Disebutkan hadits ini terhenti (miuquf) pada AI-Hasan Af-Bashari.

154

[Carena itulah, tatkala ditanyakan kepada Nabi saw. tentang orang yang paling jahat, beliau enggan menjawab seraya berdo'a : "Allaahumma ghafran" (YaTuhan! Ampunilah!). Sehingga setelah berkali-kali ditanyakan, lalu beliau menjawab : "Mereka itu ialah ularna jahat (ulamaus su ') ".
Maka tahulah sudah anda akan ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela serta yang meregukan diantara keduanya. Dan terserahlah kepada anda sendiri untuk memilih, demi kepentingan diri anda sendiri, mengikuti ulama terdahulu (ulama salaf) atau terpesona dengan penipuan lalu terpengaruh dengan ulama terkemudian (ulama khalaf ).
Segala ilmu yang mendapat kerelaan dari ulama salaf, sudah tertimbun. Dan apa yang menjadi perpegangan manusia sekarang, sebahagian besar dari padanya adalah bid'ah yang diada-adakan. Benar lah kiranya sabda Nabi saw. : (Bada-al Islaamu ghariiban wa saya'uudu ghariiban kamaa bada'a fa-thuubaa lilghurabaa-i).
Artinya : "Mulanya Islam itu adalah using dan akan hembali asing seperti
scmula. Ma-ka berbuat baiklah kepada orang-orang asing itu!". Maka ditanyakan kepada Nabi saw. : "Siapakah orang-orang asing itu?".
Nabi menjawab : "Mereka yang memperbaiki apa yang telah dirusakkan manusia dari sunnahku dan mereka yang menghidupkan apa yang telah dimatikan manusia dari sunnahku".
Pada hadits yang Tain tersebut : "Orang-orang asing itu, berpegang teguh dengan apa yang kamubpegang sekarang"
Pada hadits lain lagi tersebut : "Orang-orang asing itu adalah manu¬sia yang sedikit jumlahnya, orang-orang baik diantara manusia banyak. Yang memarahi mereka lebih banyak dari pada yang mencintainva". (3)
(0 Dirawikan Ad-Darimi dari AI-Ahwash bin Hakim, dari ayahnya, hadits murtal.
(2) Dirawikan Muslim dari Abi Hurairah.
(3) Dirawikan Ahmad dari Abdullah bin 'Amr

155

Ilmu-ilmu itu telah menjadi asing. Orang yang mengingatinya dimaki. Karena itu, berkatalah Ats-Tsuri ra. : "Apabila engkau melihat orang 'alim itu banyak teman maka ketahuilah bahwa dia itu bercampur. Karena jika kebenaran yang dikemukakannya maka dia akan dimarahi".
PENJELASAN : Kadar terpuji dari ilmu yang terpuji.
Ketahuilah bahwa dengan memandang yang di atas tadi maka ilmu itu tiga bahagian : satu bahagian iaitu yang tercela sedikitnya dan banyaknya : satu bahagian iaitu terpuji sedikitnya dan banyaknya. Semakin banyak semakin bertambah baik dan utama ; satu baha¬gian yang terpuji dari padanya sekedar kifayah (mencukupi) saja. Tidak terpuji .yang berlebih dan yang mendalam dari padanya'.
Iaitu seumpama keadaan tubuh manusia. Diantaranya ada yang terpuji sedikitnya dan banyaknya seperti kesehatan dan kecantikan. Diantaranya ada yang tercela sedikitnya dan banyaknya seperti keburukan dan kejahatan budi. Dan diantarannya ada yang terpuji kesederhanaan padanya seperti memberi harta. Kalau boros tidak terpuji walaupun ia memberi juga. Dan seperti berani. Kalau berani membabi buta tidak terpuji walaupun ia termasuk sebangsa berani juga. Maka seperti itu pulalah ilmu.
Maka bahagian yang tercela sedikitnya dan banyaknya, iaitu yang tak adalah faedah padanya, pada agama dan dunia. Karena kemelaratannya mengalahkan kemanfa'atannya seperti ilmu sihir, mantera dan nujum. Sebahagiannya pun tak ada faedah padanya sekali-kali. Menyerahkan umur yang amat berharga yang dimiliki manusia kepada ilmu itu, adalah menyia-nyiakan. Dan menyia-nyiakan yang amat berharga itu, adalah tercela.
Diantara ilmu itu ada yang memberi melarat melebihi dari dugaan, akan memberi hasil untuk keperluan duniawi. Ilmu yang semacam itu tidak juga masuk hitungan, dibandingkan kepada kemelaratan yang timbul dari padanya.
Adapun ilmu yang terpuji setinggi-tingginya ialah ilmu mengenai Allah Ta'ala, sifatNya, af'alNya, sunnahNya dalam menjadikan makhlukNya dan hikmahNya pada tartibnya akhirat di atas dunia

156

Inilah ilmu yang dicari karena ilmu itu sendiri dan karena dengannya tercapai kebahagiaan akhirat. Menyerahkan tenaga dengan setinggi-tingginya kesungguhan hati untuk ilmu tadi, adalah di luar batas kewajiban. Ilmu itu adalah laut yang tak diketahui dalamnya. para perenang hanya dapat merenangi pantai dan tepinya saja sekedar yang mungkin ditempuhnya. Tak dapat menempuh segala tepinya, selain para Nabi dan Wali serta para ahli ilmu menurut tingkat masing-masing yang berbeda kesanggupan dan berlebih-kurang taqdir yang dianugerahi Allah Ta'ala.
Itulah ilmu maknun (ilmu yang tersembunyi) yang tidak ditulis di halaman kitab. Yang menolong untuk mengetahuinya ialah dengan jalan belajar dan menyaksikan perihal keadaan ulama akhirat, sebagaimana akan datang tanda-tanda mereka.
Ini adalah pada taraf permulaan!
Dan yang menolong kepadanya mengenai akhirat, ialah kesungguhan (mujahadah), latihan (riadlah), kebersihan hati, kebebasan hati dari segala ikatan duniawi dan mencontoh kepada Nabi-nabi dan Wali-wali, supaya jelas bagi tiap-tiap orang yang pergi mencarinya, seke¬dar rezeki yang dianugerahkan Tuhan. Tidak sedekar kesungguhan, walaupun kesungguhan itu harus ada.
Kesungguhan itu (mujahadah), adalah kunci petunjuk. Tak ada baginya kunci, selain dari kesungguhan itu.
Adapun ilmu, yang tidak terpuji melainkan sekedar yang tertentu saja daripadanya, ialah ilmu yang telah kami bentangkan dalam golongan ilmu fardlu kifayah.
Sesungguhnya pada tiap-tiap ilmu pengetahuan itu ada yang singkat, iaitu yang sekurang-kurangnya. Ada yang sedang iaitu di tengah-tengah dan ada yang lebih jauh lagi dari yang sedang itu. Itu tidak terselesai sampai akhir hayat.
Maka hendaklah anda, menjadi salah seorang, dari dua, adakalanya berusaha untuk diri sendiri dan adakalanya berusaha untuk orang lain sesudah menyelesaikan yang untuk diri sendiri itu. Janganlah berusaha untuk orang lain sebelum siap, yang untuk diri sendiri.
Kalau berusaha untuk diri sendiri maka Janganlah berusaha selain dengan ilmu yang diwajibkan kepada kita menurut keadaan kita dan yang berhubungan dengan amai dhahiriyah kita seperti mempelajari shalat, bersuci dan berpuasa.

157

Ilmu yang terpenting yang disia-siakan oleh semua orang, ialah;"! ilmu sifat hati, yang terpuji dan yang tercela daripadanya. Karena tidak ada manusia yang terlepas dari sifat yang tercela seperti loba, dengki, ria, takabur, sombong dan sebagainya. Semuanya itu membinasakan. Menyianyiakan kewajiban tadi serta mementingkan amal dhahiriyah, samalah halnya dengan melakukan perbuatan menggosok badan dhahir ketika menderita penyakit kudis dan bisul dan melupakan mengeluarkan benda penyakit dari tubuh dengan bekam dan cuci perut.
Ulama kosong, menunjukkan jalan kepada amal dhahiriyah, seperti tabib-tabib di jaJanan (penjual koyok), menunjukkan jalan dengan menggosok badan-dhahiriyah.
Ulama akhirat, tidak menunjukkan jalan selain dengan mensucikan bathin, mencabut benda-benda jahat yang merusakkan tanaman dan akar-akarnya dari hati.
Orang kebanyakan menempuh amal dhahiriyah, tidak amalan ba¬thin, dengan mensucikan hati nurani, adalah disebabkan amal dha¬hiriyah itu mudah. Sedang amalan hati itu sukar seperti orang yang merasa payah meminum obat yang pahit lalu menempuh kepada menggosok badan dzahir. Maka terus-meneruslah ia payah menggo¬sok dan bertambah pada benda-benda yang digosokkan, sedang panyakitnya terus bertambah juga.
Jika anda menghendaki akhirat, mencari kelepasan dan melarikan diri dari kebinasaan abadi maka berusahalah mempelajari ilmu pe¬nyakit bathin dan cara mengobatinya, menurut cara yang kami uraikan pada Bahagian Yang Membinasakan. Kemudian, sudah pasti, hal yang demikian itu membawa anda kepada tempat yang ter¬puji, yang tersebut nanti pada Bahagian Yang Melepaskan.
Sesungguhnya, hati apabila kosong dari sifat yang tercela, maka penuhlah dia dengan sifat yang terpuji. Dan bumi apabila telah bersih daripada rumput, maka tumbuhlah padanya bermacam-macam tumbuh-tumbuhan dan bunga-bungaan. Jika tidak kosong dari rumput, maka tidaklah tumbuh yang tersebut tadi.
Maka janganlah anda menghabiskan waktu dengan fardlu kifayah, apalagi bila telah berdiri segolongan anggota masyarakat yang mengerjakannya. Orang yang mengorbankan dirinya sendiri untuk kebaikan orang lain, itu bodoh. Alangkah dungunya orang yang telah masuk ular dan kala ke bawah kain bajunyadan akan membu-

158

nuhnya, lalu ia mencari alat pembunuh lalat untuk membunuh lalat itu pada orang lain, yang tidak akan menolong dan melepaskannya dari ular dan kala itu.
Bila anda telah selesai dari urusan diri sendiri dan diri anda itu telah bersih dan sanggup meninggalkan dosa dzahir dan dosa bathin dan yang demikian itu telah menjadi darah daging dan kebiasaan yang mudah dikerjakan dan tidak akan ditinggalkan lagi, maka barulah anda bekerja dalam lapangan fardlu-kifayah dan peliharalah secara berangsur-angsur. Mulailah dengan Kitab Allah Ta'ala, kemudian dengan Sunnah Nabi saw., kemudian dengan ilmu tafsir dan lain-lain ilmu Al-Qur-an. Iaitu ilmu nasikh dan mansukhnya, mafshul, maushul, muhkam dan mutasyabihnya. Demikian juga dengan sunnah!.
Kemudian berusahalah dengan ilmu furu', iaitu ilmu mengenai madzhab dari ilmu fiqih, tanpa membicarakan masalah khilafiah. Kemudian berpindah kepada ilmu Ushul fiqih. Demikianlah terus sampai kepada ilmu-ilmu yang lain, selama nyawa masih dikandung badan dan selama waktu mengizinkan.
Janganlah anda menghabiskan umur pada suatu pengetahuan saja dari pengetahuan-pengetahuan itu, karena hendak mendalaminya benar-benar. Sebab ilmu itu banyak dan umur itu pendek. Dan ilmu pengetahuan itu adalah alat dan pengantar. Dia tidaklah men¬jadi tujuan yang sebenarnya, tetapi sebagai alat untuk menuju kepada yang lain.
Dan tiap-tiap yang dicari untuk tujuan yang lain, maka tidaklah layak tujuan yang sebenarnya itu dilupakan, lalu diperbanyakkan yang dicari itu.
Mengenai Ilmu Bahasa umpamanya, singkatkanlah sekadar dapat memahami dan bercakap-cakap dengan bahasa Arab itu. Dan dipelajari yang luar biasa dari ilmu bahasa itu untuk dapat dipahami yang luar biasa pula dari susunan Al-Quf-an dan Al-Hadits. Tinggalkanlah berdalam-dalam padanya dan singkatkanlah dari ilmu tata-bahasa (ilmu nahwu) itu sekedar yang berhubungan dengan Kitab Suci dan Sunnah Nabi!.
Tidak ada satu ilmupun, melainkan mempunyai yang ringkas, yang sedang dan yang mendalam.
Kami tunjukkan tadi mengenai ilmu hadits, tafsir, fiqih dan ilmu kalam, untuk dapat diambil perbandingan kepada ilmu-ilmu yang lain.

159

Yang singkat tentang ilmu tafsir adalah, yang banyaknya dua kali dari Kitab Suci Al-Qur-an sendiri, seumpama Tafsir yang disusun oleh 'Ali Al-Wahidi An-Naisaburi, iaitu "Al-Wajiz". Yang sedang ( adalah sampai tiga kali dari Al-Qur-an sendiri seperti yang disusunf oleh 'Ali Al-Wahidi iaitu "Al-Wasith". Dan di balik itu adalah secara mendalam yang tidak diperlukan benar dan tidak akan habis-habisnya selama umur. , Adapun hadits, yang singkat padanya, adalah memperoleh apa yang ada dalam kitab "Shahih Al-Bukhari" dan "Shahih Muslim", dengan meminta pengesahan dari hadits yang dipelajari itu kepada seorang yang berilmu dengan matan (kata-kata) hadits itu.
Mengenai perawi-perawi dari hadits itu, maka anda cukupkan sajalah dengan perawi-perawi sebelum anda sendiri, dengan berpegang kepada kitab-kitab yang ditulis mereka. Tak perlulah kiranya anda menghafal seluruh hadits yang ada dalam kedua "Shahih" itu. Tetapi berusahalah, sehingga apabila memerlukan kepadanya, maka sanggup mencarinya dalam Kitab Hadits yang tersebut tadi.
Mengenai yang sedang pada Hadits ialah dengan menambah kepada kitab shahih yang dua di atas, hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab musnad yang shahih.
Adapun yang meluas dan mendalam ialah di balik yang tadi, se¬hingga melengkapi kepada seluruh hadits yang diterima, baik yang dha'if, yang kuat, yang syah dan yang bercacat serta mengetahui pula cara-cara penerimaan hadits itu, keadaan orang-orang yang menjadi perawi hadits, namanya dan sifatnya. Adapun fiqih, yang singkat padanya ialah apa yang terkandung dalam kitab "Mukhtashar" karangan Al-Mazani ra., kitab manate-lah kami susun dalam "Khulashah Al-Mukhtashar". Yang sedang pada fiqih ialah yang sampai tiga kali banyaknya dari Mukhtashar Al-Mazani, iaitu kira-kira sama dengan isi kitab "Al-Wasith minal madzhab" karangan kami.
Dan yang mendalam ialah melabihi dari apa yang kami muatkan dalam "Al-Wasith" tadi dan seterusnya sampai kepada kitab yang besar-besar.
Adapun ilmu kalam, maka maksudnya ialah menjaga 'aqidah yang dinukilkan Ahlus sunnah dari ulama salaf yang shalih. Tak lain dari itu.

160

Dan dibalik itu, ialah mempelajari untuk menyingkap hakikat dari segala sesuatu, tanpa cara tertentu.
Yang dimaksud dengan memelihara 'aqidah yang dinukilkan ahlus sunnah itu, ialah mencapai tingkat yang ringkas dari padanya dengan 'aqidah yang ringkas. Iaitu sekedar yang kami muatkan dalam kitab "Kaidah-kaidah i'tikad", yang termasuk dalam jumlah Kitab besar ini.
Yang sedang pada ilmu kalam ialah yang sampai kira-kira seratus lembar buku, iaitu sekedar yang kami muatkan dalam kitab "Al-Iqtishad fil I'tiqad".
Pengetahuan sebanyak tadi diperlukan untuk melawan tukang bid'ah dan menentang bid'ah yang diada-adakan. Sebab merusakkan dan menghilangkan 'aqidah yang benar dari hati orang awwam.
Usaha tadi tidak ada gunanya, kecuali terhadap orang awwam yang belum fanatik benar.
Terhadap pembuat bid'ah itu sendiri apabila ia sudah mengerti berdebat meskipun sedikit, maka tak ada gunanya lagi berbicara dengan dia. Sebab, walaupun anda telah mematahkan semua keterangannya, dia tidak akan meninggalkan madzhab yang dianutnya. Tetapi dialihnya kepada alasan bahwa dia sendiri yang kpkurangan keterangan, sedang pada orang lain dari golongannya, masih ada jawaban dan dalil yang cukup. Jadi, hanya anda saja yang berhadap-an dengan dia, dengan kekuatan perdebatan yang cukup.
Adapun orang awwam, apabila telah berpaling dari kebenaran de¬ngan menggunakan perdebatan, maka masih mungkin diajak kembali kepada kebenaran itu, sebelum bersangatan benar fanatiknya kepada hawa nafsunya. Kalau sudah, maka putuslah harapan mengembalikannya. Sebab fanatik adalah suatu unsur yang membawa kepercayaan itu melekat ke dalam jiwa. Dan fanatik itu adalah setengah dari penyakit ulama jahat. Karena ulama jahat itu, ber¬sangatan benar fanatiknya kepada apa yang dianggapnya benar. Dan memandang kepada golongan yang berbeda paham dengan mereka, dengan pandangan menghina dan mengejek. Maka menonjollah sifat-sifat ingin menentang dan berhadapan. Dan bangkitlah gerakan membela yang batil itu. Dan kokoh kuatlah maksud mere¬ka untuk berpegang teguh kepada apa yang tersebut tadi. Jikalau sekiranya mereka datang dari segi lemah-lembut dan kasih sayang serta nasehat-menasehati secara berbisik. trdak dalam ton-

161

tonan fanatik dan hina-menghina, niscaya mereka mendapat kemenangan. Tetapi tatkala kemegahan itu tidak tegak selair) dengan mempunyai.. j pengikut dan pengikut itu tidak mudah diperoleh seperti mudahnya memperoleh fanatik, kutukan dan cacian terhadap lawan, lalu diambilnyalah fanatik menjadi adat kebiasaan dan alat perkakas bagi mereka. Dan disebutnyalah, "untuk mempertahankan agama dan kehormatan kaum muslimin". Pada hal sebenarnya adalah membawa kebinasaan kepada ummat manusia dan menetapkan bid'ah di dalam jiwa.
Adapun masalah khilafiah yang timbul pada masa akhir-akhir ini dan diadakan dengan merupakan karangan, susunan dan perdebatan, yang tak pernah dikenal contohnya pada ulama-ulama terdahulu, maka janganlah anda dekati. Tetapi jauhilah seumpama menjauhi diri dari racun yang membunuh, Sebab, itu adalah .penyakit yang amat membahayakan.
Penyakit itulah yang membawa seluruh ulama fiqhi (fuqaha') suka berlomba-lomba dan bermegah-megah, yangakan kami terangkan nanti, celaka dan bahayanya.
Mungkin terdengar orang mengatakan: "Manusia itu musuh dari kebodohannya". Maka janganlah anda terpcsona kepada kata-kata itu, nanti terperosok !
Dari itu, terimalah nasehat ini dari orang (maksudnya : beliau Al-Ghazali ra. sendiri peny.) yang sudah menghabiskan umurnya sekian lama dan menambahkan dari orang-orang terdahulu dengan ka¬rangan, pembuktian, perdebatan dan penjelasan. Kemudian diilhami Allah dengan petunjuk dan diperlihatkanNya kepada kekurangan diri, lalu berhijrah dan bekerja dengan jiwa-raga.
Janganlah anda tertipu dengan perkataan orang yang mengatakan bahwa fatwa itu tiang syari'at dan tidak diketahui sebab-sebabnya melainkan dengan ilmu khilafiah.
Sebab-sebab dari madzhab adalah tersebut dalam madzhab itu sendiri. Dan penambahan dari padanya adalah merupakan perdebatan yang tidak dikenal oleh orang-orang terdahulu dan oleh para shahabat. Merekalah sebetulnya yang lebih mengetahui dengan sebab-sebab fatwa, dari orang-orang lain.
Bahkan perdebatan (mujadalah)itu, di samping tak ada faedahnya

162

dalam ilmu madzhab, adalah mendatangkan kemelaratan, yang ujerusakkan rasa indah ilmu fiqih.
Orang yang menyaksikan terkaan seorang ahli fatwa (mufti) dalam memberikan fatwanya, apabila benar rasa indah perasaannya kepa¬da fiqih, maka tak mungkinlah jalan pikirannya dalam banyak hal menyetujui syarat-syarat perdebatan itu.
Orang yang sifatnya sudah membiasakan perdebatan, maka hati nuraninya meyakini kepada tujuan perdebatan itu dan tidak bera -ni lagi melahirkan perasaan indah ilmu fiqih.
Orang yang berbuat serupa itu adalah mencari kemasyhuran dan kemegahan, dengan mempertopengkan ingin mempelajari sebab-sebab dari madzhab. Kadang-kadang umurnya habis di situ saja dan tak beralih cita-citanya kepada ilmu pengetahuan madzhab itu. Maka peliharalah dirimu dari setan jin. Dan waspadalah dari setan manusia. Karena setan manusia itu memberi kesempatan beristira-hat bagi setan jin dari keletihan menipu dan menyesatkan. Pendek kata, yang baik bagi orang yang berakal budi, ialah meng-umpamakan dirinya di alam ini .sendirian beserta Allah. Dihadap-annya mati, bangkit, hisab amalan, sorga dan neraka.
Maka perhatikanlah apa yang engkau perlukan dihadapanmu kelak dan tinggalkanlah yang lainnya. Wassalam ! .
Ada sebahagian syeh tasawwuf memimpikan sebagian ulama dalam tidurnya, seraya menanyakan : "Apa kabar ilmu yang tuan perdebatkan dahulu dan pertengkarkan ?".
Ulama itu membuka tangannya dan menghembuskannya seraya berkata : "Semuanya menjadi abu yang beterbangan. Tak ada yang berguna selain dari dua raka'at shalat yang aku kerjakan dengan ikhlas di tengah malam sepi".
Pada hadits tersebut : (Maa dlalla qaumun ba'da hudan kaanuu 'alaihi illaa uutul jadala). Artinya : "Tak sesatlah sesuatu golongan sesudah ada petunjuk padanya se¬lain orangrorang yang suka berlengkar".

163

Kemudian Nabi saw. membaca:
(Maa dlarabuuhu laka illaa jadala. Bal hum qaumun khashimuun).
Artinya : "Mereka menimbulkan soal itu hanyalah untuk membantah saja. Sebenarnya, mereka adalah kaum yang suka bertengkar".
(S. Az-Zukhruf, ayat 58). Mengenai firman Allah Ta'ala:
(Fu ammalladziina fii quluubihim zaighun).
Artinya : "Adapun orang-orang yang hatinya cenderung kepada kesalahan". (S. Ali 'Imran, ayat 7).
maka tersebutlah dalam suatu hadits bahwa: "orang-orang itu ialah mereka yang suka bertengkar yang diperingati Allah dengan
FirmanNya: (P'uh dzarhum). (S. Al-Munafiqun, ayat 4).
Artinya : "Maka berhati-hatilah terhadap mereka itu". (S. Al-Munafiqun, ayat 4).
Berkata sebahagian salaf : "Akan ada pada akhir zaman suatu kaum yang menguncikan pintu amal dan membukakan pintu pertengkaran". Pada sebahagian hadits tersebut:

164

(Jnnakum fii zamaanin ulhimtum fiihil 'amal wa saya'-tii qaumun yulhamuunal jadala).
Artinya : "Sesungguhnya kamu berada pada suatu zaman yang diilhami de¬ngan amal dan akan datang suatu kaum yang diilhami dengan pertengkaran".
Pada suatu hadits yang terkenal tersebut :
(Abghadlul khalqi ilallaahi ta'aalal aladdul khashmu).
Artinya : "Manusia yang amat dimarahi Allah Ta'ala ialah yang suka ber¬tengkar". (2)
Dan pada hadits lain :
(Maa uutiya qaumul manthiqa illua muni'ul 'amala).
Artinya :
"Tidak diberikan hepada suatu kaum akan bijak berkata-kata, kecuali mereka itu meninggalkan bekerja". (3)
Wallahu a'lam. (Allah Yang Maha Tahu)

(1) Menurut Al-lraqi bahwa ia tidak pernah menjumpai hadits ini.
(2) Dirawikan AI-Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra.
(3) Menurut Al-lraqi, ia tidak pernah menjumpai hadits ini.

165

bab keempat : Mengenai sebabnya manusia suka kepada ilmu kilafiah. Penguraian bahaya perdebatan dan pertengkaran. Syarat-syarat pembolehannya.
Ketahuilah bahwa jabatan khalifah sesudah Nabi saw. dipegang oleh khulafa rasyidin dengan petunjuk Allah (iaitu : Abu Bakar, Umar, Usman dan All). Mereka adalah imam, ahli ilmu dan paham segala hukum Allah. Bebas mengeluarkan fatwa dan sanggup menyelesaikan segala peristiwa hukum. Tak usah meminta bantuan ahli-ahli hukum Islam (fuqaha’). Kalau pun ada maka amat jarang sekali, iaitu mengenai peristiwa-peristiwa yang harus dimusyawarahkan.
Dari itu, maka para alim ulama dapat menghadapkan perhatian dan segala kesungguhannya kepada ilmu akhirat. Menolak menge¬luarkan fatwa dan apa yang ada hubungannya dengan hukum duniawi. Mereka menghadapkan diri dengan kesungguhan yang maksimal kepada Allah Ta'ala, sebagaimana dapat dibaca dalam riwayat hidup para alim ulama itu sendiri.
Sewaktu jabatan khalifah jatuh ke tangan golongan-golongan sesu¬dah khulafa rasyidin itu, yang mengendalikan pemerintahan tanpa hak dan kesanggupan dengan ilmu yang berhubungan dengan fatwa dan hukum maka terpaksalah meminta tolong kepada para fuqaha' dan mengikut-sertakan mereka dalam segala hal .untuk meminta fatwa waktu rnenjalankan hukum.
Dalam pada itu, masih ada juga diantara para ulama tabi'in, yang tetap dalam suasana yang lampau, berpegang teguh kepada tradisi agama, tidak melepaskan ciri-ciri ulama salaf (ulama terdahulu). Mereka ini bila diminta, lalu melarikan diri dan menolak. Sehingga terpaksalah para khalifah itu melakukan paksaan dalam pengangkatan anggota kehakiman dan pemerintahan.
Maka kelihatanlah kepada rakyat umum kebesaran ulama dan per¬hatian para pembesar dan wali negara kepada mereka. Sedang dari pihak alim ulama itu sendiri, menolak dan menjauhkan diri. Lalu rakyat umum tampil menuntut ilmu pengetahuan, ingin mem-

166

peroleh kemuliaan dan kemegahan dari para pembesar negeri. Me¬reka bertekun mempelajari ilmu yang berhubungan dengan fatwa dan hukum. Kemudian datang memperkenalkan diri kepada para wali negeri, memohonkan kedudukan dan jabatan.
Diantaranya ditolak dan ada juga yang diterima. Yang diterima tidak luput dari kehinaan meminta-minta dan mohon dikasihani. Maka jadilah para fuqaha' itu meminta sesudah tadinya diminta. Hina dengan menyembah-nyembah kepada pembesar sesudah tadi¬nya mulia dengan berpaling dari penguasa-penguasa itu. Yang terlepas dari keadaan tersebut ialah orang-orang dari para ulama agama Allah yang memperoleh taufiq dari padaNya. Amat besar perhatian pada masa itu kepada ilmu fatwa dan hukum karena sangat diperlukan, baik didaerah-daerah atau di pusat pe¬merintahan.
Sesudah itu lahirlah dari orang-orang terkemuka dan pembesar-pembesar golongan yang suka memperhatikan percakapan manusia tentang kaidah-kaidah kepercayaan dan tertarik hatinya mendengar dalil-dalil yang dikemukakan. Maka timbullah kegemaran bertukar-pikiran dan berdebat dalam ilmu kalam. Perhatian orang banyak-pun tertumpah kepada ilmu itu. Lalu diperbanyak karangan dan disusun cara berdebat. Dan dikeluarkanlah ulasan tentang mana kata-kata yang bertentangan.
Mereka mendakwakan bahwa tujuannya ialah mempertahankan agama Allah dan Sunnah Nabi saw. serta membasmi bid'ah seba¬gaimana orang-orang sebelum mereka ini, mendakwakan untuk agama dengan bekerja dalam lapangan fatwa dan mengurus peri hal hukum. Karena belas-kasihan kepada makhluk Tuhan dan un¬tuk pengajaran kepada mereka.
Sesudah itu muncul lagi, dari kalangan terkemuka orang-orang yang memang tidak benar terjun ke dalam ilmu kalam dan membuka pintu perdebatan didalamnya. Sebab telah menimbulkan kefanatikan yang keji dan permusuhan yang meluap-luap, yang membawa kepada pertumpahan darah dan penghancuran negeri. Tetapi go¬longan ini tertarik kepada bertukar-pikiran tentang fiqih dan khusus memperbandingkan mana yang lebih utama diantara madzhab Syafi'i dan madzhab Abu Hanifah ra.
Maka manusia-pun meninggalkan ilmu kalam dan bahagian-bahagiannya, terjun ke dalam masnlah-masalah khilafiah antara aliran Syafi'i dan Abu Hanifah khususnya. Dan tidak begitu mementing-

167

kan tentang khilafiah yang terjadi antara Malik, Sufyan Ats-Tsuri dan Ahmad ra. serta ulama-ulama lainnya Mereka mendakwakari bahwa maksudnya adalah mencari hukum agama secara mendalam, menetapkan alasan-alasan madzhab dan memberikan kata pengantar bagi pokok-pokok fatwa. Lalu diperbanyak karangan dan pemahaman hukum, disusun bermacam-macarn cara berdebat dan mengarang.
Keadaan itu diteruskan mereka sampai sckarang. Kami tidak dapat menerka, apa yang akan ditaqdirkan Tuhan sesudah kami, pada masa-masa yang akan datang.
Maka inilah kiranya penggerak kepada orang sampai bertekun dalam masalah khilafiah dan perdebatan. Tidak lain! Kalaulah condong hati penduduk dunia untuk bcrselisih dengan imam yang lain dari imam-imam tadi atau kepada ilmu yang lain dari bermaeam-macam ilmu ppngetahuan, maka golongan yang tersebut di atas akan tertarik juga dan tidak tinggal diam dengan alasan bahwa apa yang dikerjakannya itu adalah ilmu agama dan tujuannya taklain dari pada mendekatkan diri kepada Tuhan seru sekalian alam.
PENJELASAN: Penipuan tentang samanya perdebatan itu dengan musyawarah para shahabat dan pertukar-pikiran ulama salaf.
Ketahuilah bahwa golongan tersebut, kadang-kadang menjerumuskan manusia ke dalam pahamnya dengan mengatakan : "Bahwa maksud kami dari perdebatan itu mencari kebenaran supaya kebenaran itu nyata, karena kebenaranlah yang dicari. Bertolong-tolongan membahas ilmu dan melahirkan isi hati itu, ada faedah dan gunanya. Dan begitulah 'adat kebiasaan para shahabat ra. dalam bermusyawarah yang diadakan mereka seperti musyawarah mengenai masalah nenek laki-laki, saudara laki-laki dalam (soal warisan), hukuman minum khamar, kewajiban membayar atas imam (kepala pemerintahan) apabila ia bersalah. Seperti kejadian seorang wanita keguguran kandungannya karena takut kepada Umarra.dan seperti masalah pusaka dan lainnya. Dan seperti persoalan-persoalan yang

168

diterima dari Asy-Syafi'i, Ahmad, Muhammad bin Al-Hassan, Malik Abu Yusuf dan lainnya dari para ulama. Kiranya dirahmati Allah mereka itu sekalian!".
Akan tampak kepada anda penipuan itu, dengan apa yang akan saya terangkan ini. Iaitu, benar bahwa bertolong-tolongan mencari kebenaran itu sebahagian dari agama. Tetapi mempunyai syarat dan tanda yang delapan macam:
PERTAMA: bahwa tidak bekerja mencari kebenaran yang termasuk dalam fardlu-kifayahitu, orang-orang yang belum lagi menyelesaikan fardlu 'am. Dan orang yang masih berkewajiban dengan sesuatu fardlu 'ain, lalu mengerjakan fardlu-kifayah dengan dakwa-an bahwa maksudnya benar, adalah pendusta. Contohnya seumpa-ma orang yang meninggalkan shalatnya sendiri, bekerja menyedia-kan kain dan menjahitkannya dengan mengatakan: "Bahwa mak-sudku hendak menutup aurat orang yang bershalat telanjang dan tidak memperoleh kain".
Penjawaban itu mungkin cocok dan bisa saja terjadi, seumpama apa yang didakwakan oleh ahli fiqih, bahwa kejadian hal-hal yang luar biasa, yang menjadi bahan pembahas dan perselisihan itu, bukan tidak mungkin.
Yang jelas, orang-orang yang 'asyik bertengkar itu, menyia-nyiakan urusan yang telah disepakati atas fardlu 'ainnya. Orang yang diha-dapkan kepadanya untuk mengembalikan barang simpanan seka-rang juga, lalu tegak berdiri bertakbir melakukan shalat suatu iba-dah yang mendekatkan manusia kepada Tuhannya adalah berdosa.
Jadi tidak cukup untuk menjadi seorang yang ta'at, sebab perbuat-annya termasuk perbuatan ta'at, sebelum dijaga padanya waktu, syarat dan tata-tertib pada mengerjakannya.
KEDUA: bahwa tidak melihat fardlu-kifayah itu lebih penting dari perdebatan. Jika ia melihat ada sesuatu yang lebih penting, lalu mengerjakan yang lain maka berdosalah ia dengan sikapnya itu. Con¬tohnya seumpama orang yang melihat serombongan orang kehaus-an yang hampir binasa dan tak ada yang menolongnya. Orang tadi sanggup menolong dengan memberikan air minum. Tetapi dia pergi mempelajari berbekam dengan mendakwakan bahwa pelajaran ber-bekam itu termasuk fardlu-kifayah dan kalau kosong negeri dari pengetahuan berbekam maka akan binasalah manusia. Dan kalau dikatakan kepadanya bahwa dalam negeri banyak ahli bekam dan

169

lebih dari cukup, lalu dijawabnya bahwa ia tidak dapat merobah 2 pekerjaan berbekam menjadi tidak fardlu kifayah lagi. Maka peristiwa orang yang pergi mempelajari berbekam dan menyia-nyiakai nasib orang yang menghadapi bahaya kehausan itu, dari orang muslimin, samalah halnya dengan peristiwa orang yang 'asyik* mengadakan perdebatan sedang dalam negeri terdapat banyak fardlu kifayah yang disia-siakan, tak ada yang mengerjakannya.
Mengenai fatwa maka telah bangun segolongan manusia melaksanakannya.
Tak ada satu negeripun yang didalamnya fardlu kifayah, yang tidak disia-siakan. Dan para ulama fiqih tidak menaruh perhatian : kepadanya. Contoh yang paling dekat ialah ilmu kedokteran. Hampir seluruh negeri tidak didapati seorang dokter muslim yang boleh diperpegangi kesaksiannya mengenai sesuatu yang dipegang pada agama atas adpis dokter. Dan tak ada seorangpun dari pada ahli fiqih yang suka bekerja dalam lapangan kedokteran.
Begitu pula amar ma'ruf dan nahi munhar, termasuk dalam fardlu kifayah. Kadang-kadang seorang pendebat dalam majlis perdebatan melihat sutera dipakai dan dipasang pada tempat duduk. Dia tinggal berdiam diri dan terus berdebat dalam persoalan, yang sekalipun tak pernah terjadi. Kalaupun terjadi maka bangunlah serombongan fuqaha' menyelesaikannya. Kemudian mendakwakan bahwa maksudnya dengan fardlu kifayah tadi. ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Diriwayatkan Anas ra. bahwa orang bertanya kepada Nabi saw. :
(Mataa yutrakul amru bilma'ruufi wannahyu 'anil munkar)
Artinya : "Apabila amar ma'ruf dan nahi munhar itu ditinggalkan orang?".
Maka menjawab Nabi saw. :

170

(Idzaa dhaharatil mudaahanatu fii khiyaarikum wal faahisyatu fii syiraarikum wa tahawwalal mulku fii shighaarikum wal fiqhu fii
Artinya : "Apabila telah lahir sifat berminyak air dalam kalangan orang pilihan dari kamu dan perbuatan keji dalam kalangan orang jahat dari kamu dan berpindah pemerintahan dalam kalangan orang-orang kecil dari kamu dan fiqih (hukum) dalam kalangan orang-orang yang hina dari kamu".
KETIGA : bahwa adalah seorang pendebat itu mujtahid, berfatwa dengan pendapatnya sendiri, tidak dengan madzhab Asy-Syafi'i, Abi Hanifah dan lainnya. Sehingga apabila lahirlah kebenaran dari madzhab Abi Hanifah maka ditinggalkannya yang sesuai dengan pendapat Asy-Syafi'i dan berfatwalah dia menurut kebenaran itu seperti yang diperbuat para shahabat ra. dan para imam.
Adapun orang, yang tidak dalam tingkat ijtihad dan memang begitulah keadaan orang sekarang maka berfatwalah dia dalam persoal¬an yang ditanyakan kepadanya menurut madzhab yang dianutnya. Kalau ternyata lemah madzhabnya maka tak boleh ditinggalkannya.
Dari itu, apakah faedahnya Ia mengadakan perdebatan, sedang madzhabnya sudah dikenal dan dia tak boleh berfatwa dengan yang lain ?
Kalau ada yang sulit, dia harus mengatakan : "Semoga ada jawaban tentang ini pada yang empunya madzhabku. Karena aku tidak berdiri sendiri dengan berijtihad pada pokok-pokok agama".
Kalau ada pembahasannya mengenai persoalan yang mempunyai dua pendapat atau dua kata (qaul) dari yang empunya madzhab itu sendiri, maka dalam hal ini dapat meragukan baginya. Mungkin dia berfatwa dengan salah satu dari dua pendapat itu, karena sepanjang penyelidikannya, ia condong kepada yang satu itu. Maka tak adalah sekali-kali jalan untuk berdebat dalam hal tersebut.
Tetapi mungkin puia, ditinggalkannya persoalan yang mempunyai dua pendapat atau kata itu dan dicarinya persoalan yang ada perselisihan pendapat oadanya sudah pasti.
KEEMPAT : bahwa tidak diperdebatkan selain dalam persoalan yang terjadi atau biasanya akan terjadi dalam masa dekat. Karena

171

para shahabat ra. tidak mengadakan musyawarah selain dalam persoalan yang selalu terjadi atau biasanya terjadi seumpama persoalan warisan (faraidl).
Tetapi, kami tidak melihat tukang berdebat itu mementingkan pengecaman dengan mengeluarkan fatwa tentang persoalan yang sering terjadi. Akan tetapi mereka memukul tambur dengan suara nyaring, supaya lingkaran pertengkaran itu semakin meluas dengan tak memikirkan apa yang akan terjadi.
Kadang-kadang ditinggalkan mereka persoalan yang banyak terjadi itu dengan mengatakan : "Itu soal kabar angin atau soal yang diketepikan yang tak layak diperdengarkan".
Yang mengherankan, ialah tujuan mereka mencari kebenaran; Tetapi persoalan yang semacam itu ditinggalkan, beralasan kabar angin. Dan pada kabar angin tak dapat diperoleh kebenaran. Atau persoalan itu tak layak diketengahkan ke muka umum. Mengenai hal ini, tak usah kami perpanjang kalam. Menuju kepada kebenar¬an biarlah dengan kata yang ringkas, lekas menyampaikan kepada maksud, tidak berpanjang-panjang.
KELIMA:: bahwa perdebatan itu lebih baik diadakan pada tempat yang sepi dari pada dihadapan orang ramai dan di muka para pembesar dan penguasa-penguasa. Pada tempat yang sepi, pemikiran itu dapat dipusatkan dan lebih layak untuk memperoleh kejernihan hati, pikiran dan kebenaran.
Kalau di muka umum, dapat menggerakkan ria, mendorong masing-masing pihak untuk menjadi pemenang, benar dia atau salah. Anda tahu bahwa orang suka ke tempat umum dan dihadapan orang banyak, tidaklah karena Allah Ta'ala. Kalau di tempat yang sepi, masing-masing mau memberikan kesempatan waktu kepada kawan-nya untuk berpikir dan berdiamdiri. Kadang-kadang dimajukan sa-ran dan dibiarkan tidak menjawab dengan cepat. Tetapi bila di muka umum atau dihadapan pertemuan besar, masing-masing pihak tidak mau meninggalkan kesempatan, sehingga mau dia saja yang berbicara.
KEENAM: bahwa dalam mencari kebenaran itu, tak ubahnya seperti orang mencari barang hilang. Tak berbeda antara diperolehnya sendiri atau orang lain yang menolongnya.
Dia memandang temannya berdebat itu penolong, bukan musuh. Diucapkannya terima kasih, waktu diberitahukannya kesalahan dan

172

dilahirkannya kebenaran. Seumpama kalau dia mengambil jalan mencari barangnya yang hilang, lalu temannya memberitahukan bahwa barang yang hilang itu berada pada jalan yang lain. Tentu akan diucapkannya terima kasih, bukan dimakinya. Tentu akan dimuliakannya dan disambutnya dengan gembira.
Demikianlah adanya musyawarah para shahabat Nabi saw. itu. Seorang wanita pernah membantah keterangan Umar ra. dan menerangkan kepadanya yang benar, di waktu Umar sedang berpidato dihadapan rakyat banyak.
Maka menjawab Umar : "Benar wanita itu dan salah laki-laki ini!".
Bertanya seorang laki-laki kepada Ali ra. Lalu Ali memberi penjawaban atas pertanyaan itu.
Lalu menyahut laki-laki tadi : "Bukan begitu wahai Amirul mu'minin. Tetapi bagini .............begini ......................... !".
Maka menjawab Ali : "Anda benar dan aku salah. Di atas tiap-tiap yang berilmu, ada lagi yang lebih berilmu".
Ibnu Mas'ud menyalahkan Abu Musa Al-Asy'ari ra. dalam suatu persoalan. Maka berkata Abu Musa : "Janganlah kamu bertanya kepadaku tentang sesuatu, selama tokoh ini masih dihadapan kita".
Persoalan itu iaitu Abu Musa ditanyakan tentang orang yang berperang sabilullah lalu tewas, maka menjawab Abu Musa : "Masuk sorga".
Abu Musa ketika itu menjadi amir di Kufah.
Tatkala mendengar penjawaban Abu Musa tadi, maka baugun Ibnu Mas'ud seraya berkata : "Ulang lagi pertanyaan tersebut kepada Amir itu, barangkali dia belum mengerti!".
Yang hadlir mengulangi tagi pertanyaan di atas dan Abu Musa men¬jawab pula seperti tadi. Maka berkata Ibnu Mas'ud : "Saya menga¬takan bahwa jika orang itu tewas maka ia memperoleh kebenaran, maka dia dalam Sorga".
Maka menjawab Abu Musa : "Yang benar ialah yang dikatakan Ibnu Mas'ud.".
Demikianlah kiranya keinsyafan bagi orang yang mencari kebenar¬an.
Kalau umpamanya seperti itu sekarang dikatakan kepada seorang

173

ahli fiqih kaliber kecil saja, tentu dibantahnya dan dikesampingkannya dengan mengatakan : "Tak perlu dikatakan, diperolehnya kebenaran, sebab hal itu semua orang sudah tahu".
Lihatlah tukang-tukang berdebat masa kita sekarang ini, apabila kebenaran itu datang dari mulut lawannya, maka hitamlah mukanya Dia merasa rnalu dan berusaha sekuat tenaganya, menentang kebe¬naran tadi. Dan betapa pula dicacinya terus-menerus selaraa hidupnya, orang yang telah mematahkan keterangannya itu.
Kemudian tidak pula malu menyamakan dirinya dengan para shahabat ra. tentang bekerja sama dan tolong-menolong mencari kebenan

KETUJUH : Jangan dilarang teman yang berdebat, berpindah dari satu dalil ke lain dalil dan dari satu persoalan ke lain persoalan. Demikianlah adanya perdebatan ulama salaf pada masa yang lampau. Tetapi sekarang lain, dari mulut orang berdebat itu meluncur seluruh bentuk pertengkaran yang tidak-tidak, baik terhadap dirinya sendiri atau terhadap orang lain. Seumpama katanya : "Ini tidak perlu saya sebutkan. Itu bertentangan dengan keterangan saudara yang pertama. Dari itu tidak diterima".
Sebenarnya, kembali kepada kebenaran adalah merombak yang batil dan wajib diterima. Anda melihat sekarang seluruh majelis perdebatan, habis waktunya menolak dan bertengkar, sampai memberi keterangan dengan alasan-alasan sangkaan. Untuk menolak alasan tadi, lalu yang sepihak lagi bertanya : "Apa keterangannya, maka untuk menetapkan hukum masalah itu, didasarkan kepada alasan tadi?".
Pihak pertama menolak dengan mengatakan : "Itulah yang ada padaku. Kalau ada pada saudara yang lebih terang dan kuat dari itu, coba terangkan supaya saya dengar dan saya perhatikan!". Maka terus-meneruslah orang itu bertengkar dan menyebut kata-kata yang lain lagi yang tidak saya sebutkan tadi, seumpama : "Sa¬ya tahu tetapi tidak mau saya sebutkan, sebab tidak perlu saya menyebutkannya!".
Yang sepihak lagi mendesak untuk diterangkan apa yang disebutnya itu. Tetapi pihak yang kedua ini tetap menolak.
Bertele-tele majelis perdebatan itu dengan bersoal dan berjawab.

174

pihak yang mengatakan bahwa dia tahu, tetapi tidak bersedia menerangkannya, beralasan tidak perlu, adalah bohong, membohongi agama. Karena bila sebenarnya ia tidak tahu, tetapi mengatakan tahu supaya lawannya lemah, maka dia itu adalah seorang fasiq pendusta, durhaka kepada Allah dan berbuat yang dimarahi Allah dengan mengatakan tahu, padahal tidak.
Kalau benar ia tahu, maka dia menjadi seorang fasiq karena menyembunyikan apa yang diketahuinya dari ilmu agama, sedang saudaranya seagama telah bertanya untuk mengerti dan mengetahuinya. Kalau saudara seagama itu seorang yang berilmu, maka dia dapat kembali kepada kebenaran. Kalau seorang yang berilmu kurang, maka lahirlah kekurangannya dan dapatlah ia keluar dari kegelapan bodoh kepada sinar ilmu yang terang-benderang.
Dan tak khilaf lagi bahwa melahirkan apa yang diketahui dari ilmu setelah ditanyakan, adalah wajib dan perlu.
Dari itu, katanya : "Tidak perlu bagi saya menyebutkannya" adalah berlaku perkataan itu dalam perdebatan yang diadakan untuk memenuhi hawa nafsu dan ingin mencari jalan untuk melepaskan diri. Kalau bukan demikian, maka menerangkan yang diketahui itu adalah wajib sepanjang agama. Maka dengan enggannya menerang¬kan, jadilah dia pendusta atau fasiq.
Perhatikanlah musyawarah para shahabat ra. dan bersoal jawab para ulama salaf! Adakah anda mendengar semacam itu? Adakah dilarang orang berpindah dari satu dalii ke dalil yang lain, dari qias ke perkataan shahabat dan dari hadits ke ayat? Tidak, bahkan seluruh perdebatan mereka termasuk ke dalam golongan tadi. Karena mereka menyebutkan apa yang terguris di hati, dengan tidak sembunyi-sembunyi. Dan masing-masing mendengarnya dengan penuh perhatian.
KEDELAPAN : bahwa perdebatan itu diadakan dengan orang yang diharapkan ada faedanya bagi orang itu, seperti orang yang se¬dang menuntut ilmu.
Biasanya sekarang, orang monjaga jangan sampai berdebat dengan tokoh-tokoh yang terkemuka dalam lapangan ilmu pengetahuan. Karena takut nanti lahir kebenaran dari mulut mereka. Dari itu dipilih dengan orang yang lebih rendah ilmunya, karena mengharap yang batil itu bisa Jaris.

175

Di balik syarat-syarat yang tersebut, ada lagi beberapa syarat yang penting juga. Tetapi dengan syarat yang delapan itu, cukuplah kiranya memberi petunjuk kepada anda, siapa kiranya yang berdebat karena Allah dan siapa yang berdebat karena sesuatu maksud.
Ketahuilah secara keseluruhan, bahwa orang yang tidak mendebati setan, di mana setan itu ingin menguasai hatinya dan musuhnya yang terbesar, yang senantiasa mengajaknya kepada kebinasaan, lain tampil mendebati orang lain mengenai masalah-masalah, di ma¬na seorang mujtahid memperoleh pahala atau mendapat bahagian dari orang yang memperoleh pahala, maka orang tersebut membawa tertawaan setan dan menjadi ibarat bagi orang-orang yang ikhlas.
Karena itu, waspadalah terhadap tipuan setan, yang selalu berusaha menjerumuskan manusia ke dalam kegelapan bahaya yang akan kami perinci dan menerangkan penjelasannya.
Kepada Allah Ta'ala kita meminta pertolongan yang baik serta taufiq!.
PENJELASAN: Bahaya berdebat (hermunadharah) dan hal-hal yang terjadi dari padanya, tentang kerusakan budi.
Ketahuilah dan yakinlah bahwa perdebatan yang diadakan dengan tujuan mencari kemenangan, menundukkan lawan, melahirkan kelebihan dan kemuliaan diri, membesarkan mulut di muka orang banyak, ingin kemegahan dan kebebasan serta ingin menarik per-hatian orang, adalah sumber segala budi yang tercela pada Allah dan terpuji pada Iblis musuh Allah. Hubungannya kepada sifat-sifat kekejian bathin, seumpama takabur, 'ujub, dengki, ingin di muka, menyangka diri bersih, suka kemegahan dan lainnya, ada¬lah seumpama hubungan minum khamar kepada sifat-sifat kekejian dhahir, seumpama zina, menuduh orang berbuat zina (qazaf), membunuh dan mencuri.
Sebagaimana orang yang disuruh memilih antara minuman yang memabukkan dan perbuatan-perbuatan keji yang lain, lalu dianggapnya minuman itu lebih enteng maka minumlah dia. Lalu oleh minuman itu, diajaknya ketika sedang mabuk, kepada perbuatan-

176

nerbuatan keji yang lain, maka demikian pulalah orang yang didesak oleh keinginan menjatuhkan orang lain, memperoleh kemenangan dalam perdebatan, kemegahan dan keangkuhan, mengajaknya ke¬pada bermacam-macam sifat keji yang tersembunyi dalam jiwanya. Pan menggelagaklah padanya segala budi pekerti yang tercela.
Segala budi pekerti itu akan diterangkan nanti dalil-dalilnya, baik hadits atau ayat yang menyatakan tercelanya pada : "Bahagian Sifat-sifat Yang Membinasakan".
Sekarang kami tunjukkan keseluruhan sifat-sifat jahat yang ditimbulkan oleh munadharahitu.Diahtaranya : "dengki".
Bersabda Nabi saw. : (Al-hasadu ya'kulul hasanaati kamaa ta'kulun naarul hathaba).
Artinya : "Dfiiqki itii mrmalian yang liaik .irfit'rtiapt mcmakan kayu ltermg''w
Seorang pendebat tidak terlepas dari sifat dengki. Karena dia sekali menang, sekali kalah. Sekali kata-katanya dipuji orang dan sekali kata-kata lawannya dipuji orang. Selama di dunia ini ada orang yang dipandang lebih banyak ilmunya dan pemandangannya atau disangka lebih cakap dan lebih kuat pemandangannya, maka selama itu pula, ada orang yang dengki kepadanya dan mengharap nikmat itu hilang dan berpindah kepada orang yang dengki itu.
Dengki adalah api yang membakar. Orang yang menderita penyakit dengki, di dunia beroleh 'azab sengsara dan di akhirat lebih hebat dan dahsyat lagi. Karena itulah, berkata Ibnu Abbas ra. : "Ambillah itmu pengetahuan di manasaja kamu dapati. Dan jangan-lah kamu U-rima perkataan fuqaha', karena diantara sesama mereka ilu bersolisih satu sama lainnya, seperti berselisihnya kambingkam-bingjantan dalam kandang".
Diantara sifat-sifat jahat itu: takabur dan mau tinggisebenang dari orang lain.
Bersabda Nabi saw. : 'ikan Abu Dawud can Abu Hurairah. Kaia AI-Bukhari. haditi ini tidak

177

(Man takabbara wa dla'ahullaahu wa man tawaadla'a rafa'ahullaah|) Artinya : "Barangsiapa takabur, niscaya direndahkan oleh Tuhan dan barang siapa merendahkan diri, niscaya ditinggikan oleh Tuhan".
Bersabda Nabi saw. menceriterakan finnan Allah Ta'ala :
(Al-adhamatu izaarii wal kibriyaa-u ridaa-ii faman naaza 'anii fiihi-; maa qashamtuhu).
Artinya : "Kebesaran itu kain sarungKu, takabur itu selendangKu. Maka barangsiapa bertengkar denganKu tentang yang dua itu, niscaya Aku binasakan dia".
Selalulah orang yang berdebat itu menyombong terhadap teman dan kawannya, ingin lebih tinggi dari yang wajar. Sehingga mereka berperang landing dalam majelis perdebatan, berlomba-lomba meninggi dan merendahkan, mendekati dan menjauhkan diri dari tiang tengah, dahulu mendahulukan masuk pada jalan yang sempit.
Kadang-kadang si bodoh dan si keras kepala dari mereka, mengemukakan alasan bahwa maksudnya dengan perdebatan itu memelihara kemuliaan ilmu dan "bahwa orang mu'min itu dilarang menghinakan diri". Lalu mengatakan tentang sifat merendahkan diri (tawadlu') yang dipujikan Allah dan para NabiNya dengan menghinakan diri dan tentang sifat takabur yang dicelai Allah dengan memuliakan agama, merupakan penyelewengan nama dan menyesatkan orang banyak, sebagaimana yang telah diperbuat ter¬hadap nama hikmah, ilmu dan lainnya. . Diantara sifat-sifat jahat itu : dendam.
Hampir seluruh orang yang suka berdebat, tidak terlepas dari sifat pendendam.
Nabi saw. pernah bersabda : "Orang muk'min tidaklah pendendam "

178

banyaklah dalil yang mencela sifat pendendam itu, yang tak tersembunyi lagi.
oeorang yang mengambil bahagian dalam perdebatan, tidak sanggup membersihkan jiwanya dari sifat pendendam, terhadap orang yang menyambut dengan baik keterangan lawannya, sedang terha¬dap keterangannya sendiri dipandang sepi dan tidak diperhatikan dengan baik.
Apabila dilihatnya demikian, maka bersemilah dalam hatinya penyakit dendam, makin lama makin mendalam. Akhirnya menjadi sifat munafiq yang tersembunyi dan membayang kepada dzahir, yang biasanya tidak dapat dibantah lagi.
Bagaimanakah melepaskan diri dari ini? Dan tidaklah tergambar kesepakatan seluruh pendengar untuk memperkuatkan keterangan¬nya dan memandang baik dalam segala hal, caranya menolak dan memberi alasan. Bahkan jika timbul dari lawannya sedikit saja yang menyebabkan kurang perhatian kepada perkataannya maka tertanamlah dalam dadanya sifat pendendam itu yang payah hilang sampai bercerai badan dengan nyawa.

Diantara sifatsifat yang jahat itu: mengupat.

Sifat mengupat itu diserupakan oleh Allah dengan memakan bangkai. Maka senantiasalah orang yang berdebat itu memakan bangkai. Karena dia tidak dapat melepaskan diri dari menceriterakan lawan¬nya dan mencacinya. Paling tinggi, dipeliharanya kebenaran dalam cgriteranya dan tidak membohong. Maka diceriterakannya — sudah pasti — keadaan-keadaan yang menunjukkan kekurangan ilmu lawan, kelemahan dan kurang kelebihannya. Dan itulah mengupat namanya. Sedang berdusta iaitu mengada-adakan yang tidak-tidak.
Begitu pula tidak sanggup dia menjaga lidahnya dari membentangkan hal keadaan orang yang menentang perkataannya dan memperhatikan perkataan lawannya dan menerimanya. Sehingga orang itu disebutnya bodoh, dungu, kurang paham dan bebal.
Diantara sifat-sifat yang jahat itu: membersihkan diri. Berfirman Allah Ta'ala: (Falaa tuzakkuu anfusakum huwa a'lamu bimanit taqaa).

179

Artinya: "Janganlah kamu membersihkan dirimu. Dialah (Allah) YangMaha Mengetahui siapa yang bertaqwa ". (g An-Najm, ayat 32).
Ditanyakan kepada seorang ahli hikmah (hukama') : "Manakah kebenaran yang buruk ? ".
Menjawab hukama' itu : "Memuji manusia akan dirinya".
Tidaklah terlepas, si pendebat itu memuji dirinya dengan kekuatan, kemenangan dan kelebihan dari teman-temannya. Senantiasa ia mengatakan ketika berdebat : "Saya bukan orang yang tidak mengerti dalam segala hal ini. Saya mengetahui bermacam-macam ilmu, berpaham sendiri tentang pokok-pokok agama dan menghafal banyak hadits". Dan lain-lain perkataan yang timbul dari orang-orang yang memuji diri. Sekali untuk memujikan dirinya saja dan sekali dengan tujuan supaya kata-katanya laris. Sebagai dimaklumi bahwa memuji diri sendiri, baik ada ataupun tidak ada yang disebutkan itu, adalah tercela sepanjang agama dan akal pikiran yang sehat.
Diantara sifat-sifat yang jahat itu mengintip dan mengikuti hal ikhwal orang. Berfirman Allah Ta'ala : (Wa laa tajassasuu). (S. Al-Hujurat, ayat 12).
Artinya : "Janganlah kamu mcngintip-ngintip (memata-matai)". (S. Al-Hujurat, ayat 12).
Si pendebat itu senantiasa mencari kesilapan teman dan kekurangan lawannya. Sehingga bila datang seorang pendebat lain ke tempatnya lalu dicarinya orang yang dapat menerangkan rahasia hidup pende¬bat yang datang itu. Ditanyainya keburukan-keburukannya untuk menjadi bahan yang akan disiarkan dan ditonjolkan nanti apabila keadaan memerlukan.
Penyelidikan itu sampai kepada keadaan hidup si pendebat yang datang itu semasa kecil dan kekurangan-kekurangan yang ada pada badannya. Dengan demikian, diperolehnya kekurangan atau kecederaan tubuh seumpama bekas borok atau lainnya.

180

Kemudian, apabila dirasanya perlu, lalu dibentangkannya jika ada hubungannya dengan perdebatan. Hal itu dipandangnya baik untuk memperoleh sebab-sebab kemenangan. Dan tidak menjadi halangan. menerangkan hal tersebut dengan diselang-selangi penghinaan dan pengejekan, sebagaimana biasa dilakukan oleh pendebat-pendebat terkemuka yang terhitung tokoh-tokoh penting.
Diantara sifat-sifat yang jahat itu : perasaan gembira dengan kesusahan lawan dan perasaan susah dengan kegembiraan lawan.
Orang yang tidak menyukai pada saudaranya seagama apa yang disukainya pada dirinya sendiri, maka adalah dia jauh dari budi pekerti orang mu'min. Tiap-tiap orang yang mencari kemegahan dengan mengemukakan kelebihannya, maka pastilah menyenangkan baginya dengan timbul kesusahan bagi teman dan kawannya yang menjadi saingannya. Pertentangan bathin diantara mereka, samalah halnya dengan pertentangan bathin diantara wanita-wanita yang dimadukan. Maka sebagaimana seorang wanita yang dimadukan, apabila melihat dari jauh saingannya, lalu gemetarlah sendi-sendinya dan pucatlah mukanya. Maka demikian pula halnya dengan orang yang berdebat itu, apabila melihat lawannya lalu berubahlah warna mukanya dan kacaulah pikirannya. Seolah-olah dia melihat setan yang menggoda atau binatang buas yang menerpa.
Maka dimanakah sayang-menyayangi dan cinta-mencintai itu, yang berlaku diantara para alim ulama ketika berjumpa? Dan dimanakah persaudaraan, bertolong-tolongan dan senasib-sepenanggungan pada masa duka dan suka sepanjang riwayat yang diterima dari ulama-ulama yang terdahulu? Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata : "Ilmu pengetahuan diantara orang-orang yang terkemuka dan berpikiran tinggi itu, adalah dalam bersilatur-rahmi yang sambung-menyambung".
Dari itu saya tidak mengerti, bagaimana mendakwakan diri mengikuti madzhab Imam AsySyafi'i oleh segolongan manusia, di mana ilmu pengetahuan itu diantara mereka telah menjadi alat permusuhari yang memutuskan silaturrahmi? Mungkinkah tergambar sayang menyayangi diantara mereka, di samping mencari kemenangan dan kemegahan? Amat jauh panggang dari api! Waspadalah diri dari kejahatan yang mengakibatkan berbudi pekerti munafiq dan terle¬pas dari budi pekerti mu'min dan muttaqin.
Diantara sifat-sifat yang jahat itu : nifaq (sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam).

181

Tidak perlulah rasanya diterangkan dalil-dalil yang mencela sifat nifaq itu.
Orang-orang berdebat itu memerlukan kepada sifat nifaq. Karena apabila bertemu dengan lawan, pencinta-pencinta lawan dan golo-ngan lawan, maka tak ada jalan lain, selain dari melahirkan kata pershahabatan dengan lisan, kata kasih-sayang dan memuji-mujj kedudukan dan keadaan lawan.
Hal itu disedari oleh si pembicara dan yang dihadapkan pembicaraan itu kepadanya, bahkan oleh seluruh yang mendengar, bahwa itu bohong, dusta, nifaq dan zalim. Karena berkasih-sayang dengan lisan. berdendam-khasumat dengan hati. Berlindunglah kita dengan Allah dari sifat nifaq itu!
Bersabda Nabi saw.: (Idzaa ta'allaman naasul 'ilma wa tarakul 'amala wa tahaabbuu bil alsuni wa tabaaghadluu bil quluubi wa taqaatha'uu fil arhaami la'anahumullaahu 'inda dzaalika fa-a-shammahum wa a'maa abshaa-rah urn.
Artinya: "Apabila manusia mempelajari ilmu dan meninggalkan amal, berkasih-kasihan dengan lisan dan bermarah-marahan dengan hati, serta berputus-putusan silatur-rahmi, maka kenalah kutukan Allah ketika itu. Ditulikan telinganya dan dibutakan matanya.
Hadits ini diriwayatkan Al-Hassan. Dan benarlah demikian dengan dipersaksikan keadaan itu!.
Diantara sifat-sifat yang jahat itu: menyombong, menolak kebenaran dan bersungguh-sungguh menantangnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang amat dimarahi oleh seorang pendebat ialah lahirnya kebenaran dari lisah lawannya. Maka bagaimanapun kebenaran

182

itu sudah terang ibarat matahari waktu siang, mau juga ditantang dan dilawannya dengan segala usaha dan kemungkinan yang ada, baik dengan penipuan, pengkhianatan dan kebusukan hati. Sehing¬ga jadilah menantang kebenaran itu adat yang lazim bagi seorang pendebat. Bila saja didengarnya perkataan lawan, terus datang keinginannya menantang. Sampai hal itu melekat pada hatinya, tidak saja terhadap keterangan biasa, bahkan juga terhadap dalil dari Al-Qur-an dan kata-kata lain dari agama. Maka jadilah dalil-dalil itu berantakan satu sama lain.
Berdebat menghadapi yang batil itu harus dengan hati-hati. Nabi saw. berseru supaya meninggalkan perdebatan mengenai hal yang benar melawan yang batil.
Nabi saw. bersabda : (Man tarakal miraa-a wahuwa mubthilun banallaahu lahu baitan fii rabadlil jannati wa man tarakal miraa-a wahuwa muhiqqun banallaahu lahu baitan fii a'-lal jannati).
Artinya : "Barangsiapa meninggalkan perdebatan sedang dia di pihak yang batil, maka dibangun Allah baginya sebuah rumah dalam perkampungan sorga. Dan barangsiapa meninggalkan perdebatan sedang dia di pihak yang benar, maka dibangun Allah baginya sebuah rumah dalam sorga tinggi".
Allah Ta'ala menyamakan antara orang yang mengada-adakan ternadapNya dengan kedustaan dan orang yang mendustakan kebenar-an. FirmanNya : (Wa man adhlamu mimmanif taraa 'alallaahi kadziban au kadzdzab DU naqqi lammaa jaa-ahu).

183

Artinya : "Siapakah yang lebih besar kesalahannya dari orang-orang yang, mengada-adakan kedustaan tentang Allah atau mendustakan kebenaran tatkala datang kepadanya!". (Al-Ankabut, ayat 68).

Dan firmanNya : (Faman adhlamu miraman kadzaba 'alallaahi wa kadzdzaba bish-shidqi idzjaa-ahu).
Artinya : "Siapakah yang Iebih besar kesalahannya dari orang yang berbual kedustaan tentang Allah dan orang yang mendustakan kebenuran ketika datang kepadanya.'". (S Az-Zumar, ayat 32).
Diantara sifat-sifat yang jahat itu : ria. ingin memperlihatkan amalannya kepada orang banyak, berusaha menarik hati dan pandangan mereka kepadanya.
Ria adalah penyakit bathin yang amat berbahaya, dapat menjerumuskan ke dalam dosa besar, sebagaimana akan diterangkan nanti pada "Kitab Ria".
Seorang pendebat, tidaklah bermaksud, kecuali namanya muncul di rnuka umum. Lidah orang banyak lancar memujinya. Inilah sepuluh perkara dari induk kekejian bathin, selain dari yang timbul secara kebetulan dari orang-orang di luar pendebat itu sendin, yang merupakan permusuhan yang mengakibatkan pemukulan, penempelengan, pengoyakan kain, penarikan janggut, pemakian ibu-bapa, pengupatan guru dan tuduhan-tuduhan yang tegas menyakitkan hati. Mereka ini tidaklah terhitung dalam golongan orang yang masuk bilangan.
Sesungguhnya orang-orang yang terkemuka dan yang terkenal pintar dari mereka, tidaklah terlepas dari perkara yang. sepuluh itu. Benar, sebahagian dari mereka terpelihara dari beberapa sifat tadi, di samping ada pula yang tidak begitu jelas atau sangat jelas dengan sifat-sifat itu. Atau karena jauh dari kampungnya dan unsur-unsur kehidupannya, maka sifat-sifat itu berbeda an tar a satu sama lainnya.

184

Pendek kata, payahlah terlepas dari sifat-sifat tersebut bagi siapa juapun dalam bentuknya yang bermacam-macam, melihat kepada tingkat orang itu sendiri. Kemudian dari sifat yang sepuluh tadi, masing-masing daripadanya bercabang pula kepada sepuluh yang lain yang tak kurang kejinya.
Kami tidak berpanjang kalam menyobut dan menguraikannya satu-persatu, seumpama keras hidung, marah, dendam, loba, ingin memperoleh harta dan kemegahan untuk tetap dalam kemenangan, banga, keras kepala, suka membesarkan orang kaya dan penguasa serta pulang-pergi menghadap dan mengambil hati mereka. Berlomba-lomba dengan kecantikan kuda dan lain kendaraan serta pakaian yang terlarang. Suka menghina orang lain dengan keangkuhan dan kesombongan, turut campur barang yang tak perlu, banyak bicara, hilang rasa-takut, hilang gemetar dan belas-kasiban di dalam hati, dikuasai sifat lalai padanya. Sehingga diantara mereka yang mengerjakan shalat, tak tahu lagi tentang shalatnya, bacaannya dan dengan siapa dia sedang bermunajat.
Dia tidak merasa khusyu' dalam hatinya, padahal umumya telah dihabiskannya mempelajari ilmu pengetahuanyang dapat menolongkannya dalam perdebatan, ilmu mana tak ada gunanya di akhirat. Seumpama pengetahuan membaguskan susunan kata, dengan sajak, dengan menghafal kata-kata yang ganjil dan lain-lain sebagainya yang tak terhitung banyaknya.
Orang-orang yang suka berdebat itu, berlebih-kurang tingkat dari sifat-sifat tersebut. Bermacam-macam tingkat dan derajatnya. Meskipun yang terkuat beragama dan terpintar diantara mereka, tidak juga terlepas dari keseluruhan unsur-unsur budi-pekerti. Hanya usahanya ada untuk menyembunyikannya atau berjuang menjauhkan diri dari padanya.
Dan ketahuilah bahwa budi pekerti yang rendah tadi, melekat juga pada orang yang bekerja dalam lapangan memberi nasehat dan pelajaran apabila tujuannya mencari kerelaan orang, menegakkan kemegahan, memperoleh kekayaan dan kemuliaan.
Melekat juga pada orang yang bekerja dalam lapangan pengetahuan madzhab dan fatwa-fatwa, apabila tujuannya ingin menjadi kadli, menjadi penguasa harta wakaf dan terkemuka dari teman.
Pendek kata, kerendahan budi itu menimpa kepada tiap-tiap orang yang menuntut ilmu bukan karena mengharap pahala daripada

185

Allah Ta'ala di akhirat. Maka ilmu itu tidak saja menyia-nyiakan orang yang berilmu itu, bahkan juga membinasakannya atau menghidupkannya sepanjang zaman.
Karena itu, bersabda Nabi saw. : (Asyaddun naasi 'ad,zaaban yaumal qiyaamati 'aalimun laa yam*, 'uhullaahu bi'ilmihi).
Artinya : "Manusia yang sangat menderita azab pada hart qiamat, ialah orang yang berilmu yang tiada bermanfa'at dengan ilmunya".
Maka ilmu itu telah memberi melarat kepada yang berilmu itu sendiri, di samping tidak ada gunanya. Mudah-mudahan kiranya terlepaslah dari keadaan yang tersebut dan dapatlah orang yang berilmu itu, memperoleh manfa'at dengan ilmu pengetahuannya!.
Sesungguhnya, bahaya ilmu itu besar. Orang yang mencari ilmu, adalah ibarat orang yang mencari kekayaan yang abadi dan kesenangan yang tidak kunjung hilang. Maka tak terlepaslah ia dari kekayaan atau kebinasaan, seperti orang yang mencari kekayaan duniawi. Kalau kebetulan tidak diperolehnya harta, jangan diharap dia terpelihara dari kehinaan, bahkan —tidak mustahil—lebih buruk dari itu lagi.
Jika anda mengatakan, bahwa ada gunanya diberi kesempatan mengadakan perdebatan. Iaitu membawa manusia suka menuntut ilmu. Karena kalaulah bukan karena cinta menjadi kepala, maka ilmu itu telah terbenam.
Benar perkataan anda itu dari satu segi. Tetapi faedahnya tidak ada. Anak kecilpun tidak suka pergi ke sekolah bila tidak dijanjikan bermain bola, bermain anggar dan bermain mengadu pipit. Keadaan yang demikian, tidaklah menunjukkan bahwa kesukaan yang seper¬ti itu, kesukaan yang terpuji. Dan kalaulah tidak karena suka men¬jadi kepala, lalu ilmu pengetahuan itu terbenam. Itupun tidak menunjukkan bahwa mencari kedudukan kepala itu dapat melepaskan diri dari kebinasaan. Tetapi termasuklah diantara orang yang diterangkarl Nabi saw. dengan sabdanya

186

(Innallaaha layuayyidu haadzad diina biaqwaamin laa khalaaqa lahum).
Artinya : "Sesungguhnya Allah akan menguatkan. agama ini dengan kaum
(orang-orang) yang tak berbudi".
Dan sabdanya pada hadits yang lain : (Innallaaha layuayyidu haadzad diina birrajulil faajiri).
Artinya : "Sesungguhnya Allah akan menguatkan agama ini dengan orang
Yang dhalim".
Orang yang mencari kedudukan kepala bagi dirinya sendiri adalah binasa. Kadang-kadang ia dapat memperbuat perbaikan bagi orang lain, kalau ia mengajak kepada meninggalkan dunia. Iaitu orang yang dhahirnya sebagai seorang ulama salaf (ulama terdahulu), tetapi bathinnya, ia menyembunyikan tujuannya mencari kemegahan.
Orang yang seperti itu, adalah seumpama lilin yang membakar diri¬nya sendiri dan menerangi orang lain. Kebaikan yang diperoleh orang lain, adalah terletak dalam kebinasaannya. Maka apabila orang yang berilmu itu memanggil manusia untuk mencari dunia, adalah seumpama api pembakar, yang membakar dirinya sendiri dan lainnya.
Dari itu, maka ulama ada tiga, adakalanya membinasakan diri sen¬diri dan orang lain, iaitu mereka yang berterusterang mencari du¬nia dan memusatkan seluruh perhatiannya kepada dunia. Adakala¬nya membahagiakan dirinya sendiri dan orang lain, iaitu mereka yang memanggil manusia ke jalan Allah, dhahir dan bathin. Dan adakalanya membinasakan dirinya dan membahagiakan orang lain, iaitu orang yang memanggil manusia ke jalan akhirat, tetapi dia

187

sendiri menolak dunia pada dhahrnya, sedang pada bathinnya tujuan mempengaruhi orang banyak dan menegakkan kemegahain diri.
Maka lihatlah! Dalam bahagian manakah anda berada dan orang yang menjadi tanggunganmu?
Janganlah anda menyangka bahwa Allah Ta'ala menerima ilmu dan amal dari orang yang tak ikhlas kepadaNya. Akan diterangkan kepadamu nanti pada Kitab Ria dan dalam seluruh Bahagian Yang Membinasakan. Sehingga segala keragu-raguan hilang dari hati nuranimu, fnsya Allah!.

188

BAB KELIMA
Tentang Adab Kesopanan Pelajar dan Pengajar.
Adapun pelajar, maka adab kesopanan dan tugasnya yang dhahir jtu adalah banyak. Tetapi perinciannya adalah tersusun dalam sepuluh rumpun kata-kata.
Tugas pertama : mendahulukan kesucian bathin dari kerendahan bucli dan sifat-sifat tercela. Karena ilmu pengetahuan itu adalah kebaktian hati, shalat bathin dan pendekatan jiwa kepada Allah Ta'ala. Sebagaimana tidak sah shalat yang menjadi tugas anggota dhahir, kecuali dengan mensucikan anggota dhahir itu dari segala hadatsdan najis,maka begitu pulalah, tidak sah kebaktian (ibadah) bathin dan kemakmuran hati dengan ilmu pengetahuan, kecuali sesudah sucinya ilmu itu dari kekotoran budi dan kenajisan sifat. Bersabda Nabi saw. : (Buniyaddiinu 'alannadhaafah).
Artinya : "Ditegakkan agama atas kebersihan".
Vaitu dhahir dan bathin. Berfirman Allah Ta'ala : (Innamal musyrikuuna najasun).
Artinya : "Sesungguhnya orang musyrik itu najis". (S. Al-Baraah, ayat 28).
Kirman Tuhan itu adalah memberitahukan kepada akal pikiran kita, bahwa kesucian dan kenajisan, tidaklah ditujukan kepada anggota dhahir yang dapat dikenal dengan pancaindera. Orang

189

musyrik itu kadang-kadang kainnya beisih, badannya dibasuh, tetapi dirinya najis. Artinya : bathinnya berlumuran dengan kotoran Najis : adalah diartikan dengan sesuatu yang tidak suka didekati dan diminta menjauhkan diri dari padanya. Kenajisan sifat bathin adalah lebih penting dijauhkan. Karena dengan kekotorannya sekarang, membawa kepada kebinasaan pada masa yang akan datang
Dari itu, Nabi saw. bersabda : (Laa tadkhulul malaaikatu baitan fiihi kalbun).
Artinya . "Tidak masuh malaikat ke rumah yang didalamnya ada anjing".
Hati itu adalah rumah, iaitu tempat malaikat, tempat turun pernbawaan dan tempat ketetapan dari malaikat.
Sifat-sifat yang rendah itu seumpama marah, hawa nafsu, dengki, busuk hati, takabur, 'ujub dan sebagainya adalah anjing-anjing yang galak. Maka bagaimanakah malaikat itu masuk ke dalam hati yang sudah penuh dengan anjing-anjing?
Sinar ilmu pengetahuan, tidaklah dicurahkan oleh Allah Ta'ala ke
dalam hati, selain dengan perantaraan malaikat : WaMaa kaana libasyarin an yukallimahullaahu illaa wahyan au min waraa-i hijaabin au yursila rasuulan fayuuhiya bi-idznihii maa ya-syaa').
Artinya : "Tidak ada bagi manusia berkata-kata dengan Allah, selain dengan wahyu atau di belakang hijab atau dengan mengirimkan rasul, lalu apa yang dikehendakiNya dengan keizinanNya. ". (S. Asy-Syura, ayat 51)

190

Demikianlah kiranya, tidak dikirimkan Allah rakhmat dari ilmu pengetahuan itu kepada hati. Hanya malaikatlah yang mengurus, mewakili membawa rakhmat itu. Para malaikat itu qudus suci, bersih dari segala sifat yang tercela. Tak ada perhatian mereka selain liepada yang baik. Tak ada urusan mereka dengan segala perbendaharaan rakhmat Allah padanya, selain dengan yang baik suci.
Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "rumah" dalam hadits yang diatas tadi, iaitu hati dan dengan "anjing" iaitu marah dan sifat-sifat tercela yang lain. Tetapi aku mengatakan bahwa itu adalah peringatan kepada hati dan suatu perbedaan antara kata-kata dhahir yang menunjukkan kepada bathin dan per¬ingatan kepada bathin dengan menyebutkan kata-kata dhahir serta tetap pada kedhahirannya. Golongan ahli kebathinan mengadakan perbedaan dengan pengertian yang halus tadi.
Maka inilah jalan tamsil ibarat, jalan yang ditempuh oleh para 'alim ulama dan orang baik-baik. Karena pengertian dari tamsil ibarat (i'tibar) iaitu mengambil ibarat dengan apa yang diterangkan kepada orang lain, tidaklah untuk orang lain itu saja. Seumpama seorang yang berpikiran waras, melihat bahaya yang menimpa orang lain, maka menjadi tamsil ibaratlah baginya, sebagai suatu peringa¬tan bahwa dia pun mungkin pula ditimpakan bahaya tersebut.
Dunia ini adalah selalu berputar laksana roda pedati. Maka meng¬ambil ibarat dari orang lain untuk diri sendiri dan dari diri sendiri kepada asalnya dunia ini, adalah suatu tamsil ibarat yang terpuji.
Maka anda ambil jugalah menjadi ibarat dari rumah — iaitu pembangunan dari manusia — kepada hati, iaitu sesuatu rumah yang dibangun oleh Tuhan dan dari anjing yang dicela karena sifatnya bukan karena bentuknya — iaitu padanya terdapat sifat kebuasan dan kenajisan — kepada jiwa keanjingan, iaitu sifat kebuasan. Ketahuilah bahwa hati yang dipenuhi dengan kemarahan, loba ke¬pada dunia dan bersifat anjing mencari dunia dengan rakus, dengan mengoyak-ngoyak kepentingan orang lain adalah anjing dalam arti dan hati dalam bentuk. Orang yang bermata hati memperhatikan arti, tidak bentuk.
Bentuk dalam dunia ini mengalahkan arti. Dan arti, tersembunyi dalam bentuk. Di akhirat bentuk itu mengkuti arti dan artilah yang menang. Dari itu, masirig-masing orang dibangkitkan dalam bentuknya yang ma'nawi (menurut pengertian dari bentuk itu).

191

Menurut hadits : "Orang yang mengoyak-ngoyakkan kehormatan orang lain, dibangkitkan sebagai anjing yang galak. Orang yang loba kepada harta-benda orang lain, dibangkitkan sebagai serigala yang ganas. Orang yang menyombong terhadap orang lain, dibangkitkan dalam bentuk harimau. Dan orang yang mencari jadi kepala, dibangkitkan dalam bentuk singa".
Banyaklah hadits berkenan dengan hal di atas dan menjadi tamsil ibarat kepada orang-orang yang mempunyai mata hati dan maia kepala.
Jikalau anda mengatakan bahwa banyaklah pelajar yang rendah budi, memperoleh ilmu pengetahuan, maka tahulah anda kiranya bahwa alangkah jauhnya ilmu itu dari ilmu yang sebenarnya, yang berguna di akhirat. yang membawa kebahagiaan.
Yang pertama sekali dari ilmu itu, nyata kepadanya bahwa ma'siat adalah racun yang membunuh, yang membinasakan. Adakah anda melihat orang mengambil racun dengan mengetahui bahwa itu racun yang membunuhkan?
Yang anda dengar dari orang itu ialah perkataan yang diucapkannya dengan lidahnya dalam satu bentuk dan diulang-ulanginya de¬ngan hatinya dalam bentuk yang lain. Yang demikian, bukanlah ilmu namanya.
Berkata Ibnu Mas'ud ra.: "Tidaklah ilmu dengan banyak ceritera, tetapi ilmu adalah nur Tuhan yang ditempatkan didalam dada". Berkata setengah mereka: "Sesungguhnya ilmu itu takut (khasyyah) kepada Allah " karena firmanNya: (Innamaa yakhsyallaaha min ibaadihil 'ulama).
Artinya : "Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari para hambaNya ialah 'alim ulama (orang yang berilmu) ". (Fathir ayat 28).
Dengan firman itu, seakan-akan Allah menunjukkan kepada faedah ilmu yang lebih khas. Dari itu berkata sebahagian ulama muhaqqiqin, bahwa arti perkataan mereka : "Kami pelajari ilmu bukan karena

192

Allah, maka seganlah ilmu itu selain karena Allah", bahwa ilmu itu segan dan tak mau kepada kami. Maka tak terbukalah hakikatnya kepada kami. Hanya yang ada bagi kami, ialah ceriteranya dan kata-katanya saja.
Kalau anda mengatakan bahwa saya melihat kebanyakan ulama fuqaha' muhaqqiqin, yang terkemuka dalam ilmu furu' dan ushul, terhitung dari golongan tokoh-tokoh besar, adalah budi pekertinya tercela dan tidak berusaha membersihkan diri dari padanya, maka jawabnya : bila anda mengetahui tingkat-tingkat ilmu penge¬tahuan dan mengetahui pula ilmu akhirat, niscaya jelaslah bagi anda bahwa apa yang dikerjakan mereka itu, sedikitlah gunanya dari segi ilmu pengetahuan. Kegunaannya baru ada dari segi amalan karena Allah Ta'ala, apabila tujuannya mendekatkan diri kepadaNya. Untuk itu sudah disinggung dahulu dan nanti akan dijelaskan lagi, dengan lebih tegas dan terang insya Allah.
Tugas kedua : seorang pelajar itu hendaklah mengurangkan hubungannya dengan urusan duniawi, menjauhkan diri dari kaum keluarga dan kampung halaman. Sebab segala hubungan itu mempengaruhi dan memalingkan hati kepada yang lain.
(Maa ja'alallaahu lirajulin min qalbaini fii jaufih).
Artinya : "Allah tidak menjadikan bagi seorang manusia dua hati dalam rongga tubuhnya". (S. Al-Ahzab, ayat 4). Apabila pikiran itu telah terbagi maka kuranglah kesanggupannya mengetahui hakikat-hakikat yang mendalam dari ilmu pengetahuan. Dari itu dikatakan : ilmu itu tidak menyerahkan kepadamu sebagaian dari padanya sebelum kamu m'enyerahkan kepadanya seluruh jiwa ragamu. Apabila engkau sudah menyerahkan seluruh jiwa raga engkau, maka penyerahan ilmu yang sebahagiaan itu masih juga dalam bahaya.
Pikiran yang terbagi-bagi kepada hal ikhwal yang bermacam-macam itu, adalah seumpama sebuah selokan yang mengalir airnya kebeberapa jurusan. Maka sebahagian airnya ditelan bumi dan sehahagian lagi diisap udara, sehingga yang tinggal tidak terkumpul lagi dan tidak mencukupi untuk tanam-tanaman.

193

Tugas ketiga : seorang pelajar itu jangan menyombong dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya. Tetapi menyerah seluruhnya kepada guru dengan keyakinan kepada segala nasehatnya, sebagai mana seorang sakit yang bodoh yakin kepada dokter yang ahli berpengalaman.
Seharusnyalah seorang pelajar itu, tunduk kepada gurunya, mengharap pahala dan kemuliaan dengan berkhidmat kepadanya. Berkata Asy-Sya'bi : "Pada suatu hari Zaid bin Tsabit bershalat janazah Sesudah shalat itu selesai, lalu aku dekatkan baghalnya (nama hewan, lebih kecil dari kuda) untuk dikendarainya. Maka datang Ibnu Abbas membawa kendaraannya kepada Zaid untuk dikendarainya. Maka berkata Zaid: "tak usah wahai anak paman Rasulullah saw.
Berkata Ibnu Abbas : "Beginilah kami disuruh berbuat terhadap* para 'alim ulama dan orang-orang besar".
Lalu Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibnu Abbas seraya berkata: "Beginilah kami disuruh berbuat terhadap keluarga Nabi kami Muhammad saw.". Bersabda Nabi saw. : (Laisa min akhlaaqil mu'miiut tamalluqu illaa Si thalabil ilmi).
Artinya : "Tidaklah sebahagian dari budi pekerti seorang mu'min merendahkan diri, selain pada menuntut ilmu.
Dari itu tidaklah layak bagi seorang pelajar menyombong terhadap gurunya. Termasuk sebahagian dari pada menyombong terhadap guru itu, ialah tidak mau belajar kecuali pada guru yang terkenal benar keahliannya. Ini adalah tanda kebodohan. Sebab ilmu itu jalan kelepasan dan kebahagiaan. Orang yang mencari jalan untuk melepaskan diri dari terkaman binatang buas, tentu tidak akan membeda-bedakan. Apakah jalan itu ditunjuki oleh seorang yang termashur atau oleh seorang yang dungu. Terkaman kebuasan api neraka, kepada orang yang jahil, adalah lebih hebat dari terkaman seluruh binatang buas.


194

llmu pengetahuan itu adalah barang yang hilang dari tangan seorang mu'min, yang harus dipungutnya di mana saja diperolehnya. Dan harus diucapkannya terima kasih kepada siapa saja yang membawanya kepadanya.
dari itu, berkata pantun :
"Pengetahuan itu adalah perjuangan,
Bagi pemuda yang bercita-cita tinggi.
Seumpama banjir itu adalah perjuangan,
bagi suatu tempat yang tinggi...... ".

Ilmu pengetahuan tidak tercapai selain dengan merendahkan diri dan penuh perhatian. Berfirman Allah Ta'ala :

194

(lima fii dzaalika ladzikraa liman kaana lahuu qalbun au alqas sam-'a wahuwa syahiid).
Artinya : "Sesungguhnya hal yang demikian itu menjadi pengajaran bagi siapa yang mempunyai hati (pengertian) atau mempergunakan pendengarannya dengan bcrhati-hati". (S. Qaf, ayat 37).
Pengertian "mempunyai hati" iaitu hati itu dapat menerima pemahaman bagi ilmu pengetahuan. Tak ada tenaga yang menolong ke¬pada pemahaman, selain dengan mempergunakan pendengaran dengan berhati-hati dan sepenuh jiwa. Supaya dapat menangkap seluruh yang diberikan guru dengan penuh perhatian, merendahkan diri, syukur, gembira dan' menerirria nikmat.
Hendaklah pelajar itu bersikap kepada gurunya seumpama tanah kering yang disirami hujan lebat. Maka meresaplah ke seluruh bahagiannya dan meratalah keseluruhannya air hujan itu.
Manakala guru itu menunjukkan jalan belajar kepadanya, hendaklah dita'ati dan ditinggankan pendapat sendiri. Karena meskipun guru itu bersalah, tetapi lebih berguna baginya dari kebenarannya sendiri. Sebab, pengalaman mengajari yang halus-halus, yang ganjil didengar tetapi besar faedahnya.

195

Berapa banyak orang sakit yang dipanasi, diobati dokter menambah panas pada sewaktu-waktu. Supaya kekuatannya bertambah sampai batas yang sanggup menahan pukulan obat. Maka heranlah orang yang tak berpengalaman tentang itu.
Telah diperingatkan oleh Allah Ta'ala dengan kisah Nabi Khaidir as. dan Nabi Musa as. ; Berkata Nabi Khaidir as. :
(Innaka lan tas-tathii'a ma'iya shabran wa kaifa tashbiru 'alaa maa lam tuhith bihii khubraa).
Artinya : "Engkau (Musa) tak sanggup bersabar sertaku. Bagaimana engkau bersabar dalam persoalan yang belum berpengalaman didalamnya". (S. Al-Kahf, ayat 67 - 68).
Lalu Nabi Khaidir as. membuat syarat iaitu Nabi Musa as. harus diam dan menerima saja.
Berkata Nabi Khaidir as. : (Fainittaba'- tanii falaa tasalnii 'an-syai-in hattaa uhditsa laka minhu dzikraa).
Artinya : "Jika engkau mengikuti aku maka janganlah bertanya tentang sesu-atu, sehingga aku sendiri yang akan menceriterakan kepadamu nanti"- (S. Al-Kahf, ayat 70).
Rupanya Nabi Musa as. tidak sabar dan selalu bertanya, sehingga menyebabkan berpisah diantara keduanya.
Pendek kata, tiap-tiap pelajar yang masih berpegang teguh kepada pendapatnya sendiri dan pilihannya sendiri, di luar pilihan gurunya, maka hukumlah pelajar itu dengan keteledoran dan kerugian.

196

jika anda mengatakan, bukankah Allah Ta'ala telah berfirman
Artinya : "Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu".
/fas 'aluu ahladz-dzikri in kuntum laa ta'lamuun).
amu tidak tah (S. An-Nahl, ayat 43). jadi, bertanya itu disuruh.
Maka ketahuilah, bahwa memang demikian, tetapi mengenai per¬soalan yang diizinkan guru, bertanya kepadanya. Bertanya tentang soal yang belum sampai tingkatanmu memahaminya,- adalah dicela, karena itulah, maka Khaidir melarang Musa bertanya.
Dari itu, tinggalkanlah bertanya sebelum waktunya! Guru lebih tahu tentang keahlianmu dan kapan sesuatu ilmu harus diajarkan kepadamu. Sebelum waktu itu datang dalam tingkat manapun juga, maka belumlah datang waktunya untuk bertanya.
Berkata Ali ra. : "Hak dari seorang yang berilmu, ialah jangan eng¬kau banyak bertanya kepadanya! Jangan engkau paksakan dia menjawab, jangan engkau minta, bila dia malas. Jangan engkau pegang kainnya, bila dia bangun, jangan engkau siarkan rahasianya! Jangan engkau caci orang lain dihadapannya, jangan engkau tuntut keteledorannya! Jika dia silap terimalah kema'afannya! Haruslah engkau memuliakan dan membesarkannya karena Allah, selama dia menjaga perintah Allah. Jangan engkau duduk dihadapannya! Jika dia memerlukan sesuatu, maka ajaklah orang banyak menyelenggarakannya !"
Tugas keempat : seorang pelajar pada tingkat permulaan hendaklah menjaga diri dari mendengar pertentangan orang tentang ilmu pengetahuan. Sama saja yang dipelajarinya itu ilmu keduniaan atau ilmu keakhiratan. Karena, yang demikian itu meragukan pikirannya, mengherankan hatinya, melemahkan pendapatnya dan membawanya kepada berputus asa dari mengetahui dan mendalaminya. Tetapi yang wajar, ialah meneliti pertama kalinya suatu cara saja yang terpuji dan disukai gurunya. Sesudah itu, barulah boleh men¬dengar madzhab-madzhab dan keserupaan yang ada diantaranya.

197

Bila guru itu tidak bertindak bebas, dengan memilih suatu pendapat tertentu, tetapi kebiasaannya hanya mengambil madzhab-madzhab dan apa yang tersebut dalam madzhab-madzhab itu, dalam hal ini hendaklah waspada! Sebab orang yang semacam itu lebih banyak menyesatkan dari pada memberikan petunjuk.
Maka tidaklah layak orang buta memimpin dan menunjuk jalan kepada sesama buta. Orang yang begini keadaannya, dapat dihitung dalam keadaan buta dan bodoh.
Mencegah orang yang baru belajar dari pada mencampuri persoalan-persoalan yang meragukan, samalah halnya dengan mencegah orang yang baru saja memeluk Islam, dari pada bergaul dengan orang-orang kafir. Menarik orang yang "kuat" kepada membanding' dalam masalah-masalah khilafiah, samalah halnya dengan mengajak orang yang "kuat" untuk bergaul dengan orang kafir, ;
Dari itu, dilarang orang pengecut menyerbu ke garis depan. Dan sebaliknya orang yang berani, disunatkan maju terus.
Termasuk dalam bahagian melengahkan yang penting ini, ialah" sangkaan sebahagian orang yang "lemah" bahwa boleh mengikuti orang-orang yang "kuat" mengenai persoalan-persoalan yang mudah, yang diambil dari pada mereka. Ia tidak tahu bahwa tugas orang yang "'kuat", berbeda dengan tugas orang yang "lemah ".
Mengenai itu, berkata sebahagian ulama : "Barang siapa memperhatikan aku pada tingkat permulaan (al-bidayah), maka jadilah dia orang benar (shiddiq). Dan barang siapa memperhatikan aku pada tingkat penghabisan (an-nihayah), maka jadilah dia orang zindiq".
Karena tingkat penghabisan itu, mengembalikan semua amalan ke¬pada bathin dan segala anggota badan tetap tidak bergerak, selain dari amalan fardlu yang ditentukan. Maka tampaklah bagi orang yang melihat bahwa tingkat penghabisan itu suatu perbuatan batil, malas dan lengah. Amat jauhlah dari itu!
Maka yang demikian itu adalah pengikatan hati dalam pandangan kesaksian dan kehadliran hati kepada Allah Ta'ala dan membiasakan berdeikir yang terus-menerus, yang menjadi amalan utama. Dan penyerupaan orang lemah dengan orang kuat tentang sesuatu yang kelihatan dari dhahimya itu suatu kesalahan, adalah menyamai halnya dengan alasan orang yang. menjatuhkan sedikit najis ke dalam; kendi air. Dia mengemukakan alasan bahwa berlipat ganda lebih banyak dari najis ini kadang-kadang dilemparkan ke dalam laut

198

Dan laut itu lebih besar dari pada kendi. Maka apa yang boleh bagi laut, tentulah bagi kendi lebih boieh lagi.
Orang yang patut dikasihani tadi lupa, bahwa laut dengan tenaganya dapat merobahkan najis kepada air. Lalu dzat najis bertukar kepada sifat air. Sedang najis yang sedikit itu mengalahkan kendi dan merobahkan kendi kepada sifat najis.
Dan karena seperti inilah, maka dibolehkan bagi Nabi saw. apa yang tidak dibolehkan bagi orang lain, sehingga bagi Nabi saw. dibolehkan mengawini sembilan wanita. Karena baginya kekuatan keadilan untuk para isterinya, melebihi dari orang lain, meskipun isterinya itu banyak.
Adapun orang lain tidak sanggup menjaga walaupun sebahagian dari keadilan. Tetapi yang terjadi, ialah kemelaratan diantara isteri-isterinya, yang mengakibatkan kepadanya. Sehingga ia terjerumus ke dalam perbuatan ma'siat dalam mencari kerelaan para isterinya. Maka tidaklah akan berdaya, orang yang membandingkan para malaikat dengan tukang besi.
Tugas kclima : seorang pelajar itu tidak meninggalkan suatu mata peiajaranpun dari ilmu pengetahuan yang terpuji dan tidak suatu macampun dari berbagai macamnya, selain dengan pandangan di mana ia memandang kepada maksud dan tujuan dari masing-masing ilmu itu. Kemudian jika ia berumur panjang, maka dipelajarinya secara mendalam. Kalau tidak, maka diambilnya yang lebih penting serta disempumakan dan dikesampingkannya yang lain.
Ilmu pengetahuan itu bantu-membantu. Sebahagian daripadanya terikat dengan sebahagian yang lain. Orang yang mempelajari ilmu terus memperoleh faedah daripadanya, iaitu terlepas dari musuh ilmu itu iaitu kebodohan. Karena manusia itu adalah musuh dari kebodohannya.
Berfirman Allah Ta'ala : (Wa idzlam yahtaduu bihii fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiim). Artinya :
"Ketika mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka nanti akan berkata: Ini adalah kepalsuan yang lama". (S. Al-Ahqaf, ayat 11).

199

Berkata seorang penyair :

"Orang yang memperoleh penyakit,
rasa pahit pada mulutnya,
maka akan merasa pahit,
air pancuran yang lezat cita rasanya.

Ilmu pengetahuan dengan segala tingkatannya, adakalanya menjadi jalan, yang membawa seorang manusia kepada Allah Ta'ala atau menolong membawa ke jalan tersebut. Pengetahuan itu mempunyai tingkat-tingkat yang teratur, dekat dan jauhnya dengan maksud. Orang yang menegakkan ilmu pengetahuan itu adalah penjaga-penjaga seperti penjaga rumah penyantun dan benteng. Masing-masing mempunyai tingkatan. Dan menurut tingkatan itulah, dia memperoleh pahala di akhirat, apabila tujuannya karena Allah Ta'ala.
Tugas keenam : seorang pelajar itu tidak memasuki sesuatu bidang dalam ilmu pengetahuan dengan serentak. Tetapi memelihara tertib dan memulainya dengan yang lebih penting.
Apabila umur itu biasanya tidak berkesempatan mempelajari segala ilmu pengetahuan, maka yang lebih utama diambil, ialah yang lebih baik dari segala pengetahuan itu dan dicukupkan dengan sekedarnya. Lalu dikumpulkan seluruh kekuatan dari pengetahuan tadi untuk menyempurnakan suatu pengetahuan yang termulia dari se¬gala macam ilmu pengetahuan. Iaitu ilmu akhirat. Yang saya maksudkan dengan ilmu akhirat, iaitu kedua mecamnya : ilmu mu'amalah dan ilmu mukasyafah.
Tujuan dari ilmu mu'amalah ialah keilmu mukasyafah. Dan tujuan dari . ilmu mukasyafah ialah mengenal Allah Ta'ala. Tidaklah saya maksudkan dengan itu akan 'aqidah (i'tikad) yang dianut orang awwam dengan jalan pusaka atau pelajaran. Atau ca-ra penyusunan kata-kata dan perdebatan untuk mengokohkan ilmu kalam dari serangan lawan seperti tujuan ahli ilmu kalam. Tetapi yang saya maksudkan, ialah suatu macam keyakinan iaitu hasil dari nur yang dicurahkan Tuhan ke dalam hati hambaNya, yang sudah mensucikan kebathinannya dari segala kotoran dengan muja-hadah (berjihad melawan hawa nafsu). Sehingga sampailah dia ke tingkat keimanan Saidina Abu Bakar ra., yang kalau ditimbang de¬ngan keimanan penduduk alam seluruhnya, maka lebih beratlah , keimanan Abu Bakar itu sebagaimana telah diakui oleh Nabi saw, sendiri.

200

Maka tak adalah artinya padaku, apa yang dii'tikadkan oleh orang awwam dan yang disusun oleh ahli ilmu kalam, yang tidak melebihi dari orang awwam itu, selain dari tehnik katakata. Dan karenanya, lalu dinamakan ilmu kata-kata (ilmu kalam), suatu pengeta¬huan yang tidak disanggupi Umar, Usman, Ali dan lain-lain shahabat di mana Saidina Abu Bakar ra. memperoleh kelebihan dari mereka ini dengan suatu rahasia (sirr) yang terpendam di dalam dadanya.
Dan heran benar, orang-orang yang mendengar perkataan tersebut dari Nabi kita saw. lalu memandang leceh, dengan mendakwakan bahwa itu barang batil, bikinan kaum tasawwuf dan tidak dapat dipahami.
Maka haruslah anda berhati-hati menghadapinya. Kalau tidak, nanti anda kehilangan modal. Dan waspadalah, untuk mengetahui rahasia yang terbongkar dari simpanan kaum fuqaha' dan ulama kalam! Anda tidak akan mendapat petunjuk untuk itu, selain dengan bersungguh-sungguh mempelajarinya.
Pendek kata, ilmu yang termulia dan tujuannya yang paling utama ialah mengenal Allah Ta'ala. Itulah lautan yang dalamnya tidak dapat diduga. Tingkat yang tertinggi untuk itu dari manusia ialah tingkat para Nabi, kemudian para wall, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka.
Menurut riwayat, pernah orang bermimpi melihat dua orang ahli hikmah dalam sebuah masjid. Dalam tangan seorang dari keduanya adalah sehelai kertas yang bertulisan : "Jika anda telah berbuat ba¬ik segala sesuatu maka janganlah menyangka telah berbuat baik pula tentang sesuatu, sehingga anda telah mengenal Allah Ta'ala dan mengetahui bahwa DIA-lah yang menyebabkan segala sebab dan menjadikan segala sesuatu".
Dan dalam tangan yang seorang lagi bertulisan : "Sebelum saya mengenal Allah, saya minum dan saya haus. Ketika saya sudah mengenalNya, maka hilanglah kehausan saya tanpa minum".
Tugas ketujuh : bahwa tidak mecempelungkan diri ke dalam sesuatu bidang ilmu pengetahuan, sebelum menyempurnakan bidang yang sebelumnya. Karena ilmu pengetahuan itu tersusun dengan tertib. Sebahagiannya menjadi jalan menuju kebahagian yang lain. Men¬dapat petunjuklah kiranya orang yang dapat memelihara tata-tertib dan susunan itu!

201

Berfirman Allah Ta'ala:
(Alladziina aatainaahumul kitaaba yatluunahuu haqqa tilaawatih).
Artinya: "Mereka yang kami datangkan Kitab kepadanya, dibacanya dengan sebaik-baiknya". (S. Al-Baqarah, ayat 121).
Artinya tidak dilampauinya sesuatu bidang, sebelum dikuasainya benar-benar, baik dari segi ilmiahnya atau segi amaliahnya. Dan tujuannya dalam segala ilmu yang ditempuhnya, ialah mendaki kepada yang lebih tinggi. Dan sewajarnyalah ia tidak menghukum dengan batil terhadap sesuatu ilmu, karena timbul perselisihan paham diantara pemuka-pemukanya. Atau menghukum dengan kesalahan seorang atau beberapa orang di antara mereka. Atau menghukum dengan harus menantangnya, karena berbeda antara perbuatannya dan perkataannya.
Anda akan melihat suatu golongan, yang tidak mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan akal-pikiran dan pemahaman, disebabkan kata mereka persoalan itu kalau ada berpangkal, tentulah diketahui oleh pemuka-pemuka persoalan-persoalan itu sendiri.
Untuk menyingkap segala keraguan ini, sudah diutarakan dalam Kitab Mi'yaril-ilmi.
Anda akan melihat segolongan manusia yang berkeyakinan bahwa ilmu kedokteran itu batil, karena dilihatnya suatu kesalahan dari seorang dokter. Segolongan lagi, berkeyakinan bahwa ilmu nujum itu betul karena kebetulan kejadian itu sesuai dengan yang di-nujumkan. Segolongan lagi, berkeyakinan bahawa ilmu nujum itu tidak betul, karena kebetulan kejadian itu tidak sesuai dengan yang dinujumkan.
Sebenarnya, semuanya itu salah. Tetapi sewajarnyalah sesuatu itu diketahui pada dirinya. Sebab tidaklah tiap-tiap orang itu mengetahui betul seluruh ilmu pengetahuan. Dari itu berkata Ali ra.: "Engkau tidaklah mengetahui kebenaran dengan orang-orang. Tetapi ketahuilah kebenaran itu, barulah engkau akan mengetahui ahlinya"'

202

Tugas kedelapan: seorang pelajar itu hendaklah mengenal sebab untuk dapat mengetahui ilmu yang termulia. Yang demikian itu dikehendaki dua perkara:
1.Kemuliaan hasilnya.
2. Kepercayaan dan kekuatan dalilnya.
Hal itu seumpama ilmu agama dan ilmu kedokteran. Hasil dari yang satu itu hehidupan abadi dan dari yang lain itu kehidupan duniawi (hidup fana). Jadi, ilmu agamalah yang termulia.
Seumpama ilmu berhitung dan ilmu nujum. Maka ilmu berhitunglah yang lebih mulia karena kepercayaan dan kekuataan dalil-dalil-nya. Dan jika dibandingkan ilmu berhitung dengan ilmu kedokter¬an, maka ilmu kedokteranlah yang lebih mulia, dipandang kepada faedahnya. Dan ilmu berhitunglah yang lebih mulia, dipandang kepada dalil-dalilnya. Memperhatikan kepada faedahnya adalah lebih utama. Dari itu, ilmu kedokteranlah menjadi lebih mulia, meskipun bagian terbesar daripadanya didasarkan kepada kira-kiraan.
Dengan ini, jelaslah bahwa yang termulia ialah ilmu mengenai Allah 'Azza wa Jalla, mengenai malaikat-malaikatNya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasulNya dan ilmu mengenai jalan yang menyampaikan kepada yang demikian.
Waspadalah, bahwa kegemaran tidaklah ditumpahkan kepada yang lain dari ilmu-ilmu tadi dan bersungguh-sungguhlah mempelajari-nya!
Tugas kesembilan: bahwa tujuan pelajar sekarang ialah menghiasi kebathinannya dan mencantikkannya dengan sifat keutamaan. Dan nanti ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, mendaki untuk mendekati alam yang tinggi dari para malaikat dan orang-orang muqarrabin (orang-orang yang mendekatkan dirinya kepada Allah).
Dan tidaklah dimaksudkan dengan menuntut ilmu pengetahuan itu, untuk menjadi kepala, untuk memperoleh harta dan kemegahan, untuk melawan orang-orang bodoh dan untuk membanggakan diri dengan teman-teman.
Apabila yang tersebut di atas maksudnya, maka tak ragu lagi bahwa pelajar itu telah mendekati tujuannya, iaitu ilmu akhirat.
Dalam pada itu, tak layaklah memandang dengan pandangan kehinaan kepada ilmu pengetahuan yang lain, seperti ilmu fatwa, ilmu

203

nahwu dan bahasa yang ada hubungannya dengan Kitab Suci dan Sunnah Nabi dan sebagainya yang telah kami uraikan pada muqadimah dan pelengkap dari bermacam-macam ilmu pengetahuan yang termasuk dalam bahagian fardlu kifayah.
Janganlah anda berpikir tentang kesangatan pujian kami akan ilmu akhirat, bahwa kami melecehkan ilmu-ilmu yang lain. Tidak !
Orang-orang yang bertanggung jawab dalam lapangan ilmu pengetahuan, samalah halnya dengan orang-orang yang bertanggung jagwab di benteng-benteng pertahanan dan orang-orang yang ditugaskan di situ dan orang-orang yang berjuang berjihad fi sabilillah. Diantara mereka itu ada yang bertempur, ada yang bertahan, ada yang menyediakan minuman, ada yang menjaga kendaraan dan ada yang mengurus orang-orang yang memerlukan rawatan.
Tidak ada seorang pun diantara mereka yang tidak mendapat pahala. kalau tujuannya untuk meninggikan kalimah Allah, bukan untuk mengaut harta rampasan.
Maka demikian pula para 'alim ulama. Berfirman Allah Ta'ala : (Yarfa-'illaahul ladziina aamanuu minkum wal ladziina uutul 'ilma darajaat).
Artinya : "Ditinggikan Allah mereka yang benman diantara kamu dan mereka yang diberikan ilmu, dengan beberapa tingkat". (S. Al-Mujadalah, ayat 11). Dan berfirman Allah Ta'ala : (Hum darajaatun 'indallaah).
Artinya : "Mereka mcmperoleh beberapa tingkat pada Allah". (S. Ali'Imran, ayat 163).
Kelebihan itu relatif. Pandangan kita lebih rendah kepada penukar-penukar uang, (penukar uang antara uang satu negara dengan uangi

204

negara lain) bila dibandingkan dengan pandangan kita kepada raja-raja, tidaklah menunjukkan kepada hinanya penukar-penukar uang itu bila dibandingkan dengan tukang-tukang sapu. Maka Janganlah disangka bahwa apa diturunkan dari kedudukan yang tinggi, berarti sudah kehilangan pangkat. Tidak ! Sebab pangkat yang tertinggi ialah bagi para Nabi, kemudian bagi para Wali, kemudian bagi para ulama yang mendalam ilmunya,'kemudian bagi orang-orang shalih, dengan berlebih-berkurangnya derajat mereka itu.
Pendek kata, barang siapa berbuat amal seberat biji sawi dari keba-jikan, maka akan dilihatnya. Dan barang siapa berbuat amal seberat biji sawi dari kejahatan, maka akan dilihatnya. Barang siapa bertu-juan kepada Allah dengan ilmu pengetahuannya, jlmu pengetahuan apapun juga, niscaya bergunalah baginya dan sudah pasti akan meninggikan derajatnya.
Tufas kesepuluh : bahwa harus diketahuinya hubungan pengetahu¬an itu kepada tujuannya. Supaya pengetahuan yang tinggi dan dekat dengan jiwanya itu, membawa pengaruh kepada tujuannya yang masih jauh. Dan yang penting membawa pengaruh kepada yang tidak penting.
Yang penting artinya mengandung kepentingan untukmu sendiri. Dan tak ada yang penting bagimu selain dari urusan mengenai dunia dan akhirat.
Apabila tidak mungkin engkau mengumpulkan antara kelezatan duniawi dan kenikmatan ukhrawi, sebagaimana yang diterangkan Al-Quran dan disaksikan dari nur hatinurani, oleh apa yang berlaku dihadapan mata kepala, maka yang lebih penting adalah yang kekal abadi. Ketika itu, dunia menjadi tempat tinggal, badan menjadi kendaraan dan amal perbuatan menjadi jalan kepada tujuan. Dan tujuan itu tak lain dari berjumpa dengan Allah Ta'ala. Maka padanyalah seluruh kenikmatan, meskipun dalam alam ini tidak diketahui kadarnya selain oleh beberapa orang saja.
Ilmu pengetahuan itu bila dibanding kepada kebahagian berjumpa dengan Allah dan memandang kepada wajahNya Yang Mulia, yakni pandangan yang dicari dan dipahami oleh para Nabi dan tidak yang terlintas dalam pemahaman orang awwam dan ahli ilmu kalam, ada-lah tiga tingkat, yang dapat anda pahami dengan perbandingan dengan contoh. Iaitu adalah seorang budak yang menggantungkan kemerdekaannya dan kemungkinan mempunyai hak milik dengan mengerjakan ibadah hajji.

205

Dikatakan kepadanya: "Sekiranya engkau telah mengerjakan ibadah hajji dan telah engkau sempurnakan, maka jadilah merdeka dan mempunyai hak milik. Jika engkau telah bersiap dan memulai berjalan menuju ke tempat peribadatan hajji, lalu mendapat halangan diperjalanan, maka engkau memperoleh kemerdekaan. Dan terlepas dari perbudakan saja, tanpa memperoleh kebahagiaan hak milik. Maka bagi budak tersebut, ada tiga jenis perbuatan:
1. Menyediakan persiapan dengan membeli unta kendaraan, kendi air, perbekalan dan segala yang diperlukan dalam perjalanan."'
2. Berjalan dan meninggalkan kampung halaman menuju Ka'bah "" tempat demi tempat.
3. Mengerjakan segala amal perbuatan hajji, rukun demi rukun.
Maka sesudah selesai dan sesudah membuka pakaian ihram dan bertawaf wida', niscaya berhaklah ia mempunyai hak milik' dan kekuasaan penuh bagi dirinya. Dan baginya pada tiap-tiap kedudukan itu mempunyai tingkat, sejak dari awal persiapan sampai akhirnya. Sejak dari permulaan menjalani desa-desa sampai akhiinya. Dan sejak dari permulaan rukun hajji sampai akhimya.
Maka tidak samalah kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang sudah memulai mengerjakan rukun hajji, dengan kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang baru menyelesaikan segala persiapan perbekalan dan kendaraan. Dan tidak sama pula dengan kebahagia¬an yang diperoleh oleh orang yang sudah memulai berjalan menuju Tanah Suci ataupun yang telah mendekatinya.
Dari itu, maka ilmu pun tiga bahagian. Sebahagian berlaku semacam persiapan menyediakan perbekalan, kendaraan dan membeli unta. Ini adalah ilmu kedokteran, ilmu fiqih dan yang ada hubungannya dengan kemuslihatan tubuh di dunia ini. Sebahagian ber¬laku semacam menjalani desa-desa dan menghindarkan segala rintangan. Ini adalah mensucikan kebathinan dari segala kekotoran sifat dan mengatasi segala rintangan yang memuncak, yang tak sanggup orang-orang terdahulu dan terkemudian mengatasinya, selain orang-orang yang telah memperoleh taufiq Tuhan.
Maka inilah jalan yang dituju. Mempersiapkan pengetahuan untuk itu, samalah halnya dengan mempersiapkan pengetahuan tentang jalan-jalan mana dan rumah-rumah mana di jalan itu yang dicari. Maka sebagaimana mengetahui di mana letak rumah dan jalan-jalan di sesuatu kampung, tidak mencukupi bila tidak dikunjungi,

206

itu pulalah, tidak mencukupi mengetahui ilmu perbaikan budi pekerti, tanpa budi pekerti itu diperbaiki. Tetapi perbaikan tanpa ilmu pengetahuan, tidak mungkin. Bahagian yang ke tiga, berlaku dalam melakukan ibadah hajji dan rukun-rukunnya. Ini adalah mengetahui tentang Allah dan sifat-Nya, para malaikatNya, segala perbuatanNya dan seluruh apa yang telah kami terangkan waktu membicarakan ilmu "al-mukasyafah " dahulu.
Di sinilah letaknya kelepasan dan kemenangan dengan kebahagiaan. Kelepasan adalah hasil bagi tiap-tiap orang yang menuju ke jalan Allah, apabila maksudnya mencapai kebenaran, iaitu keselamatan.
Kemenangan dengan kebahagiaan, tidaklah diperoleh, selain orang-orang yang mengenal Allah Ta'ala. Iaitu: orang-orang muqarrabin, yang memperoleh nikmat di sisi Allah Ta'ala dengan kegembiraan, kepuasan dan taman kesenangan. Adapun orang-orang yang tidak memperoleh tingkat kesempurnaan, maka bagi mereka kelepasan dan keselamatan, seperti firman Allah Ta'ala: (Fa ammaa in kaana minal muqarrabiin fa rauhun wa raihaanun wajannatu na'iim wa ammaa in kaana min ashhaabil yamiin fasa-laamun laka min ashhaabil yamiin).
Artinya: "Jika dia termasuk orang-orang yang dekat (kepada Tuhan), (dia memperoleh) kegembiraan, kepuasan dan taman kesenangan. Dan jika dia termasuk kaumkanan, (kepadanya diberikan penghormat-an): Selamat (damai) untuk engkau, dari kaum kanan". (S. Al-Waqi'ah, ayat 88-89-90-91).
Setiap orang yang tidak menuju kepada maksud dan tidak bergerak untuk itu atau ada bergerak kearah itu tetapi bukan dengan mak¬sud mengikuti dan memperhambakan diri kepada Allah, hanya untuk suatu maksud yang cepat, maka termasuklah dia golongan kiri dan sesat. Penyambutari terhadap dia, ialah dengan air yang sangat panas dan pembakaran dalam neraka.

207

Ketahuilah, bahwa inilah keyakinan yang sebenarnya (haqqul-yaqinj pada para ulama yang mendalam pengetahuannya. Saya maksudkan : mereka itu mengetahuinya dengan mempersaksikan dari kebathinan. Penyaksian yang demikian adalah lebih kuat dan lebih terang dari penyaksian dengan mata kepala. Mereka itu telah meninggi, dari batas taqlid, karena pendengaran semata-mata.
Keadaan mereka samalah dengan keadaan orang yang mendengar ceritera, maka dibenarkannya. Kemudian ia menyaksikan, maka diyakininya. Dan keadaan orang lain, samalah dengan keadaan orang yang sebelumnya, dengan keyakinan dan keimanan yang baik. Tetapi tidak memperoleh nasib penyaksian (musyahadah) dan pandangan yang tembus.
Maka kebahagiaan adalah di belakang ilmu mukasyafah. Dan ilmu mukasyafah adalah di belakang ilmu mu'amalah, yang menjadi jalan menuju ke akhirat. Penyingkiran halangan-halangan dari sifat yang keji dan jalan menuju penghapusan sifat yang tercela, adalah di belakang ilmu pengetahuan tentang sifat-sifat itu. Ilmu pengeta-huan tentang cara mengobati dan cara pergi menuju ke sana, adalah di belakang ilmu keselamatan badan. Tolong-menolong memelihara sebab-sebab kesehatan dan keselamatan. badan adalah dengan per-satuan, bergotong-royong dan tolong-menolong, yang dapat menyampaikan kepada pengurusan pakaian, makanan dan tempat.
Yang tersebut itu mempunyai hubungan dengan pemerintah dan undang-undangnya dalam memimpin rakyat ke jalan keadilan dan politik dalam kawasan ahli hukum fiqih.
Adapun sebab-sebab kesehatan, maka adalah dalam tanggung jawab doktejr. Siapa yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu dua: ilmu mengenai tubuh manusia dan ilmu mengenai agama dan dii-syaratkannya dengan ilmu agama itu, kepada ilmu fiqih, adalah maksudnya dengan perkataan tersebut ilmu pengetahuan dzahir yang tersiar. Bukan ilmu bathin yang tinggi kedudukannya,
Jika anda bertanya, mengapa disamakan ilmu kedokteran dan ilmu fiqih dengan menyiapkan perbekalan dan kendaraan?
Maka ketahuilah, bahwa yang berjalan kepada Allah untuk mencapai dekatNya adalah hati, bukan badan. Tidaklah maksudku dengan hati itu daging yang bisa dilihat. Tetapi adalah suatu rahasia (sirr) dari rahasia Allah 'Azza wa Jalla, yang tidak diketahui oleh pancaindra. Suatu yang halus dari segala yang halus kepunyaan Allah.

208

sekali disebut dengan kata-kata "ruh", sekali dengan kata-kata "an-nafsul muthmainnah ". (jiwa yang tenteram).
Agama menyebutkannya dengan hati (al-qalb), karena hatilah kenderaan pertama bagi rahasia itu. Dan dengan perantaraan hatilah akan seluruh badan menjadi kenderaan dan alat kenderaan untuk tubuh halus itu. Dan menyingkap tutup dari sirr tersebut, adalah sebahagian dari ilmu mukasyafah. Payah diperoleh bahkan tidak mudah menerangkannya. Paling tinggi yang diperbolehkan, hanya dapat dikatakan, hati (al-qalb) itu suatu dzat (jauhar) yang amat bernilai,
suatu mutiara yang amat mulia. Lebih mulia dari segala benda yang dapat dilihat dengan mata. Dia itu, urusan ketuhanan (amrun ilahi), seperti firmanNya : (Wa yas'aluunaka anirruuhiqulirruuhu min amri rabbii)
Artinya: "Dun ditanyakan mereka akan engkau (Muhammad) tentang ruh, maka jawablah : Ruh itu urusan. Tuhanku (min amri rabbi)". (S. Al-Isra',ayat85).
Seluruh makhluk dihubungkan (mansubah) Kepada Tuhan. Tetapi hubungan ruh (al-qalb = hati) kepadaNya, adalah lebih mulia dari hubungan seluruh anggota badan yang lain. Kepunyaan Allah selu¬ruh makhluk dan ruh. Ruh lebih tinggi dari makhluk yang lain.
Dzat yang amat bernilai itu yang membawa amanah Allah, suatu tugas yang pemah ditawarkan kepada langit, bumi dan bukit, teta-pi enggan menerimanya dan takut kepada dzat yang bernilai itu.
Dan janganlah dipahamkan dari yang tersebut itu, seakan-akan di-bayangkan dengan qadimnya dzat itu. Orang yang mengatakan de¬ngan qadim ruh adalah tertipu dan bodoh, tak mengerti apa yang hams dikatakannya.
Kami hendak menyingkapkan penjelasan tentang ini, karena di luar acara yang sebenarnya.
Maksudnya, bahwa tubuh halus itu ialah yang berusaha mendekati Tuhan, karena dia dari urusan Tuhan. Dari Tuhan sumbernya dan

209

kepada Tuhan kembalinya. Adapun badan, maka adalah kendaraan dari tubuh halus itu, yang dikendarainya dan diusahakannya sesuatu dengan perantaraannya. Jadi, maka badan bagi tubuh halus itu dalam perjalanan kepada Allah Ta'ala adalah seumpama unta bagi tubuh manusia dalam perjalanan hajji. Dan seumpama kendi tempat menyimpan air yang dihajati oleh badan.
Maka seluruh ilmu pengetahuan yang tujuannya demi kemuslihatan badan, maka ilmu itu termasuk dalam jumlah kepentingan kenda¬raan. Dan tidak tersembunyi lagi 'bahwa ilmu kedokteran pun seperti itu juga. Karena kadang-kadang diperlukan kepadanya untuk '. pemeliharaan kesehatan badan. Meskipun manusia itu sendirian, memerlukan juga kepada ilmu kedokteran. Lain halnya dengan ilmu fiqih. Karena kalau manusia itu sendirian, kadang-kadang ia tidak memerlukan kepada ilmu fiqih. Tetapi manusia itu dijadikan" oleh Tuhan dalam bentuk yang tidak mungkin hidup sendirian. Sebab tidak dapat mengusahakan sendiri seluruh keperluan hidup-nya, baik untuk memperoleh makanan dengan bertani dan berladang, memperoleh roti dan nasi, memperoleh pakaian dan tempat tinggal dan menyiapkan alat untuk itu seluruhnya.
Maka manusia itu memerlukan kepada pergaulan dan tolong menolong. Manakala manusia itu bercampurbaur dan berkobamya hawa nafsu diantara mereka, lalu tarik-menariklah sebab-sebab untuk memperoleh keinginan. Dan mereka bantah-membantah dan perang-berperang.
Dari peperangan itu timbullah kebinasaan, disebabkan perlombaan dari luar, sebagaimana timbulnya kebinasaan disebabkan pertentangan campuran dari dalam.
Dengan ilmu kedokteran terpeliharalah keseimbangan dalam segala campuran yang saling bertentangan dari dalam. Dan dengan politik serta keadilan, terpeliharalah keseimbangan dalam perlombaan dari , luar.
Pengetahuan jalan keseimbangan campuran itu adalah ilmu kedok¬teran. Dan pengetahuan jalan keseimbangan hal manusia dalam masyarakat dan perbuatan-perbuatannya itu adalah ilmu fiqih namanya.
Semuanya itu untuk menjaga keselamatan tubuh manusia yang menjadi kendaraan dari tubuh halus itu.

210

Orang yang semata-mata mempelajari ilmu fiqih atau ilmu kedok¬teran, apabila tidak berjuang melawan hawa nafsunya dan tidak berusaha memperbaiki jiwanya, maka samalah dengan orang yang membeli unta serta umpannya, kendi serta airnya apabila tidak berangkat pergi menunaikan ibadah hajji. Orang yang menghabiskan umurnya dalam susunan kata-kata yang terjadi dalam perdebatan ilmu fiqih, samalah halnya dengan orang yang menghabiskan umumya meneliti sebab-sebab supaya kokoh kuat jahitan kendi air yang akan dibawa waktu mengerjakan hajji. Perbandingan mereka yang berjalan menuju ke jalan perbaikan jiwa, yang menyampaikan kepada ilmu mukasyafah, samalah dengan mereka yang berjalan menuju ke jalan hajji atau dengan me¬reka yang sedang mengerjakan rukun hajji. Maka perhatikanlah pertama kali akan ini dan terimalah nasehat dengan cuma-cuma, dari orang yang biasanya tegak berdiri untuk itu. Dan tidak akan sampai kepadanya, selain sesudah menempuh perjuangan yang sungguh-sungguh, dan cukup keberanian, menghadapi manusia yang beraneka ragam pembawaannya diantara orang awam dan orang khawas (orang tertentu), di mana mereka menurut hawa nafsunya semata-mata.
Cukuplah sekian mengenai tugas-tugas dari pelajar!.
PENJELASAN: Tugas-tugas penunjuk jalan kebenaran (mursyid), yang mengajar (mu'allim).
Ketahuilah bahwa manusia mengenai ilmu pengetahuannya, mempunyai empat macam keadaan, seperti halnya dengan pengumpulan harta kekayaan. Karena bagi orang yang berharta, mempunyai ke¬adaan menggunakan hartanya. Maka dia itu adalah orang yang ber¬usaha dan keadaan menyimpannya dari hasil usahanya itu. Sehingga jadilah dia seorang yang kaya, tak usah meminta lagi pada orang lain. Dan keadaan dapat membelanjai dirinya sendiri. Maka dapatlah ia mengambil manfa'at dari harta kekayaan itu.
Dan keadaan dapat memberikan kepada orang lain, sehingga ia menjadi seorang pemurah hati, yang dermawan. Dan inilah ke¬adaan yang sebaik-baiknya.
Maka seperti itu pulalah dengan ilmu pengetahuan, dapat disimpan seperti menyimpan harta benda.

211

Bagi ilmu pengetahuan ada keadaan mencari, berusaha, dan keadaan menghasilkan yang tidak memerlukan lagi kepada bertanya. Keadaan meneliti (istibshar), yaitu berpikir mencari yang baru dan mengambil faedah daripadanya. Dan keadaan memberi sinar cemerlang kepada orang lain. Dan inilah keadaan yang semulia-mulianya! Maka barangsiapa berilmu, beramal dan mengajar, maka dialah yang disebut orang besar dalam alam malakut tinggi. Dia laksana matahari yang menyinarkan cahayanya kepada lainnya dan menyinarkan pula kepada dirinya sendiri. Dia laksana kesturi yang membawa keharuman kepada lainnya dan dia sendiripun harum. Orang yang berilmu dan tidak beramal menurut ilmunya, adalah seumpama suatu daftar yang memberi faedah kepada lainnya dan dia sendiri kosong dari ilmu pengetahuan. Dan seumpama batu pengasah, menajamkan lainnya dan dia sendiri tidak dapat memotong. Atau seumpama jarum penjahit yang dapat menyediakan pakaian untuk lainnya dan dia sendiri telanjang. Atau seumpama sumbu lampu yang dapat menerangi lainnya dan dia sendiri terbakar, sebagaimana kata pantun :
"Dia adalah laksana sumbu lampu yang dipasang, memberi cahaya kepada orang Dia sendiri terbakar menyala".
Manakala sudah mengajar maka berarti telah melaksanakan pekerjaan besar dan menghadapi bahaya yang tidak kecil. Maka peliharalah segala adab dan tugas-tugasnya, yaitu :
Tugas Pertama : mempunyai rasa belas-kasihan kepada murid-murid dan memperlakukan mereka sebagai anak sendiri.
Bersabda Nabi saw. : (Innamaa ana lakum mitsluJ waalidi liwaladihi).
Artinya : "Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seumpama seorang ayah bagi anaknya". (i)
Dengan maksudnya, melepaskan murid-mundnya dari api neraka akhirat. Dan itu adalah lebih penting dari usaha kedua ibu-bapa, melepaskan anaknya dari neraka dunia.

(i) Dirawikin Abu Oawud. An-Naia-i. I'bnu Maiah dan Ibnu Hibbin dari Abi Hurairah
212

Karena itu, hak seorang guru adalah lebih besar dari hak ibu-bapa. Ibu-bapa menjadi sebab lahirnya anak itu dan dapat hidup di dunia yang fana ini. Sedang guru menjadi sebab anak itu memperoleh hidup kekal. Kalau tidak adalah guru, maka apa yang diperoleh si anak itu dari orang tuanya, dapat membawa kepada kebinasaan yang terus-menerus.
Guru adalah yang memberikan kegunaan hidup akhirat yang abadi. Yakni guru.yang mengajar ilmu akhirat ataupun ilmu pengetahuan duniawi, tetapi dengan tujuan akhirat, tidak dunia.
Adapun mengajar dengan tujuan dunia, maka itu binasa dan membinasakan. Berlindunglah kita dengan Allah daripadanya!. Sebagaimana hak dari anak-anak seorang ayah, berkasih-kasihan dan bertolong-tolongan mencapai segala maksud, maka seperti demikianlah kewajiban dari murid-murid seorang guru, berkasih-kasihan dan sayang-menyayangi.
Hal itu baru ada, bila tujuan mereka akhirat. Dan kalau tujuannya dunia, maka yang ada tak lain dari berdengki-dengkian dan bermusuh-musuhan.
Sesungguhnya para ulama dan putera-putera akhirat itu adalah orang-orang musafir kepada Allah Ta'ala dan berjalan kepadaNya, dari dunia. Tahun-tahunnya dan bulan-bulannya adalah tempat-tempat singgahan dalam perjalanan. Sayang-menyayangi diperjalan an antara orang-orang yang sama-sama berangkat ke kota, adalah menyebabkan lebih eratnya hubungan dan kasih sayang. Maka bagaimanakah berjalan ke firdaus tinggi dan sayang-menyayangi di dalam perjalanannya dan tak ada sempit pada kebahagiaan akhirat? Maka karena itu, tak adalah pertentangan diantara putera-putera akhirat. Sebaliknya dalam mengejar kebahagiaan duniawi, jalannya tidak lapang. Dari itu senantiasa dalam keadaan sempit berdesak-desakan. Orang yang menyeleweng dengan ilmu pengetahuannya untuk menjadi kepala, Sesungguhnya telah keluar dari kandungan finnan Allah Ta'ala : (Innamal mu'minuuna ikhwah).
Artinya : "Sesungguhnya orang mu'min itu bersaudara". (S. Al-Hujurat, ayat 10)

213

tersembunyi, sebelum selesai ilmu yang terang. Kemudian menjelaskan kepadanya bahwa maksud dengan menuntut ilmu itu, ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Bukan karena keinginan menjadi kepala, kemegahan dan perlombaan. Haruslah dikemukakan keburukan sifat-sifat itu sejauh mungkin! Seorang berilmu yang jahat tidaklah berbuat kebaikan lebih banyak dari berbuat kejahatan dan kerusakan. Bila diketahui orang yang bathinnya dengan menuntut ilmu adalah untuk dunia, maka haruslah diperhatikan kepada ilmu yang dipelajarinya itu. Kalau ilmu itu ilmu khilafiah mengenai fiqih, berdebat dalam ilmu kalam. bertatwa dalam soal persengketaan dan hukum, maka hendaklah dicegah. Karena ilmu pengetahuan tersebut tidak termasuk dalam ilmu akhirat dan tidak termasuk sebagian dari ilmu yang dikatakan. "Kami mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu enggan kalau bukan karena Allah !'.'
Yang termasuk dalam ilmu akhirat, ialah ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu-ilmu yang menjadi perpegangan orang-orang terdahulu, dari ilmu akhirat, ilmu mengenai budi pekerti jiwa dan cara mengasuhnya.
Apabila ilmu tadi dipelajari oleh seorang pelajar dengan tujuan duniawi, maka tak mengapa dibiarkan. Karena membuahkan pengharapan, bagi pelajar itu nanti, pada pengajaran, dan pengikutan kepada orang ramai. Bahkan kadang-kadang ia sadar di tengah jalan atau diakhir jalan. Karena padanya ada pengetahuan yang membawa takut kepada Allah Ta'ala, penghinaan kepada dunia dan pengnargaan kepada akhirat.
Dan ada harapan besar pelajar itu akan memperoleh jalan yang benar ke akhirat, sehingga dia memperoleh pengajaran dengan apa yang diajarinya orang lain. Dan berlakulah kesukaan diterima orang kata-katanya dan kemegahan, sebagai berlakunya biji-bijian yang ditaburkan di keliling perangkap, untuk menangkap burung dengan yang demikian.
Memang demikianlah, diperbuat oleh Allah pada hambaNya. Kare¬na dijadikanNya nafsu syahwat, supaya makhluk itu dapat meneruskan keturunannya. DijadikanNya pula suka mencari kemegahan, supaya menjadi sebab, untuk menghidupkan ilmu pengetahuan. Demikianlah yang kita harapkan pada ilmu-ilmu tersebut. Mengenai masalah khilafiah semata-mata, perdebatan dalam ilmu kalam, pengetahuan ilmu furu' yang ganjil-ganjil, bila ilmu itu saja
216
yang diperhatikan, sedang yang lainnya dikesampingkan, maka hanyalah menambahkan kesesatan hati dan kelalaian dari pada Allah Ta'ala. Serta berkepanjangan dalam kesesatan dan mencari keme¬gahan.
Kecuali orang-orang yang dinaungi Allah dengan rahmat-kasihNya. Atau dicampurkan ilmu tadi, dengan ilmu-ilmu yang lain dari ilmu pengetahuan keagamaan.
Untuk itu tidak dapat kita buktikan, seperti percobaan dan penyaksian. Dari itu perhatikanlah, renungkanlah dan selidikilah supaya diperoleh kebenarannya dalam kalangan manusia dan negeri-negeri! Semoga Allah memberi pertolongan!
Pernah orang melihat Sufyan Ats-Tsuri gundah-gulana, maka ditanyakan : "Mengapakah tuan hamba demikian?"
la menjawab : "Kami ini menjadi toko, bagi anak-anak dunia.
Seorang dari mereka selalu bersama kami, tetapi apabila telah belajar, lalu diangkat menjadi hakim (kadli), pegawai atau penguasa.
Tugas keempat : yaitu termasuk yang halus-halus dari mengajar, bahwa guru menghardik muridnya dari berperangai jahat dengan cara sindiran selama mungkin dan tidak dengan cara terus terang. Dan dengan cara kasih-sayang, tidak dengan cara mengejek. Sebab, kalau dengan cara terus terang, merusakkan takut murid kepada guru. Dan mengakibatkan dia berani menentang dan suka meneruskan sifat yang jahat itu. Nabi saw. selaku mursyid segala guru, pernah bersabda : (Lau muni'an naasu 'an fattil ba'ri lafattuuhu waqaaluu maa nuhiinaa anhu illaa wa fiihi syaiun).
Artinya : "Jikalau manusia itu dilarang dari menghancurkan taik unta, maka akan dihancurkannya dengan mengatakan : "Kita tidak dilarang dan perbuatan itu kalau tak ada apa-apanya". (i)
Keadaan yang tersebut tadi, mengingatkan anda akan. kisah Adam
dan Hawa as. serta larangan yang ditujukan kepada keduanya. Dan

(i) Menurut Al Iraqi, dia tidak pernah menjumpai hadits ini.

217

tidaklah kisah itu diterangkan kepadamu untuk menjadi buah pembicaraan di malam hari. Tetapi, untuk engkau sedari atas jalan ibarat.
Juga dengan sindiran itu, membawa kepada jiwa utama dan hati suci, untuk memahami tujuan dari sindiran itu. Maka dengan keinginan memperhatikan maksud dari sindiran itu, karena ingin mengetahuinya, tahulah dia bahwa hal itu tidak boleh lenyap dari perhatiannya.
Tugas kelima: seorang guru yang bertanggungjawab pada salah satu mata pelajaran, tidak boleh melecehkan mata pelajaran lain dihadapan muridnya. Seumpama guru bahasa, biasanya melecehkan ilmu fiqih. Guru fiqih melecehkan ilmu hadits dan tafsir dengan sindiran, bahwa ilmu hadits dan tafsir itu adalah semata-mata menyalin dan mendengar. Cara yang demikian, adalah cara orang yang lemah, tidak memerlukan pikiran padanya. Guru ilmu kalam memandang sepi kepada ilmu fiqih dengan mengatakan, bahwa fiqih itu membicarakan soal furu'. Diantara lain memperkatakan tentang kain kotor wanita. Maka apakah artinya itu, dibandingkan dengan memperkatakan tentang sifat Tuhan Yang Maha Pengasih? Inilah budi pekerti yang tercela pada para guru yang harus dijauhkan!
Sebaliknya, yang wajar hendaklah seorang guru yang bertanggung¬jawab sesuatu mata pelajaran, membuka jalan seluas-luasnya kepada muridnya untuk mempelajari mata pelajaran yang lain. Kalau dia bertanggungjawab dalam beberapa ilmu pengetahuan, maka hen¬daklah menjaga kemajuan si murid dari setingkat ke setingkat!.
Tugas keenam: guru harus menyingkatkan pelajaran menurut tenaga pemahaman si murid. Jangan diajarkan pelajaran yang belum sampai otaknya ke sana. Nanti ia lari atau otaknya tumpul. Perhatikanlah akan sabda Nabi saw.: (Nahnu ma'aasyiral anbiyaa-i umirnaa an-nunzilannaasa manaazi-lahum wa nukallimahum 'alaa qadri 'uquulihim).
Artinya: "Kami para Nabi disuruh menempatkan masing-masing orang pada

218

tempatnya dan berbicara dengan mereka menurut tingkat pemikiran (1)
Kembangkanlah kepada murid itu sesuatu pengetahuan yang mendalam, apabila diketahui bahwa dia telah dapat memahaminya sendiri.
sabda Nabi saw.: (Maa ahadun yuhadditsu qauman bihadiitsin laa tablughuhu uquu-hihum illaa kaana fitnatan 'alaa ba'dhihim).
Artinya: "Apabila seseorang berbicara kepada sesuatu golongan tentang persoalan yang belum sampai otaknya ke sana, maka ia menjadi fitnah kepada sebahagian dari mereka ". (2)
Berkata Ali ra. sambil menunjuk ke dadanya: "Di sini terkumpul banyak ilmu pengetahuan, sekiranya dapatlah saya peroleh orang-orang yang menerimanya ".
Benarlah ucapan beliau itu. Dada orang-orang baik (al-abrar) adalah kuburan ilmu pengetahuan yang tinggi-tinggi (al-asrar). Dari-itu, tidak wajarlah bagi seorang yang berilmu, menyiarkan seluruh ilmu pengetahuannya kepada orang. Hal ini, apabila dapat dipahami oleh yang belajar dan ia belum dapat mengambil faedah dengan ibnunya. Maka betapa pula terhadap orang yang tidak dapat memahaminya? Berkata Nabi Isa as.: "Janganlah engkau gantungkan mutiara pada leher babi".
Ilmu hikmah adalah lebih mulia dari mutiara. Orang yang tidak suka kepada ilmu hikmah, adalah lebih jahat dari babi. Dari itu dikatakan : sukatlah bagi masing-masing orang, menurut ukuran akalnya. Dan timbanglah bagi masing-masing orang itu dengan timbangan pahamnya, sehingga selamat dan bermanfa'at. Kalau tidak ada pemahaman, maka terjadilah pertentangan karena tiro-bangan akal berlebih-kurang (salah pengertian = misunderstanding).

219

Ditanyakan setengah ulama tentang suatu hal. Beliau tidak menjawab, lalu penanya itu bertanya lagi : tidakkah tuan mendengai' sabda Nabi saw. : '
(Man katama 'ilman naafi'an jaa- a yaumal qiyaamati muljaman bilijaamin min naar).
Artinya : "Barang siapa yang menyembunyikan ilmu yang bermanfa'at, niscaya datang dia pada hari qiamat, pada mulutnya ada kekang dari api neraka".
Maka menjawablah ulama tersebut: "Tinggalkanlah kekang itu dan pergilah! Kalau datang kemari orang yang beipaham dan aku sembunyikan juga, maka letakkanlah kekang itu pada mulutku!".
Berfirman Allah Ta'ala :
(Wa laa tu'tussufahaa-a amwaalakum).
Artinya : "Janganlah kamu berikan kepada orang-orang yang belum mengerti (masih bodoh) harta-harta mereka yang kamu dijadikan Tuhan pemeliharanya". (al nisa ayat 5).
Firman tersebut sebagai peringatan bahwa menjaga ilmu pengeta-huan dari orang yang merusakkan dan mendatangkan kemelaratan, adalah lebih utama lagi. Dan tidaklah kurang dzalimnya antara memberikan kepada yang tidak berhak dan tidak memberikan kepada yang berhak. Berkata seorang penyair :
"Apakah saya hamburkan mutiara, dihadapan pengembala domba? Lalu jadilah dia tersimpan, dalam gudangpentemak hewan? Mereka itu tidak tahu. akan harga mutiara. Dari itu saya tak mau, menggantungkannya pada leher mereka .............

220

Kalau kiranya Tuhan, mencurahkan betas kasihan. Lalu kedapatan, ahli ilmu pengetahuan.
Saya akan siarkan ilmu berfaedah,
saya akan memperoleh cinta mahabbah.
Kalau tidak begitu ...........
biarlah tersimpan dan tersembunyi dalam dadaku! Memberikan ilmu kepada orang bodoh, adalah menyia-nyiakan.
Tak mau memberikunnya kepada yang berhak, adalah menganiayakan.
Tugas ketujuh: kepada seorang pelajar yang singkat paham, hendaklah diberikan pelajaran yang jelas, yang layak baginya. Jangan¬lah disebutkan kepadanya, bahwa di balik yang diterangkan ini, ada lagi pembahasan yang mendalam yang disimpan, tidak dijelaskan. Karena, yang demikian itu, mengakibatkan kurang keinginannya pada pelajaran yang jelas itu dan mengacau-balaukan pikirannya. Sebab menimbulkan dugaan kepada pelajar itu nanti, seolah-olah gurunya kikir, tak mau memberikan ilmu itu kepadanya.
Sekalian orang menyangka bahwa dirinya ahli dalam segala ilmu, meskipun yang pelik. Dan tak ada seorangpun yang tak ingin mem¬peroleh pikiran yang cerdas daripada Allah Ta'ala. Orang yang paling dungu dan paling bodoh pun merasa gembira dengan kesempurnaan akal pikirannya.
Dan dengan ini, dapatlah diketahui, bahwa orang awwam yang terikat dengan ikatan kepercayaan Agama dan meresap dalam jiwanya 'aqidah yang berasal dari ulama-ulama terdahulu, tanpa membanding dan mena'wilkan dan dalam pada itu, bathinnya cukup baik dan akalnya tidak berpikir lebih banyak dari itu, maka tidak sewajamyalah 'aqidah orang awwam itu dikacau-balaukan. Tetapi sewajamyalah dia itu dibiarkan dengan urusannya. Sebab kalau diterangkan kepada si awwam itu pena'wilan-pena'wilan dari kedzahiran kata-kata maka terlepaslah apa yang terikat dalam hatinya. Dan tidak mudah lagi mengikatnya kembali dengan apa yang diikatkan oleh orang yang tertentu (orang al-khawwash). Lalu terangkatlah dinding antara si awwam tadi dan perbuatan ma'siat. Dan bertukarlah dia menjadi setan penggoda, membinasakan dirinya sendiri dan orang lain.

221

Bahkan, tidak layak orang awwam itu dibawa berkecimpung ke dalam ilmu hakikat yang pelik-pelik. Tetapi, cukupkan saja dengan mengajari peribadatan, mengajari amanah dalam pekerjaannya sehari-hari. Isikanlah jiwanya dengan keinginan kepada sorga dan* ketakutan kepada neraka, seperti yang tersebut dalam Al-Qur-an Suci.
Jangan dibangunkan pikiran mereka kearah keragu-raguan. Karena mungkin nanti keragu-raguan itu melekat dalam hatinya dan sukar dilepaskannya. Maka binasalah dan celakalah dia kesudahannya. Pendek kata, tidak wajar pintu pembahasan dibuka kepada orang awwam. Sebab dengan itu membawa kepada kekosongan pekerja-an mereka, yang menjadi sendi dari budi pekerti dan kekekalan hidup dari orang-orang tertentu.
Tugas kedelapan: guru itu harus mengamalkan sepanjang ilmunya. Jangan perkataannya membohongi perbuatannya. Karena ilmu dilihat dengan mata-hati dan amal dilihat dengan mata-kepala. Yang mempunyai mata-kepala adalah lebih banyak. Apabila amal bersalahan dengan ilmu, maka tercegahlah keadilan. Orang yang mengambil sesuatu, lalu mengatakan kepada orang lain: "Jangan kamu ambil barang itu, sebab barang itu adalah racun yang membinasakan!", adalah telah memperkosa hak orang lain. Dia akan kena tuduhan. Orang semakin bernafsu kepada benda yang dilarang mengambilnya itu, dengan mengatakan: "Kalau bukanlah benda itu baik dan berharga, masakan diambilnya!". Dibandingkan guru yang mursyid dengan para muridnya, adalah seumpama ukiran dari abu tanah dan bayangan dari kayu. Bagai-manakah abu tanah itu terukir sendiri tanpa benda pengukir dan kapankah bayang-bayang itu lurus sedang kayunya bengkok? Karena itu, berkatalah pantun yang seirama dengan itu: "Janganlah engkau melarang suatu pekerti, sedang engkau sendiri melakukannya. Malulah kepada diri sendiri, dilihat orang engkau mengerjakannya!"
Berfirman Allah Ta'ala:
(Ata* maruunan-naasa bil birri wa tansauna anfusakum). ;

222

Artinya: "Adakah kamu menyuruh orang lain dengan berbuat baik dan kamu lupakan dirimu sendiri!" (S. Al-Baqarah, ayat 44).
Karena itulah, dosa orang yang berilmu mengerjakan perbuatan mak'siat, adalah lebih besar dari dosa orang yang bodoh. Karena dengan terperosoknya orang yang berilmu, maka terperosoklah orang banyak yang menjadi pengikutnya. Barangsiapa membuat tradisi yang buruk, maka berdosalah dia dan berdosalah orang yang menuruti tradisi itu.
Dari itu berkata Ali ra. : "Ada dua orang yang mendatangkan bala bencana kepada kita, yaitu orang yang berilmu yang tak menjaga kehormatan dan orang yang bodoh yang kuat beribadah. Orang yang bodoh itu menipu manusia dengan peribadatannya dan orang berilmu itu menipu manusia dengan kelengahannya".

Wallahua'lam (Allah Yang Maha Tahuf).

223
Bab keenam : Tentang bahaya ilmu pengetahuan, penjelasan tanda-tanda ulama akhirat dan ulama su' (ulama jahat).
Telah kami terangkan dahulu ayat dan hadits tentang kelebihan ilmu dan ulama (ahli ilmu). Dan mengenai ulama su' telah datang penegasan-penegasan yang tegas, yang menunjukkan bahwa mereka memperoleh 'azab yang sangat keras pada hari qiamat, dibandingkan dengan orang-orang lain.
Yang teramat penting, ialah mengetahui tanda-tanda yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat. Yang kami maksudkan dengan ulama dunia ialah ulama su' yang tujuannya dengan ilmu pengetahuan itu ialah untuk memperoleh kesenangan duniawi, kemegahan dan kedudukan.
Bersabda Nabi saw. : (Inna asyaddan naasi 'adzaaban yauraal qiaamati 'aalimun lam yan-fa' hullaahu bi'ilmihi). Artinya : "Manusia yang sangat memperoleh 'azab pada hari qiamat ialah orang yang berilmu yang tiada bermanfa 'at dengan ilmunya ".

(Laa yakuunul raar-u 'aaliman hattaa yakuuna bi'ilmihi 'aamilaa). Artinya :
"Tidaklah seorang itu bemama 'alim sebelum berbuat menuruti il¬munya".

224

Dan bersabda Nabi saw.: "Ilmu pengetahuan itu ada dua: ilmu pada lisan, iaitu ilmu yang menjadi alasan bagi Allah atas makhluknya dan ilmu pada hati, yaitu ilmu yang bermanfa'at".(1)
Bersabda Nabi saw. lagi: "Adalah pada akhir zaman, orang-orang yang beribadah yang bodoh dan orang-orang yang berilmu yang tidak beribadah (fasiq)".(2)
Bersabda Nabi saw.: "Janganlah engkau mempelajari ilmu penge¬tahuan untuk bersombong-sombong dengan sesama berilmu, untuk bertengkar dengan orang-orang yang berpikiran lemah dan untuk menarik perhatian orang ramai kepadamu. Barangsiapa berbuat demikian, maka dia dalam neraka". (3)
Bersabda Nabi saw.: "Barangsiapa menyembunyikan ilmu penge¬tahuan yang ada padanya, maka diberikan oleh Allah kekang pada mulutnya dengan kekang api neraka ". (4)
Dan bersabda Nabi saw.: "Sesungguhnya aku lebih takut padamu, kepada yang bukan dajal dan dajal". Lalu orang menanyakan: "Siapakah itu?"
Maka menjawab Nabi saw.: "Imam-imam (pemuka-pemuka) yang menyesatkan". (5)
Bersabda Nabi saw.: "Barangsiapa bertambah ilmunya dan tidak bertambah petunjuk, niscaya dia tidak bertambah dekat melainkan bertambah jauh dari Allah ". (6)
Bersabda Nabi Isa as.: "Kapankah kamu akan menerangkan jalan kepada orang-orang yang berjalan malam, sedang kamu bertempat tinggal bersama-sama orang-orang yang dalam keheranan?"
Dengan hadits ini dan lainnya, menunjukkan betapa besarnya bahaya ilmu. Orang yang berilmu, adakalanya menderita kebinasaan abadi atau kebahagiaan abadi. Dengan berkecimpung dalam ilmu pengetahuan, orang yang berilmu itu tidak memperoleh keselamat-anjika tidak mendapat kebahagiaan.
(1) Dirawikan At-Tirmidzi dan tbnu Abdll-Birri dari AI-Haian.
(2) Dirawikan AI-Hakim dari Anas, hadits dla'if.
(3) Dirawikan Ibnu Maiah dari Jabir dengan isnad shahih.
(4) Kata-kata-hadtts ini, adalah p,ada sebagian jalan haditi Abi Hurairah, yang dirawikan Ibnu Juz-i.
(5) Dirawikan Ahmad dari Abi Dzar dengan isnad baik.
(6) Dirawikan Abu Manihur AdtOailami dan Ibnu Hibban, mauauf pada AI-Hasan.

225

Adapun atsar (kata-kata shahabat dan ulama-ulama terdahulu diantara lain berkata Umar ra. : "Yang paling saya takutkan kepada ummat ini, ialah orang munafiq yang berilmu ". Bertanya hadlirin : "Bagaimana ada orang yang munafiq berilmu? Menjawab Umar ra. : Berilmu di lidah, bodoh di hati dan diperbuatan".
Berkata Al-Hasan ra. : "Janganlah ada engkau sebahagian dari orang yang mengumpulkan ilmu ulama, kata pilihan hukuma' dan berlaku dalam perbuatan seperti sufaha' (orang-orang bodoh)".
Berkata seorang laki-laki kepada Abu Hurairah ra. : "Saya mau mempelajari ilmu, tetapi saya takut nanti ilmu itu tersia-sia". Menjawab Abu Hurairah ra. : "Dengan meninggalkan saja, sudah mencukupi untuk dipandang menyia-nyiakan ilmu ". Ditanyakan Ibrahim bin Uyainah : "Manakah manusia yang lama benar penjelasannya?
Menjawab Ibrahim : "Adapun pada masa dekat di dunia ini, ialah orang yang berbuat baik kepada orang yang tidak tahu berterima kasih Dan ketika mati nanti, ialah orang yang berilmu yang me¬nyia-nyiakan ilmunya".
Berkata Al-Khalil bih Ahmad : "Orang itu empat macam. Semacam ialah orang yang mengetahui dan tahu ia mengetahui. Maka dia itu ialah orang yang berilmu. Ikutlah dia! Semacam ialah orang yang mengetahui dan tidak tahu ia mengetahui. Maka dia itu, ialah orang yang tidur. Bangunkanlah dia! Semacam lagi ialah orang yang tidak mengetahui dan tahu dia tidak mengetahui. Maka dia itu, ialah orang yang meminta petunjuk. Maka tunjukilah dia! Dan semacam lagi ialah orang yang tidak mengetahui dan tidak tahu dia tidak mengetahui. Maka dia itu, ialah orang yang jahil. Maka tolaklah dia!"
Berkata Sufyan Ate -Tsuri ra. : "Disambut ilmu dengan amal perbuatan. Kalau ada demikian, maka ilmu itu menetap. Kalau tidak, maka dia berangkat".
Berkata \bnul Mubarak : "Senantiasa manusia itu berilmu selama ia menuntut ilmu. Apabila Ia menyangka sudah berilmu, maka dia itu, telah bodoh". Berkata Al-Fudhail bin lyadh ra. : "Saya menaruh belas kasihan kepada tiga orang yaitu orang mulia dalam kaumnya yang menghinakan diri

226

orang kaya dalam kaumnya yang memiskinhan diri dan orang yang berilmu yang dipermainkan dunia ".

Berkata Al-Hasan : "Siksaan bagi ulama ialah mati hatinya. Kematian hati ialah mencari dunia dengan amalan akhirat". Dan bermadahlah mereka :
Aku heran orang membeli kesesatan dengan petunjuk. Lebih heran lagi, orang membeli dunia dengan agamanya. Yang lebih heran dari yang dua itu .................. Orang menjual agamanya dengan dunia.

Inilah yang paling ajaib dari yang dua itu...... ".
Bersabda Nabi saw. :
(Innal 'aalima layu'adz-dzabu 'adzaaban yathiifu bihii ahlun naaris-ti'dhaaman lisyiddati 'adzaabih). Artinya :
"Bahwa orang yang berilmu itu di'azabkan dengan suatu 'azab yang dikelilingi penduduk neraka dengan perasaan dahsyat, karena ber-sangatan 'azabnya". (i)
Dimaksudkan dengan orang yang berilmu tadi, ialah orang berilmu yang dzalim.
Berkata Usamah bin Zaid : "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda :
(Yu'-taa bil'aalimi yaumal qiaamati fayulqaa fin naari fatandaliqu aqtaabuhufayaduuru bihaa kamaa yaduurul himaaru birrahaa fa-yathiifu bihii ahlun naari fayaquuluuna maa laka? Fayaquulu : Kuntu aamuru bil khairi wa laa aatiihi wa anhaa 'anisy-syarri wa aatiih).

227

Artinya : "Pada hari qiamat, dibawa orang yang berilmu lalu dilemparkan ke dalam neraka. Maka keluarlah perutnya. Dia mengelilingi perutnya itu seperti keledai mengelilingi gilingan gandum. Penduduk neraka mengelilinginya, seraya bertanya: "Mengapa engkau begini?".
Menjawab orang yang berilmu itu : "Adalah aku menyuruh dengan kebaikan dan aku sendiri tidak mengerjakannya. Aku melarang dari kejahatan dan aku sendiri mengerjakannya".
Dilipatgandakan 'azab kepada orang yang berilmu, karena ma'siatnya. Karena ia mengerjakan ma'siat itu dengan ilmu. Dari itu berfirman Allah Ta'ala : (Innal munaafiqiina fiddarkil asfali minannaari). ; Artinya : "Bahwa orang munafiq itu dalam tingkat yang paling bawah dan api neraka ". (5 An.Nisa ayat 145)
Karena mereka ingkar sesudah berilmu. Diiadikan orang Yahudi lebih jahat dari orang Nasrani, pada hal orang Yahudi tidak mengaku Allah mempunyai anak dan tidak mengatakan bahwa Allah itu yang ke tiga dari tiga, adalah disebabkan orang Yahudi itu ingkat sesudah tahu. Berfirman Allah Ta'ala: "Mereka mengetahuinya (Kitab Suci) seperti mengetahui anaknya sendiri". (S. Al-Baqarah, ayat 156).
Dan berfirman Allah Ta'ala: "Setelah datang kepada mereka apa yang mereka ketahui, mereka tidak percaya kepadanya. Sebab itu Allah Ta'ala mengutuki orang-orang yang kaftr". (S. Al-Baqarah, ayat 89).
Berfirman Allah Ta'ala mengenai kisah Bal'am bin Ba'ura'. "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan keterangan-keterangan Kami kepadanya, lalu dibuangnya. Sebab itu, dia didatangi setan dan termasuk orang-orang yang sesat Jalan "(S. Al-A'raaf, ayat 175).
(1) Dirawlkan AI-Buknarl dan Muslim dari usamah bin Zaid.

228

Sampai Allah Ta'ala berfirman : "Orang itu adalah seumpama anjing, kalau engkau halau, diulurkannya lidahnya dan kalau engkau biarkan, diulurkannya juga lidahnya". (S. Al-A'raaf, ayat 176).
Maka begitu jugalah orang berilmu yang dzalim. Kepada Bal'am diberikan Kitab Allah, tetapi dia terus bergelimang dalam hawa nafsu. Maka dia diserupakan dengan anjing. Artinya, sama saja antara diberikan ilmu hikmah atau tidak diberikan, dia terus menjilat dengan lidahnya pada hawa nafsu. Bersabda Isa as. : "Orang berilmu yang jahat adalah seumpama batu besar yang jatuh ke mulut sungai. Dia tidak mengisap air dan tidak menghalangi air mengalirkan tanam-tanaman. Dan seumpama parit rumput, dzahirnya yang kelihatan seperti di cat dan dalamnya yang tidak kelihatan adalah berbau busuk. Dan seumpama kuburan, dzahirnya yang kelihatan adalah bangun-bangunan dan bathinnya di dalam adalah tulang-belulang orang mati".
Itulah hadits-hadits dan kata-kata berhikmah yang menerangkan, bahwa orang berilmu yang menjadi anak dunia adalah lebih buruk keadaannya dan lebih sangat 'azab yang dideritainya dari orang bodoh.
Yang memperoleh kemenangan dan dekat dengan Tuhan ialah Ulama akhirat. Tanda-tandanya banyak. Diantaranya ulama akhirat itu tidak mencari dunia dengan ilmunya.
Sekurang-kurang tingkat seorang yang berilmu itu, mengetahui kehinaan dunia, keburukan, kekotoran dan keseramannya. Kebesaran akhirat, keabadian, kebersihan nikmat dan keluhuran kerajaannya. Dan mengetahui bahwa antara dunia dan akhirat itu berlawanan. Keduanya seumpama dua wanita yang bermadu, manakala dicari kerelaan yang seorang, maka yang lain marah. Dan seumpama dua daun neraca, manakala berat yang satu, maka yang lain ringan. Dunia dan akhirat itu laksana masyriq dan magrib. Manakala didekati yang satu, maka pasti bertambah jauh dari yang lain. Atau seumpama dua wadah, yang satu penuh dan yang lain kosong. Sebanyak yang diambil dari yang berisi untuk dituangkan ke dalam yang kosong sampai penuh, maka demikianlah kosong yang berisi itu.
Maka orang yang tidak mengenai kehinaan dunia, kekotoran dan kecampur-bauran kelezatan dengan kesakitannya, kemudian ke-

229

seraman apa yang kelihatan bersih dari dunia itu, maka orang itu adalah manusia yang telah rusak akal. Sesungguhnya penyaksian dan pengalaman menunjukkan kepada demikian. Maka bagaimanakah termasuk golongan orang berilmu orang yang tak berakal? Orang yang tak mengetahui kebesaranyaj. keadaan akhirat dan keabadiannya, maka orang itu telah tertutup hatinya dan tercabut keimanannya. Maka bagaimanakah termasuk golongan orang berilmu, orang yang tak beriman? Dan orang yang tak mengetahui berlawanannya dunia dengan akhirat dan mengumpulkan keduanya adalah satu harapan yang tak usah diharapkan maka orang itu bodoh dengan seluruh agama nabi-nabi. Bahkan hatinya telah tertutup dari seluruh isi Al-Quran, dari permulaannya sampai kepada penghabisannya. Maka bagaimanakah dia dihitung termasuk dalam golongan ulama?
Orang yang mengetahui ini seluruhnya tetapi tidak memilih akhirat dari dunia, maka adalah tawanan setan. Telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dipaksakan oleh kecelakaannya. Maka bagai¬manakah dihitung termasuk dalam barisan ulama, orang yang tingkatannya demikian ?
Dalam warta berita nabi Daud as. yang merupakan firman dari Allah Ta'ala, tersebut : "Sekurang-kurang perbuatanKu dengan orang yang berilmu apabila memilihkan hawa nafsunya dari mencintai Aku, ialah Kuharamkannya kelezatan bermunajah dengan Aku. Hai Daud! Jangan engkau tanyakan kepadaKu orang yang berilmu yang telah dimabukkan oleh dunia, maka dicegahnya engkau dari jalan kecintaanKu. Mereka itulah penyamun-penyamun terhadap hambaKu. Hai Daud! Apabila engkau melihat seorang pelajar untukKu, maka hendaklah engkau menjadi pesuruhnya! Hai Daud! Barang siapa mengembalikan kepadaKu orang yang lari, maka Kutuliskan dia orang yang tahu kebenaran. Barang siapa Kutuliskan sebagai orang yang tahu kebenaran, maka tidak Ku'azabkan dia selama-lamanya ".
Dari itu berkata Al-Hasan ra. : "Siksaan bagi orang yang berilmu ialah mati hatinya. Mati hati ialah mencari dunia dengan amal perbuatan akhirat". Karena itu berkata Yahya bin Ma'az : "Sesungguhnya hilanglah keelokan ilmu dan hikmah, apabila dicari dunia dengan keduanya". Berkata Sa'id bin Al-Musayyab ra. : "Apabila engkau melihat orang yang berilmu mendatangi amir-amir, maka itu adalah pencuri". Berkata Umar ra.: "Apabila engkau melihat orang

230

yang berilmu mencintai dunia, maka curigalah dia terhadap agamanya Karena tiap-tiap orang yang mencintai sesuatu, ia akan berkecimpung pada yang dicintainya itu ". Berkata Malik bin Dinar ra. : "Aku telah membaca dalam beberapa kitab lama bahwa Allah Ta¬'ala berfirman : "Bahwa yang paling mudah Aku perbuat dengan orang yang berilmu- apabila ia mencintai dunia, ialah Aku keluarkan darihatinya kelezatan bermunajah dengan Aku".
seorang laki-laki menulis surat kepada saudaranya, yang berbunyi: "Engkau telah diberikan ilmu, maka janganlah engkau padamkan nur ilmu itu dengan kegelapan dosa. Nanti engkau kekal dalam kegelapan, pada hari berjalan segala ahli ilmu dalam sinar ilmunya". Berkata Yahya bin Ma'az Ar Razi ra. : kepada para ahli ilmu duniawi : "Hai segala ahli ilmu! istanamu seperti istana kaisar Romawi, rumahmu seperti rumah raja (kisra) Persi, pakaianmu sepertipakaian golongan Dzahiriah, sepatumu seperti sepatu Jalut, kendaraanmu seperti kendaraan Qarun, tempat makanmu seperti tempat makan Fir'aun, perbuatanmu seperti perbuatan orang jahiliah dan madzhabmu seperti madzhab setan. Maka dimanakah syari'at Muhammad itu ?".
Berkata aeorang penyair :
Pengembala domba menjaga dari serigala.
Maka bagaimana pula apabila ...................................................
pengembala itu sendiri serigala ...........
Berkata penyair lain :
"Wahai para pembaca .........................!
Wahai garam negeri............................!
Tidak lah garam dapat membuat perbaikan,
apabila garam itu sendiri busuk .............. ".
Ditanyakan kepada setengah 'arifin (orang yang mempunyai ma'rifah kepada Allah Ta'ala) : "Adakah tuan berpendapat bahwa orang yang meletakkan pekerjaan ma'siat menjadi kecintaannya, tidak mengenal Allah?"
Menjawab 'arifin itu : "Tak ragu aku bahwa orang yang memilih dunia dari akhirat adalah tidak mengenal Allah Ta'ala". Selain dari itu, amat banyak lagi kata-kata hikmah tentang itu.

231

Janganlah anda menyangka bahwa meninggalkan harta kekayaan saja sudah mencukupi untuk menghubungkan diri dengan ulama akhirat. Sebab mencari kemegahan itu, lebih lagi membawa kemelaratan dari harta. Dari itu berkata Bisyr : "Berbicara dengan kami salah satu dari pintu dunia. Maka apabila aku mendengar orang mengatakan : "Berbicaralah dengan kami!", maka sebenarnya ia" mengatakan : "Berilah kelapangan kepadaku". Bisyr bin Harts menanamkan lebih sepuluh buah buku antara peti buku dan peti tempat simpanan tamar (kurma kering). Dia mengatakan : "Saya ingin berbicara. Jikalau hilanglah keinginanku herbicara, maka aku berbicara".
Berkata Bisyr dan lainnya : "Apabila ingin engkau berbicara, maka diamlah! Apabila tidak ingin, maka berbicaralah!" Pahamilah ini! Karena merasa kelezatan dengan kemegahan membuat sesuatu jasa dan memperoleh kedudukan memberi petunjuk kepada orang, adalah kelezatan yang terbesar dari seluruh kenikmatan duniawi. Barang siapa memperkenankan hawa nafsunya membicarakan itu, maka adalah dia diantara anak-anak dunia. Dari itu berkata Ats-Tsuri : "Fitnah pembicaraan, adalah lebih hebat dari pada fitnah keluarga, harta dan anak. Bagaimanakah tidak ditakuti fitnahnya? Dan telah dikatakan kepada Penghulu segala rasul saw.: Jikalau tidaklah Kami tetapkan pendirian engkau, maka hampirlah engkau condong sedikit kepada mereka". Berkata Sahl ra. : "Ilmu itu seluruhnya dunia. Yang akhirat dari ilmu itu, ialah berbuat amal. Amal seluruhnya itu hampa, kecuali dengan keikhlasan". Berkata Sahl seterusnya : "Manusia seluruh¬nya mati, si-lain para ahli ilmu. Para ahli ilmu itu mabuk, selain yang beramal. Orang yang beramal seluruhnya tertipu, selain yang ikhlas. Orang yang ikhlas itu dalam ketakutan, sebelum diketahui-nya apa kesudahan dari amalnya itu ".
Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani ra. : "Apabila seseorang mempelajari hadits atau kawin atau merantau mencari penghidupan, maka orang itu telah condong kepada dunia".
Maksud Abu Sulaiman dengan ucapannya itu ialah mencari isnad-isnad hadits yang tinggi atau mencari hadits yang tidak diperlukan, pada mencari akhirat. Berkata Nabi Isa as. : "Bagaimana menjadi ahli ilmu orang yang perjalanannya ke akhirat, sedang dia menghadap he jalan dunia.

232

baiaimana menjadi ahli ilmu orang mencari ilmu kalam untuk diceriterakan, tidak untuk diamalkan?" berkata Shaleh bin Kaisan Al-Bashari :"'Aku berjumpa dengan beberapa orang syekh. Mereka itu berlindung dengan Allah dari orang dzalim yang alim dengan sunnah Nabi saw.". Berkata Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda : (Man thalaba 'ilman mimmaa yubtaghaa bihii wajhallaahi Ta'aalaa liyushibba bihii 'ardlan minad dun-yaa lam yajid 'arfal jannati yau-mal qiyaamah).
Artinya : "Barang siapa menuntut ilmu diantara ilmu pengetahuan yang menuju kerelaan Allah untuk memperoleh harta benda duniawi, maka orang itu tidak akan mencium bau sorga pada hariqiamat". Sudah dijelaskan oleh Allah akan ulama su' dengan mencari dunia dengan ilmunya dan ulama akhirat dengan khusu' dan zuhud. Berfirman Allah 'Azza wa Jalla tentang ulama dunia : "Dan ketika Allah mengambil janji orang-orang yang diberikan Kitab : Bahwa mereka akan menerangkan Kitab itu kepada manusia dan tidak akan menyembunyikan ; kemudian janji itu mereka buang kebelakang dan mereka mengambil sedikit keuntungan untuk gantinya". (S. Ali 'Imran, ayat 187).

Berfirman Allah Ta'ala tentang ulama akhirat : (Wa inna min ahlil kitaabi laman yu'minu billaahi wa maa unzila ilaikum wa maa unzila ilaihim khaasyii'iina lillaahi laa yasytaruuna biaayaatillaahi tsamanan qaliilan, ulaaika lahum ajruhum indarab-bihim

233

Artinya: "Bahwa diantara orang-orang yang diturunkan Kitab itu ada yang beriman kepada Allah dan kepada wahyu yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka, mereka tunduk kepada Allah, dengan tidak menukar keterangan-keterangan Allah itu dengan harga yang murah. Mereka memperoleh pahala dari sisi Tuhan". (S. Ali'jmran, ayat 199).

Berkata setengah ulama salaf : "Para ulama itu dibangkitkan dalam rombongan nabi-nabi. Dan para kadli (hakim) dibangkitkan dalam rombongan raja-raja!'
Dimaksudkan dalam pengertian kadli, juga seluruh ahli fiqih, yang tujuannya mehcari dunia dengan ilmu pengetahuannya. Diriwayatkan Abud-Darda' dari Nabi saw. bahwa Nabi saw. bersabda: "Diwahyukan Allah kepada sebahagian nabi-nabi, yaitu : "Katakanlah kepada mereka yang menuntut ilmu, bukan untuk agama, belajar bukan untuk amal dan mencari dunia dengan amal perbuatan akhirat : "Bahwa mereka memberi pakaian kulit kibas kepada manusia. Hati mereka seperti hati serigala. Lidah mereka lebih manis daripada madu. Hati mereka lebih pahit daripada buah pent. Aku dikicuhkannya, namaKu dipermain-mainkannya. Sesungguhnya akan Aku buka bagi mereka fitnah yang meninggalkan keheranan bagi seorang yang penyantun".
Diriwayatkan Adl-Dlahhak dari Ibnu Abbas ra. bahwa Ibnu Abbas mendengar Rasulullah saw. bersabda : "Ulama ummat ini terbagi dua. Yang satu dianugerahi Allan ilmu pengetahuan lalu diberikannya kepada orang lain dengan tidak mengharap apa-apa dan tidak diperjual-belikan. Ulama yang seperti ini dido'akan kepadanya oleh burung di udara, ikan dalam air, hewan di atas bumi dan para malaikat yang menuliskan amal manusia. Dia dibawa kehadapan Allah Ta'ala pada hari qiamat, sebagai se¬orang tuan yang mulia, sehingga menjadi teman para rasul Tuhan. Yang satu lagi dianugerahi Allah ilmu pengetahuan dalam dunia ini dan kikir memberikannya kepada hamba Allah, mengharap apa-apa dan memperjual-belikan. Ulama yang seperti ini datang pada hari qiamat, mulutnya dikekang dengan kekang api neraka. Di hadapan

234

Manusia ramai, tampil seorang penyeru, menyerukan : "Inilah sianu anak si anu dianugerahi Allah ilmu pengetahuan di dunia, maka ia kikir memberikannya kepada hamba Allah, dia mengharap apa-apa dan memperjual-belikannya.
Ulamak tadi di'azabkan sampai selesai manusia lain dihitung amalan-nya(dihisab)".

Yang lebih dahsyat dari itu lagi, ialah riwayat yang menerangkan bahwa ada seorang laki-laki menjadi pesuruh Nabi Musa as. Laki-laki itu selalu mengatakan : "Diceriterakan kepadaku oleh Musa Pilihan Allah. Diceriterakan kepadaku oleh Musa yang Dilepaskan Allah (Najiullah). Diceriterakan kepadaku oleh Musa yang berkalam dengan Allah (Kalimullah)". Sehingga orang itu menjadi kaya raya banyak hartanya: Kemudian orang itu hilang, tidak diketahui oleh Musa as. kemana perginya. Maka Musa as. bertanya kesana kemari tetapi tidak mendapat berita apa-apa.
Pada suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Musa as. membawa seekor babi dan pada leher babi itu tali hitam. Bertanya Musa as. pada laki-laki itu : "Kenalkah engkau si anu?"
Menjawab laki-laki itu : "Kenal! Dialah babi ini". Maka berdo'a'Musa as. : "Wahai Tuhanku! Aku bermohon kehadliratMu. Kembalikanlah orang ini kepada keadaannya semula, supaya aku dapat menanyakan, apakah yang telah menimpa dirinya !'.'
Maka Allah 'Azza wa Jalla mewahyukan kepada Musa as. : "Sekiranya engkau meminta kepiadaKu dengan apa yang telah dimintakan Adam atau lebih kurang lagi, tidak juga Aku perkenankan. Tetapi Aku kabarkan kepadamu, mengapa Aku berbuat begitu, adalah disebabkan orang itu mencari dunia dengan agama".
Yang lebih berat lagi dari ini, ialah yang diriwayatkan Ma'az bin Jabal ra. suatu hadits mauquf dan marfu' bahwa Nabi saw. bersabda : "Diantara fitnah dari seorang yang berilmu ialah lebih suka ia berkata-kata dari pada mendengar. Sebab dalam perkataan itu ba¬nyak bunga dan tambahan dan belum ada jaminan terpelihara dari kesalahan. Dalam berdiam diri timbul keselamatan dan tanda beril¬mu pengetahuan. Diantara orang yang berilmu (ulama), ada yang menyimpan saja ilmunya, tidak suka ada pada orang lain. Orang yang semacam ini, dalam lapisan pertama dari api neraka. Diantara

235

orang yang berilmu, ada yang bersikap sebagai raja dengan ilmunya. Jika ada pengetahuannya yang ditolak orang atau dipandang orang lemah dan kurang benar, maka marahlah dia. Orang yang semacam ini dalam lapisan kedua dari api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang menyediakan ilmunya dan pembahasan ilmiahnya yang mendalam untuk orang yang terkemuka dan yang kaya saja dan tidak mau melihat kepada orang yang memerlukan kepada ilmu pengetahuannya. Orang yang semacam ini dalam lapisan ketiga dari api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang mengangkat dirinya, untuk memberi fatwa, lalu ia berfatwa salah. Allah Ta'ala memarahi orang-orang yang memberatkan dirinya dengan beban yang tidak disanggupinya. Orang yang semacam ini dalam lapisan keempat dari api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang berbicara cara Yahudi dan Nasrani untuk memperlihatkan ketinggian ilmu pengetahuannya. Orang yang semacam ini dalam lapisan kelima dari api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang membuat ilmunya untuk prestige (kehormatan diri), kemuliaan dan keharuman nama ditengah-tengah masyarakat. Orang yang semacam ini dalam lapisan keenam dalam api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang menarik kebanggaan dan kesombongan dengan ilmunya. Bila ia memberi nasehat, menghardik. Dan bila dinasehati, berkeras kepaia. Orang yang semacam ini dalam lapisan ketujuh dari api neraka.
Wahai saudaraku! Hendaklah engkau berdiam diri! Dengan berdiam diri, engkau dapat mengalahkan setan. Waspadalah dari tertawa tanpa ada yang mena'jubkan dan dari berjalan tanpa ada maksud! Pada hadits yang lain, tersebut : "Ada orang yang berkumandang pujian terhadap dirinya memenuhi antara masyriq dan magrib, tetapi pada sisi Allah tidak ada timbangannya seberat sayap lalat". Diceriterakan bahwa seorang laki-laki dari Khurasan membawa kepada Al-Hasan suatu bungkusan sesudah Al-Hasan meninggalkan majlisnya. Bungkusan tersebut berisi lima ribu dirham dan sepuluh potong kain dari benang halus.
Berkata laki-laki itu : "Hai Abu Said! (Panggilan kepada Al-Hasan) Inilah belanja dan inilah pakaian!"

236

Menjawab Al-Hasan : "Kiranya Allah melimpahkan kesehatan kepadamu! Kumpulkanlah ini untuk belanjamu dan pakaianmu! Kami tidak berhajat kepadanya. Sesungguhnya orang yang duduk seumpama majlisku itu dan menerima dari orang seperti ini, maka dia akan menjumpai Allah Ta'ala pada hari qiamat dan dia tidak berbudi".
Diriwayatkan dari Jabir hadits mauquf dan marfu' (hadits tidak kuat) bahwa Nabi saw. bersabda :
"Janganlah engkau duduk pada setiap orang yang berilmu, kecuali pada orang yang berilmu yang mengajak kamu dari lima kepada lima : dari keraguraguun kepada keyakinan, dari ria kepada keikhlasan, dari kegemaran kepada dunia kepada zuhud, dari takabur kepada kerendahan diri dan dari permusuhan kepada naschat-menaschati".
Berfirman Allah Ta'ala :
(Fakharaja 'alaa qaumihii fii ziinatihii qaalalladziina yuriiduunal hayaatad dun-yaa yaalaita lanaa mitsla maa uutiya qaaruunu inna-huu ladzuu hadhdhin 'adhiim wa qaalalladziina uutul 'ilma waila-kum tsawaabullaahi khairun liman aamana).
Artinya : "Lalu dia keluar kepada kaumnya dengan perhiasannya (yang indah-indah). Orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia ini berkata: Wahai! Kiranya kami mempunyai seperti apa yang diberikan kepada Qarun! Sesungguhnya dia beruntung yang besar (benasib baik)! Tetapi orang-orang yang berpengetahuan berkata: Malang nasibmu! Pahala dari Tuhan lebih baik untuk orang yang beriman' (S. Al-Qashash, ayat 78 - 80).
Maka ahli ilmu itu tahu memilih akhirat atas dunia.
Di antara tanda-tanda ulatna akhirat itu, tidak bertentangan perbuatannya dengan perkataannya. Bahkan ia tidak menyuruh sesuatu

237

sebelum dia sendiri menjadi orang pertama yang mengerjakannya Berfirman Allah Ta'ala : "Adakah kamu menyuruh manusia dengan kebaikan dan kamu lupakan akan dirimu sendiri?" (S. Al-Baqarah, ayat 44).

Berfirman Allah Ta'ala : (Kabura maqtan 'indallaahi an taquuluu maa laa tafaluun). Artinya : "Amat besar kutuk dari Allah Ta'ala bahwa kamu katakan apa yang tidak kamu kerjakan ". (S Ash.Shaff, ayat 3).

Berfirman Allah Ta'ala mengenai kisah Nabi Syu'aib as. : "Aku tidak kehendaki bertentangan dengan kamu kepada apa yang Aku larangkan kamu daripadanya". (Hud, ayat 88).
Berfirman Allah Ta'ala : "Berbaktilah kepada Allah dan Allah mengajarkan kamu ". (Baqarahi ayat 282).
Berfirman Allah Ta'ala : "Berbaktilah kepada Allah dan tahulah! Dan berbaktilah kepada Allah dan dengarlah!" Berfirman Allah Ta'ala kepada Isa as. : "Hai Putera Maryam! Ajarilah dirimu sendiri! Jika engkau telah memperoleh pelajaran, maka ajarilah orang lain. Kalau tidak, maka malulah kepada-Ku!" Bersabda Nabi saw. : "Aku lalui pada malam 'isra'ku pada beberapa kaum yang di sayat bibirnya dengan gunting-gunting dari api neraka. Maka aku tanyakan : "Siapakah kamu ini?'.' Mereka menjawab : "Kami adalah orang yang menyuruh dengan kebaikan dan tidak kami kerjakan. Kami melarang dari kejahatan dan kami kerjakan". Bersabda Nabi saw. :

238

(Halaaku ummatii 'aalimun faajirun wa 'aabidun jaahilun wa syar-rusy-syiraari syiraarul ulamaa-i wa khairul khiyaari khiyaarul 'ula-maa').
Artinya : "Yang binasa dari ummatku ialah orang berilmu yang dhalim dan orang yong beribadah yang bodoh. Kejahatan yang paling jahat ialah kejahatan orang berilmu dan kebaikan yang paling baik ialah kebaikan orang yang berilmu".
Berkata Al-Auza'i ra. : "Diduga oleh pembuat peti-peti mayat bahwa tak ada yang lebih busuk selain dari mayat orang-orang yang tak beriman. Maka diwahyukan Tuhan kepadanya bahwa perut ulama su' lebih busuk dari itu ".
Berkata Al-Fudlail bin 'lyadl ra. : "Sampai kepadaku bahwa orang berilmu yang fasiq didahulukan penyiksaannya pada hari qiamat, daripada penyembah-penyembah berhala ".
Berkata Abud-Darda" ra. : "Siksaan neraka bagi orang yarig tidak berilmu, satu kali dan bagi orang yang berilmu yang tidak mengamalkan tujuh kali".
Berkata Asy Sya'bi : "Muncul pada hari qiamat suatu golongan dari penduduk sorga, berhadapan dengan suatu golongan dari penduduk neraka. Maka bertanya penduduk sorga : "Apakah sebabnya maka tuan-tuan dimasukkan ke dalam neraka? Adapun kami ini, maka dimasukkan Allah ke dalam sorga ialah karena kelebihan pengajaran dan pelajaran tuan-tuan ".
Maka menjawab penduduk. neraka : "Karena kami menyuruh de¬ngan kebajikan dan tidak kami kerjakan, melarang dari kejahatan dan kami kerjakan".
Berkata Hatim Al-Ashamm ra. : "Tidak adalah kerugian yang pa¬ling hebat pada hari qiamat, selain dari orang yang mengajari manusia ilmu pengetahuan lalu diamalkan mereka, sedang dia sen¬diri tidak mengamalkannya. Maka mereka memperoleh kemenangan dengan sebabnya dan dia sendiri binasa ".
Berkata Malik bin Dinar : "Bahwa orang yang berilmu apabila tidak berbuat sepanjang ilmunya, maka lenyaplah pengajarannya dari hati manusia seperti lenyapnya embun pagi dari bukit Shofa".

239

Maka berpantunlah mereka :
"Wahai pengajar manusia !
Engkau tertuduh ........................!
Engkau larang mereka beberapa perhara.
Engkau sendiri mengerjakannya ..............
Engkau rajin menasehati mereka ...............................
tetapi, segala yang terlarang, engkau yang mengerjakannya itu.
Engkau hinakan dunia dan orang yang suka kepadanya,
sedang engkau sendiri paling suka kepada dunia itu ............,

Berkata penyair lain :
"Janganlah engkau melarang sesuatu tingkah laku
dan engkau sendiri mengerjakannya.
Amatlah sangat memalukan kamu,
apabila engkau sendiri memperbuatkannya '.

Berkata Ibrahim bin Adham ra. : "Aku melewati batu besar di Makkah yang tertulis diatasnya : "Balikkanlah aku, engkau akan dapat mengambil ibarat (suatu pemandangan) ". Maka aku balikkan lalu aku lihat tertulis padanya : "Dengan yang engkau ketahui tidak engkau kerjakan, maka bagaimana engkau mencari ilmu tentang sesuatu yang belum engkau ketahui!"
Berkata Ibnus-Sammak ra. : "Berapa banyak orang yang memperingatkan orang lain kepada Allah, yang lupa kepada Allah! Berapi banyak orang yang memberi peringatan supaya takut kepada Allah, yang berani menentang Allah! Berapa banyak orang yang mengajak orang lain mendekatkan diri kepada Allah, yang jauh dari Allah! Berapa banyak orang yang menyerukan orang lain kepada Allah, yang lari dari Allah! Dan berapa banyak orang yang membaca Kitab Allah, terhapus hatinya dari ayat-ayat Allah! ". Berkata Ibrahim bin Adham ra. : "Kami perbaiki bahasa perkataan kami, maka kami tidak salah. Dan kami telah salah pada perbuatan kami tetapi tidak kami perbaiki".
Berkata Al-Auza'i: "Apabila diperhatikan benar perbaikan bahasa, maka hilanglah khusu' ".
Diriwayatkan Makhul dari Abdur Rahman bin Ghanam bahwa Abdur Rahman mengatakan : "Berceritera kepadaku sepuluh orang shahabat Nabi saw. dengan katanya : "Kami sedang belajar ilmu di masjid Quba", tiba-tiba masuk Rasulullah saw. lalu bersabda

240

(Ta'allamuu maa syi'flun an ta'allamuu falan ya'jarakumullaahu hattaa tatmaluu).
Artinya: "Pelajarilah apa yang engkau kehendaki mempelajarinya. Tetapi engkau tidak diberi pahala oleh Allah Ta'ala, sebelum engkau 'amalkan".
Bersabda Nabi Isa as. : "Orang yang mempelajari ilmu dan tidak mengamalkannya adalah seumpama wanita yang berbuat serong dengan sembunyi, maka ia hamil. Setelah bersalin, maka pecahlah kabar tentang perbuatan jahat wanita tersebut. Maka begitu pulalah orang yang tidak berbuat menurut ilmunya, akan disiarkan Allah pada hari qiamat dihadapan orang banyak". Berkata Mu'adz ra. : "Jagalah tergelincirnya orang berilmu, karena keduduhannya tinggi di mata orang banyak! Maka dia diikuti mereka, meskipun dia telah tergelincir".
Berkata Dinar ra. : "Apabila tergelincir orang yang berilmu, maka tergelincirlah alam makhluk".
Berkata Umar ra. : "Dengan tiga sebab hancurlah zaman. Salah satu dari padanya, tergelincimya orang berilmu"
Berkata Ibnu Mas'ud : "Akan datang kepada manusia suatu masa, yang terbalik kemanisan hati menjadi asin. Sehingga pada hari itu, orang yang berilmu dan yang mempelajari ilmu tak dapat mengam¬bil manfaat dari ilmunya. Maka hati orang-orang yang berilmu, dari mereka seumpama tanah kosong yang bergaram, yang turun kepa¬danya hujan dari langit, maka tidak juga diperoleh rasa tawar pada¬nya. Yaitu, apabila condong hati orang berilmu kepada mencintai dunia dan melebihkannya dari akhirat. Maka pada ketika itu, dicabutkan Allah sumber-sumber hikmah dan dipadamkanNya lampu petunjuk dari hati mereka. Maka akan diceriterakan kepadamu oleh orang yang berilmu dari mereka itu ketika engkau menjumpainya, bahwa dia takut akan Allah dengan lisannya. Dan kedzaliman jelas kelihatan pada amal-perbuatannya. Alangkah suburnya lidah mere¬ka ketika itu dan tandusnya hati mereka! Demi Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia! Tidaklah terjadi yang demikian itu selain karena para guru mengajar bukan karena Allah dan para pelajar

241

belajar bukan kerena Allah".
Dalam Taurat dan Injil tertulis : "Janganlah engkau mencari ilmu yang belum engkau ketahui, sebelum engkau amalkan apa yang telah engkau ketahui". Berkata Hudzaifah ra. : "Sesungguhnya engkau sekarang berada pada zaman, di mana orang yang meninggalkan sepersepuluh dari yang diketahuinya, menjadi binasa. Dan akan datang suatu zaman, di mana orang yang mengerjakan padanya sepersepuluh dari apa yang diketahuinya, niscaya ia selamat. Sebabnya, adalah karena banyaknya orang yang berbuat batil".
Ketahuilah bahwa orang berilmu itu adalah serupa dengan kadli (hakim). Nabi saw. bersabda :
(Al-Qudlaatu tealaatsatun qaadlin qadlaa bil haqqi wa huwa ya'lamu fadzaalika fil jannah, wa qaadlin qadlaa bil jauri wa huwa yalamu aulaa yalamu fahuwa finnaari wa qaadlin qadlaa bighairi maa amarallaahu bihii fahuwa finnaar).
Artinya : "Kadli itu tiga macam : semacam menghukum dengan yang benar dan dia itu tahu, maka dia itu dalam surga. Semacam menghukum dengan kedzaliman dan dia itu tahu atau tidak tahu yang demikian maka dia itu dalam neraka. Dan semacam lagi menghukum di luar dari pada perintah Allah, maka dia itu dalam neraka". Berkata Ka'ab ra. : "Adalah pada akhir zaman, orang-orang yang berilmu, menyuruh manusia zuhud dari dunia dan mereka sendiri tidak zuhud. Menyuruh manusia takut kepada Tuhan dan mereka sendiri tidak takut. Melarang manusia mendatangi wali-wali negeri dan mereka sendiri datang kepada wali-wali negeri itu. Mereka memilih dunia dari akhirat, mereka makan hasil usaha lidah mereka. Mereka mendekati orang-orang kaya, tidak orang-orang miskin. Mereka cemburu kepada ilmu pengetahuan seperti kaum wanita cemburu kepada kaum laki-laki. Ia marah kepada teman duduknya, apabila ia duduk dengan orang lain. .

242

Orang-orang yang berilmu semacam itulah, orang-orang yang keras hati, musuh Tuhan YangMaha Pengasih".
Bersabda Nabi saw. : "Kadang-kadang setan itu menangguhkan kamu dengan ilmu ".
Lalu bertanya yang hadlir : "Ya Rasulullah! Bagaimana yang demi¬kian itu?".
Menjawab Nabi saw. : "Yaitu, setan itu mengatakan : "Tuntutlah ilmu dan jangan beramal dulu sebelum tahu benar. Maka senantiasalah setan itu berkata demikian bagi ilmu dan menangguhkan terhadap amal perbuatan, sehingga mati yang belajar itu dan tidak beramal".
Berkata Sirri As-Suqthi : "Adalah seorang laki-laki mengasingkan diri pergi beribadah, di mana tadinya amat rajin mempelajari ilmu dhahir. Maka aku bertanya kepadanya, lalu ia menjawab : "Saya bermimpi berjumpa dengan orang yang mengatakan kepadaku : "Berapa banyak engkau menyia-nyiakan ilmu, maka sebanyak itu pulalah engkau disia-siakan Allah". Aku menjawab bahwa aku memelihara ilmu itu, maka berkata orang yang dalam mimpi tadi : "Memeliharakan ilmu ialah mengamalkan ilmu itu". Maka aku tinggalkan belajar dan pergi beramal"
Berkata Ibnu Mas'ud ra. : "Tidaklah ilmu itu dengan banyak ceritera, tetapi ilmu itu takut kepada Tuhan".
Berkata Al-Hasan : "Pelajarilah apa yang kamu mau mempelajarinya! Demi Allah! Kamu tidak akan diberi pahala oleh Allah sebelum beramal. Sebab orang-orang bodoh itu, cita-citanya meriwayatkan ilmu dan orang-orang yang berilmu itu cita-citanya me¬melihara ilmu itu dengan amal".
Berkata Malik ra. : "Menurut ilmu itu baik dan mengembangkannya baik apabila niat itu betul. Tetapi perhatikanlah, apa yang harus bagimu dart pagi sampai petang! Maka Janganlah engkau lebihkan sesuatu itu dari ilmu".
Berkata Ibnu Ma'ud ra. : "Diturunkan Al-Qur-an untuk diamalkan. Maka ambillah mempelajarinya menjadi amalan. Dan akan datang suatu kaum yang membersihkan Al-Qur-an seperti membersihkan seloka. Mereka itu tidaklah termasuk orang baik. Orang berilmu yang tidak mengamalkan, adalah seumpama orang sakit yang menerangkan tentang obat dan seumpama orang lapar

243

menerangkan tentang kelazatan makanan dan makanan itu tidak diperolehinya".
Searah dengan yang diatas tadi, firman Allah Ta'ala : (Wa lakumul wailu mimmaa tashifuun).
Artinya : "Bagi kamu neraka wailun dari apa yang kamu terangkan ". (S. Al-Anbia, ayat 18).

Dalam hadits tersebut :
(Mimmaa akhaafu 'alaa ummatii zillatu 'aalimin wa jidaalu munaa-fiqin fil Qur-an).
Artinya : "Diantara yang aku takuti atas ummatku ialah tergelincirnya orang berilmu dan pertengkaran orang munafiq tentang Al-Qur-an". (1)
Dan diantara tanda-tanda ulama akhirat itu, ialah kesungguhannya mencari ilmu yang berguna tentang akhirat, yang menggembirakan pada ta'at, menjauhkan diri dari ilmu pengetahuan yang sedikit manfa'atnya dan banyak padanya pertengkaran, kata ini dan kata itu (qil dan qal).
Orang yang mengenyampingkan pengetahuan untuk beramal dan sibuk dengan pertengkaran adalah seumpama orang sakit, yang pada tubuhnya bermacam-macam penyakit dan ia berjumpa dengan seorang dokter yang ahli, pada waktu yang sempit yang hampir habis. Maka si sakit tadi menggunakan waktu yang sedikit itu untuk menanyakan kegunaan resep, obat dan keganjilan-keganjilan dalam ilmu kedokteran dan meninggalkan kepentingannya yang mendesak untuk memperoleh pengobatan. Orang yang semacam itu adalah bodoh sekali.
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata: "Ajarilah hamba ilmu yang ganjil-ganjil!".

(1) Dirawikan Ath-Thabrani dari Abid-Darda' dan Ibnu Hibban dari Imran bin Hushain.

244

Maka menjawab Nabi saw. : "Apakah yang engkau perbuat mengenai pokok pengetahuan ?".
Bertanya orang itu : "Yang manakah pokok pengetahuan itu?". Menjawab Nabi saw. : "Kenalkah engkau akan Tuhan ?". "Kenal!", menjawab orang itu.
"Apakah yang engkau perbuat tentang hak Allah Ta'ala?".
"Masya Allah banyak!',' jawab orang itu.
"Kenalkah engkau akan mati?" tanya Nabi saw.
"Kenal, ya Rasulullah!',' jawabnya.
"Apakah yang engkau sediakan untuk mati?" tanya Nabi saw. lagi.
"Masya Allah banyak! jawabnya.
Kemudian, maka bersabda Nabi saw. : "Pergilah, kemudian kuatkanlah apa yang ada di Sana! Sudah itu datanglah ke mari, akan kami ajarkan engkau ilmu yang ganjil-ganjil. (1)
Tetapi sewajarnyalah hendaknya, pelajar itu sejenis dengan apa yang diriwayatkan dari Hatim Al-Ashamm - murid dari Syaqiq Al-Balakhi ra. Bahwa Syaqiq bertanya kepada Hatim : "Sejak kapan engkau bersama aku?".
Menjawab Hatim : "Sejak tiga puluh tiga tahun!".
Bertanya lagi Syaqiq : "Apakah yang engkau pelajari padaku selama itu?".
Menjawab Hatim : "Delapan masalah!".
Berkata Syaqiq dengan terperanjat : "Innaalillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun! Terbuanglah saja umurku bersamamu. Dan engkau tidak pelajari kecuali delapan masalah saja".
Menyela Hatim : "Wahai guruku! Aku tidak pelajari yang lain dan aku tidak ingin berdusta".
Maka menyambung Syaqiq : "Terangkanlah masalah yang delapan itu supaya aku dengar!".
Berkata Hatim : "Aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing-masing mempunyai kekasih dan ingin bersama de¬ngan kekasihnya sampai ke kubur. Maka apabila telah sampai ke kubur, niscaya ia berpisah dengan kekasih itu.

(1) Diriwayatkan Ibus-Sinni dan Abu Na'im dan Ibnu Abdil Barr dari Abdullah bin AI-Musawwar dan hadili ini dla'if sekali.

245

Maka aku mengambil perbuatan baik menjadi kekasihku. Maka apabila aku masuk kubur, masuk pulalah kekasihku bersama aku".
Maka berkata Syaqiq : "Benar sekali, ya Hatim! Dan yang kedua?".* Menyambung Hatim : "Aku perhatikan firman Allah Ta'ala :
(Wa ammaa man khaafa maqaama rabbihii wa nahannafsa 'anil hawaa fainnal jannata hiyal ma'waa)
Artinya : "Dan adapun orang yang takut dihadapan kebesaran Tuhannya dan menahan jiwanya dari keinginan yang rendah (hawa nafsu), maka sesungguhnya taman (surga) tempat kediamannya ".
(S.An-Nazi' at, ayat 40 - 41).
Maka yakinlah aku bahwa firman Allah Ta'ala itu benar. Lalu aku perjuangkan diriku menolak hawa nafsu itu, sehingga tetaplah aku ta 'at kepada Allah Ta'ala.
Yang ketiga, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat, bahwa tiap-tiap orang yang ada padanya sesuatu benda, menghargai, menilai dan memeliharai benda itu. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta'ala :
(Maa 'indakum yanfadu wa maa'indaltaahi baaq).
Artinya : "Apa yang di sisi kamu itu akan hilang tetapi apa yang di sisi Allah itulah yang kekal". (S. An-Nahl, ayat 96).
Maka tiap kali jatuh ke dalam tanganku sesuatu yang berharga dan bernilai, lalu kuhadapkan dia kepada Allah, semoga kekal dia terpelihara pada sisiNya.
Yang keempati aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing-masing mereka kembali kepada harta, kebangsawanan, kemuliaan dan keturunan. Lalu aku memandang pada semuanya itu, tiba-tiba tampaknya tak ada apa-apa. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta'ala :

246

(Inna akramakum 'indallaahi atqaakum). Artinya':
"Yang termulia dari kamu pada sisi Allah ialah yang kuat taqwanya (baktinya". (S. Al-Hujurat, ayat 13).
Maka berbuat taqwalah aku, sehingga adalah aku menjadi orang mulia di sisi Allah.
Yang kelima, aku memandang kepada makhluk ini, di mana mereka itu tusuk-menusuk satu sama lain, kutuk-mengutuk satu sama lain. Dan asal ini semuanya, ialah dengki. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta'ala :
(Nahnu qasamnaa bainahum ma'iisyatahum fil haydatid-dunya).
Artinya : "Kamilah yang membagi-bagikan penghidupan diantara mereka
dalam kehidupan di dunia ini". (S. Az-Zukhruf, ayat 32).
Maka aku tinggalkan dengki itu. Dan aku jauhkan diri dari orang banyak. Dan aku tahu bahwa pembahagian rezeki itu, adalah dari sisi Allah Ta'ala. Maka aku tinggalkan permusuhan orang banyak kepadaku.
Yang keenam, aku memandang kepada makhluk ini, berbuat kedurhakaan satu sama lain dan berperang satu sama lain.
Maka kembalilah aku kepada firman Allah Ta'ala :
(Innasy-syaithaana lakum 'aduwwun fattakhidzuuhu aduwwaa). Artinya :
"Sesungguhnya setan itu musuh kamu. Sebab itu perlakukanlah dia sebagai musuh ! ". (S. Al-Fathir, ayat 6).
Maka aku pandang setan itu musuhku satu-satunya dan dengan-sungguh-sungguh aku berhati-hati dari padanya, karena Allah Ta'ala

247

mengaku bahwa setan itu musuhku. Dan aku tinggalkan permusuhan makhluk dengan lainnya.
Yang ketujuh, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing-masing mereka mencari sepotong darl dunia ini. Lalu ia menghinakan diri padanya dan ia masuk pada yang tidak halal daripadanya. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta'ala: (Wa maa min daabbatin fil-ardli illaa 'alallaahi rizquhaa).
Artinya: "Dan tidak adalah dari yang merangkak di bumi ini melainkan rezekinya pada Allah ". (S. Hud, ayat 6).
Maka tahulah aku bahwa aku ini salah satu dari yang merangkak-rangkak, yang rezekinya pada Allah Ta 'ala. Dari itu aku kerjakan apa yang menjadi hak Allah atasku dan aku tinggalkan yang menjadi hakku pada sisi-Nya ".
Yang kedelapan, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing-masing mereka bersandar kepada makhluk. Yang ini kepada bendanya, yang itu kepada perniagaannya, yang itu ke¬pada perusahaannya dan yang itu lagi kepada kesehatan badannya. Dan masing-masing makhluk itu bersandar kepada makhluk, yang seperti dia.
Lalu aku kembali kepada firman Allah Ta'ala: (Wa man yatawak-kal 'alallaahi fuhuwa hasbuh).
Artinya: "Dan barangsiapa menyandarkan dirinya kepada Allah, maka
Allah mencukuphan keperluannya". (S. Ath-Thalaq, ayat 3).
Maka akupun menyandarkan diriku (bertawakkal) kepada Allah Ta 'ala. Dan Allah Ta'ala mencukupkan keperluanku".
Berkata Syaqiq: "Ya Hatim! Kiranya Allah Ta'ala memberikan taufiq kepadamu! Aku telah memperhatikan segala ilmu pengetahuan Taurat, Injil, Zabur dan Al-Qur-an yang mulia, maka aku

248

peroleh, bahwa segala macam kebajikan dan keagamaan, berkisar (atas delapan masalah tersebut. Barang siapa memakainya, maka berarti dia telah memakai kitab empat itu".
Maka. bahagian ini dari ilmu pengetahuan, tidaklah dipentingkan Memperolehnya dan memperhatikannya selain oleh ulama akhirat. Adapun ulama dunia, maka dikerjakannya yang memudahkan mencari harta dan kemegahan. Dan disia-siakannya ilmu yang seperti ini, yang diutuskan oleh Allah para Nabi as. membawanya.
Berkata Adl-Dlahhak bin Muzahim : "Aku dapati para ulama dan tidak dipelajari oleh sebahagian mereka dari yang lain, melainkan tentang wara' (memelihara diri dari dosa dan harta syubhat). Tetapi ulama sekarang tidak dipelajarinya selain dari ilmu kalam".
Dan diantara tanda-tanda ulama akhirat itu, tidak ingin kepada kemewahan, pada makanan, minuman dan pakaian. Tidak ingin kepada kecantikan, pada perabot rumah tangga dan tempat tinggal. Tetapi memilih kesederhanaan pada semuanya itu. Serupa keadaannya dengan ulama salaf, diberi Allah kiranya rakhmat kepada me¬reka sekalian. Dan ingin mencukupkan dengan sedikit-dikitnya dalam segala hal.
Semakin bertambah keinginannya ke arah sedikit, semakin bertambah dekatnya dengan Allah Ta'ala dan tinggi kedudukannya dalam barisan ulama akhirat.
Dibuktikan kepada yang demikian oleh suatu ceritera dari Abu Abdillah AI-Khawwash. Dia termasuk diantara teman sejawat Hatim Al-Ashamm. Berceritera Abu Abdillah : "Aku pergi bersama Hatim ke Arrai dan bersama kami tiga ratus dua puluh orang laki-laki. Kami bermaksud mengerjakan ibadah hajji. Pada mereka itu kantong bulu. Tidak ada bersama mereka kopor pakaian dan makanan. Maka kami masuk ke tempat seorang saudagar yang sederhana, yang mempunyai belas kasihah kepada fakir miskin. Pada malam itu kami menjadi tamunya.
Pada keesokan harinya, bertanya tuan rumah kepada Hatim : "Apakah saudara ada mempunyai keperluan apa-apa? Sebab saya bermaksud hendak mengunjungi seorang ahli fiqih kami, yang sedang sakit sekarang".
Menjawab Hatim : "Mengunjungi orang sakit ada kelebihannya dan memandang wajah ahli fiqih itu suatu ibadah. Saya pun pergi ber¬sama tuan!"

249

Adalah yang sakit itu Muhammad bin Muqatil kadli negeri Arrai. Ketika sampai kami di pintu, rupanya suatu istana yang mulia dan cantik. Hatim termenung, seraya berkata : "Beginikah pintu rumah seorang yang berilmu (seorang alim)?".
Kemudian diizinkan, lalu mereka masuk. Rupanya sebuah rumah yang sangat cantik, cukup luas, bersih, berpemandangan indah dan bertirai. Maka Hatim termenung.
Kemudian mereka masuk ke tempat di mana orang sakit itu berada. Di situ orang sakit berbaring diatas kasur yang empuk. Dikepalanya seorang bujang dengan memegang alat pemukul lalat.
Maka duduklah yang berkunjung tadi (saudagar itu) di samping kepala si sakit, menanyakan keadaan sakitnya, sedang Hatim berdiri saja. Lalu Ibnu Muqatil (orang sakit itu) mempersilakan Hatim duduk. Hatim menjawab : "Tak usah, tuan!".
Ibnu Maqatil bertanya : "Barangkali ada perlu?".
"Ada! jawab Hatim.
"Apa? tanya Ibnu Muqatil.
"Ada suatu masalah yang ingin saya tanyakan kepada tuan!',' sambung Hatim.
"Tanyalah!".
"Bangunlah tuan!',' kata Hatim. "Duduklah, supaya aku tanyakan!".
Maka bangunlah Ibnu Muqatil dan duduk. Lalu Hatim bertanya :
"Ilmu tuan ini, dari mana tuan ambil?".
"Dari orang-orang yang dapat dipercayai, yang menerangkan ilmu itu kepada saya".
"Orang-orang itu, dari siapa?".
"Dari para shahabat Rasulullah saw. ".
"Para shahabat itu, mengambil dari siapa?".
"Dari Rasulullah saw.".
"Rasulullah saw. mengambil dari siapa?".
"Dari Jibril as. dan Jibril mengambil dari pada Allah Ta'ala".
Maka berkata Hatim : "Menurut apa yang dibawa Jibril as. daripada Allah Ta'ala kepada Rasulullah saw. dan Rasulullah saw. membawanya kepada para shahabatnya dan para shahabat kepada orang-orang yang dipercayai dan orang-orang yang dipercayai membawa-nya kepada tuan, maka adakah tuan mendengar dalam pelajaran

250

itu bahwa orang yang terdapat dalam rumahnya kemewahan dan luas rumahnya cukup lebar, akan memperoleh derajat tinggi pada Allah'AzzawaJalla?".
Menjawab Ibnu Muqatil : "Tidak!".
Berkata Hatim : "Bagaimana yang tuan dengar?".
Menjawab Ibnu Muqatil : "Yang saya dengar bahwa orang yang zuhud di dunia, gemar ke akhirat, mencintai orang miskin dan mendahulukan untuk akhiratnya, maka memperoleh kedudukan yang tinggi pada sisi Allah Ta'ala".
Berkata Hatim : "Tuan sekarang, siapa yang tuan ikut. Nabikah serta para shahabat ra. dan orang-orang shalih ra. Fir'aun dan Namruz, orang pertama yang mendirikan gedung dengan batu mar¬mar dan batu merah ?.
Wahai ulama su' (ulama jahat)! Orang yang seperti tuan, bila dilihat oleh orang bodoh, yang memburu dan gemar kepada dunia, akan berkata : "Orang yang berilmu sudah begitu, apakah tidak patut aku lebih jahat lagi dari padanya?".
Maka keluarlah Hatim dari situ dan bertambahlah penyakit Ibnu Muqatil.
Peristiwa yang terjadi antara Hatim dan Ibnu Muqatil, sampai kepada penduduk Arrai, lalu berkatalah mereka kepada Hatim : "Bahwa Ath-Thanafisi di Qazwin lebih mewah lagi dari Ibnu Muqatil".
Maka sengajalah Hatim pergi ke sana, lalu masuk ke rumah Ath-Tahnafisi seraya berkata : "Kiranya tuan diberi rakhmat oleh Allah. Saya ini orang bodoh, ingin benar tuan ajarkan saya permulaan pelajaran agama dan anak kunci shalat, bagaimana saya berwudlu untuk shalat!".
Menjawab Ath-Thanafisi : "Boleh, dengan segala senang hati ! Hai! Ambillah kendi yang berair".
Lalu dibawakan kepadanya. Maka duduklah Ath-Thanafisi meng¬ambil wudlu tiga-tiga kali, kemudian berkata : "Beginilah cara ber¬wudlu! Cobalah berwudlu!".
Maka berkata Hatim : "Biarlah di tempat tuan, supaya saya berwu¬dlu dihadapan tuan! Sehingga benar-benar tercapai apa yang saya maksudkan".
Maka bangunlah Ath-Thanafisi, dan duduklah Hatim berwudlu.

251

Dibasuhnya ke dua lengannya empat-empat kali. Lalu menegur Ath-Thanafisi : "Hai, mengapa engkau memboros ?".
Menjawab Hatim : "Apa yang saya boroskan?".
"Kau basuhkan lenganmu empat kali".
Subhanallah! Maha Suci Tuhan Yang Maha Besar!". Menjawab' Hatim. "Hanya setapak tangan air, sudah memboros. Tuan dengan ini seluruhnya, apakah tidak memboros?".
Maka tahulah Ath-Thanafisi, bahwa maksud Hatim bukanlah belajar. Lalu masuklah ia ke dalam rumahnya dan tidak muncul-muncul di muka umum selama empat puluh hari.
Ketika Hatim datang di Bagdad, maka berkerumunlah penduduk mengelilinginya seraya berkata : "Hai Bapak Abdurrahman! Tuan seorang yang sukar mengeluarkan kata-kata, lagi bodoh. Siapa saja yang berbicara dengan tuan, tuan potong".
Menjawab Hatim : "Padaku ada tiga perkara, yang ingin aku lahirkan kepada lawanku : Aku gembira apabila lawanku betul, aku bersedih hati apabila lawanku salah dan aku jaga diriku jangan sampat tidak mengetahui tentang lawan itu ". Berita ini sampai kepada Imam Ahmad bin Hanbal, maka berkatalah Imam Ahmad : "Subhanallah! Maha Suci Allah! Alangkah cerdasnya Hatim! Nah, mari kita pergi menjumpai Hatim! Sewaktu telah sampai ke tempat Hatim, maka bertanya Imam Ahmad : "Hai Bapak Abdurrahman! Manakah keselamatan itu di dunia?".
Menjawab Hatim : "Hai Bapak Abdullah! Tak ada keselamatan di dunia sebelum ada padamu empat. perkara : Engkau ma'afkan orang kerena kebodohannya, engkau cegah kebodohan engkau terhadap orang lain, engkau berikan sesuatu kepada orang dan eng¬kau tidak mengharap sesuatu dari orang. Apabila ada demikian, maka selamatlah engkau ".
Kemudian Hatim berangkat ke Madinah. Tiba di situ dia dikerumuni penduduk Madinah. Maka Hatim bertanya : "Kota manakah ini?".
Menjawab orang banyak : "Kota (Madinah) Rasulullah saw.".
"Dimanakah istana Rasulullah saw.? Saya hendak mengerjakan shalat di dalamnya !".
Rasulullah saw. tak mempunyai istana!", menjawab orang banyak. "Hanya mempunyai sebuah rumah yang rendah diatas tanah".
B^gjia istana shahabat-shahabatnya?",tanya Hatim pula.
«Tak ada juga! Mereka hanya mempunyai rumah-rumah yang ren-
dah di atas tanah".
begitu" - kata Hatim. "Hai kaumku! Ini adalah kota;Fir-
Lalu Hatim diambil penduduk dan dibawanya ke tempat Sultan (penguasa), seraya mengatakan : "Orang 'Ajam (bukan Arab) ini mengatakan : "Ini kota Fir'aun!".
Bertanya Sultan : "Mengapa begitu?".
Menjawab Hatim : "Janganlah lekas marah kepadaku! Aku ini orang bodoh yang asing di sini. Saya masuk negeri ini seraya berta¬nya : "Kota siapakah ini?'.' Mereka menjawab : kota (Madinah) Rasulullah saw. Lalu saya bertanya : "Manakah istananya?',' dan Hatim meneruskan ceriteranya.
Kemudian berkata Hatim : "Telah berfirman Allah Ta'ala :
« - "i '""!•••"' ( i) ' •. . '/, ' "> • "
(V. ^V'y^.jJ'Vr' ) • < — f-oy— ^UJj-^yOclHjCi)
(Laqad kaana lakum fii rasuulillaahi uswatun hasanah).
Artinya :
"Sesungguhnya Rasul Allah itu menjadi ikutan (teladan) yang baik
untuk kamu ". (S. Al-Ahzab, ayat 21).
Maka tuan-tuan, siapakah yang tuan-tuan ikut, Rasulullah saw. atau Fir'aun orang yang pertama-tama membangun dengan batu marmer dan batu merah?".
Lalu mereka biarkan dan tinggalkan Hatim.
Inilah ceritera Hatim Al-Ashamm - kiranya Allah memberikan rakhmat kepadanya. Dan akan diterangkan tentang kesederhanaan perjalanan hidup ulama salaf dan ketidak-sukaan mereka kepada kecantikan dengan bukti-bukti yang menunjukkan kepada yang demikian, pada tempat-tempatnya nanti.
Sebenarnya, menghiasi diri dengan yang mubah (yang dibolehkan) tidak haram. Tetapi berkecimpung dengan yang mubah itu, meng-haruskan suka kepadanya, sehingga sukar meninggalkannya.
Terus-terusan menghiasi diri itu, menurut biasanya tidak mungkin bila tidak secara langsung memperoleh se'bab-sebabnya. Untuk

253

menjaga keutuhan sebab-sebabnya itu, terpaksa berbuat perbuatan ma'siat, seumpama bermanis muka, menjaga hati orang banyak dan kehormatan mereka serta hal-hal lain yang terlarang. Untuk penjagaan diri hendaklah menjauhkan yang demikian. Karena orang yang berkecimpung dalam dunia, tidaklah sekali-kali sekali-kali terpelihara dari padanya.'
Jikalah keselamatan diri itu dapat diperoleh serta berkecimpung di dalam dunia, maka tidaklah Rasulullah saw. dengan tegas membelakangi dunia dengan membuka baju kemejanya yang bersulamkan bendera.(1) Dan menanggalkan cincin emas ketika sedang pidato.(2)
Dan lain-lain contoh lagi yang akan diterangkan.
Menurut ceritera, Yahya bin Yazid An-Naufali menulis surat kepada Malik bin Anas ra. seperti berikut:'
"Bismillaahir rahmaanirriim. Wa shallallaahu 'alaa Rasuulihi Muhammadin fil awwaalin wal Oahiriin.
Dari Yahya bin Yazid bin Abdil Malik kepada Malik bin Anas. Ammaaba'du, kemudian dari itu, sesungguhnya telah sampai kepadaku, bahwa tuan memakai pakaian halus, memakan roti tipis, duduk atas tempat yang empuk dan meletakkan pada pintu seorang penjaga.
Sesungguhnya tuan duduk dalam majelis ilmu pengetahuan, kendaraan berkerumun ke rumah tuan, manusia datang kepada tuan, Diambilnya tuan menjadi imam dan disukai mereka perkataan tuan.
Maka bertaqwalah kepada Allah Ta'ala wahai Malik! Hendaklah tuan merendahkan diri !.
Aku tuliskan kepada tuan nasehatku ini, dalam suatu surat yang tidak dilihat, selain Allah Subkhanahu wa Ta'ala".
Wassalam,
(1) Dlrawlkan AI-Bukhari dan Muslim dari aisyah ra.
(2) Dlrawikan Al-Bukharl dan Muslim dari Ibnu Umar.

254

Malik ra. membalas surat Yahya sebagai berikut: "Bismillaahir rahmaanir rahiim. Wa shallallaahu 'alaa sayyidinaa Muhammadin wa aalihii wa. shah-bikii wa sallam.
Dari Malik bin Anas kepada Yahya bin Yazid. Kesejahteraan dari Allah kiranya kepada tuan!.
Ammaaba'du, kemudian dari itu, telah sampai surat tuan kepadaku, maka aku pandang surat itu menjadi nasehat, tanda kasih mesra dan ketinggian budi. Kiranya Allah mengurniai tuan dengan ketaqawaan dan memberi balasan kepada tuan dengan kebajikan, disebabkan nasehat itu.
Aku bermohon, kiranya Allah menganugerahkan taufiq wa laahau wa laa quwwata illaa billaahil 'aliyyil 'adhiim.
Apa yang tuan sebutkan mengenai saya, bahwa saya memakan roti tipis, memakai pakaian halus, memakai penjaga pintu dan duduk diatas tempat yang empuk, maka benarlah kami berbuat dimikian. Dan bermohonlah kami akan keampunan dari pada Allah Ta'ala. Berfirman Allah Ta'ala :
(Qul man harrama ziinatallaabil-latii akhraja li'ibaadihii wath-thay-yibaati minar rizqi).
Ariinya:
"Katakanlah! Siapakah yang melarang (memakai) perhiasan Allah dan (memakan)rezeki yang baik yang diadakanNya untuk hambanya (S. Al-A'raf, ayat 32).
Sesungguhnya saya mengetahui, bahwa meninggalkan yang demi¬kian itu adalah lebih baik daripada masuk ke dalamnya. Janganlah tuan meninggalkan kami dengan tidak mengirim-ngirimkan surat, sebagaimana kamipun tidak akan meninggalkan tuan dengan tidak mengirim-ngirimkan surat".
Wassalam,

255

Lihatlah kepada keinsyafan Malik, karena ia mengakui bahwa meninggalkan yang demikian itu adalah lebih baik dari pada masuk ke dalamnya. Dan ia berfatwa bahwa perbuatan tersebut itu diperbolehkan.
Sesungguhnya benarlah Imam Malik pada keduanya itu! Dan seumpama Imam Malik dalam kedudukannya, apabila dirinya telah membolehkan dengan keinsyafan dan pengakuan mengenai nasehat yang seperti itu, maka kuat pulalah dirinya untuk berdiri di atas batas-batas yang diperbolehkan. Sehingga keadaan yang demikian tidaklah membawa dia kepada ria, berminyak-minyak air dan melampaui kepada perbuatan yang makruh.
Adapun orang lain, maka tidaklah menyanggupi yang demikian. Meningkatkan diri kepada bersenang-senang dengan yang diperbo¬lehkan adalah besar bahayanya. Dan itu adalah jauh dari takut dan kuatir. Dan kekhususan ulama Allah itu, ialah takut. Dan kekhusus¬an dari takut itu, ialah menjauhkan diri dari tempat-tempat yang disangka berbahaya.
Dan diantara tanda-tanda ulama akhirat itu, ialah menjauhkan diri dari sultan-sultan (penguasa-penguasa). Maka tidaklah dia sekali-kali masuk kepada sultan-sultan itu, selama masih ia memperoleh jalan untuk lari dari pada mereka. Tetapi seyogialah ia menjaga diri dari pada bercampur-baur dengan sultan-sultan itu, meskipun mere¬ka itu datang kepadanya.
Sesungguhnya dunia itu manis menghijau, tali-temalinya di tangan sultan-sultan. Orang yang bercampur-baur dengan mereka, tidaklah terlepas dari bersusah-payah mencari kerelaan dan menarik hati mereka, sedang mereka itu adalah orang dzalim.
Maka haruslah di atas tiap-tiap orang yang beragama, menantang mereka dan menyempitkan dada mereka, dengan melahirkan kedzaliman dan menjelekkan perbuatan mereka.
Orang yang masuk ke dalam kalangan sultan-sultan itu, adakalanya menolehkan kepada berbaik-baik dengan mereka, lalu ia menodai nikmat Allah kepadanya. Atau berdiam diri dari menantang sultan-sultan itu, lalu ia berminyak-minyak air dengan mereka. Atau bersusah-payah dalam perkataannya mencari kata-kata untuk kesenangan dan membaguskan hal ikhwal sultan-sultan itu.
Yang demikian itu adalah kebohongan yang nyata. Atau mengharap akan memperoleh apa-apa dari dunia mereka. Dan itu adalah palsu.

256

Dan akan datang nanti pada "Kitab Halal dan Haram", apa yang boleh diambil dari pada harta sultan-sultan dan apa yang tidak boleh dari barang-barang yang berharga, hadiah dan lainnya. Kesimpulannya, bercampur-baur dengan sultan-sultan itu adalah kunci kejahatan. Dan ulama akhirat, jalan yang ditempuh mereka, ialah menjaga diri. Nabi saw. bersabda :
(Man badaa jaf aa) =
Artinya :
"Baring siapa berdiam di kampung, niscaya kosonglah dia".
(Wa manit taba'ash shaida ghafala wa man atas sulthaanaftatana).
Artinya : "Dan barang siapa mengikuti binatang buruan, niscaya lalailah dia.
Dan barang siapa mendatangi sultan niscaya terpesonalah dia".(1)
Nabi saw bersabda :
"Akan ada padamu amir-amir yang kamu kenal dan kamu tantang. Maka barang siapa menentangnya, sesungguhnya terlepaslah dia. Dan barang siapa benci kepadanya, maka sesungguhnya selamatlah dia. Tetapi barang siapa menyetujui dan mengikutinya, niscaya ia dijauhkan Allah Ta'ala".
Lalu ada yang bertanya : "Apakah kami perangi mereka?".
Nabi saw. menjawab : "Jangan, selama mereka itu mengerjakan shalat !". (2)

Sufyan berkata : "Dalam neraka jahannam, ada sebuah lembah, yang tidak ditempati selain oleh qurra (ahli pembaca Al-Quran), yang mengunjungi raja-raja".
Berkata Hudzaifah : "Berhati-hatilah kamu dari tempat fitnah !". Lalu ada yang bertanya : "Manakah tempat fitnah itu?".
Hudzaifah menjawab : "Pintu rumah amir-amir, di mana seseorang dari kamu masuk ke tempat amir itu, lalu membenarkannya dalam

(1) Dirawikan Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan dipandangnya baik dan An-Nasa-idari Ibnu Abbas.
(2) Dirawikan Muslim dari Ummi Salmah.

257

perkara bohong dan mengatakan tentang sesuatu tidak menurut sebenarnya".
Rasulullah saw. berkata : "Ulama itu adalah pemegang amanah Rasul di atas hamba Allah Ta'ala, selama mereka tidak bercampur-baur dengan sultan-sultan. Apabila mereka berbuat yang demikian, maka sesungguhnya mereka telah mengkhianati rasul-rasul. Maka awaslah kamu dan menjauhkan dirilah kamu dari pada mereka!"..
Hadits ini dirawikan Anas. (1)
Orang menanyakan A'masy : "Tuan telah menghidupkan ilmu pengetahuan, karena banyaklah orang yang mengambil ilmu pengetahuan itu dari pada tuan".
Maka A'masy menjawab : "Janganlah lekas benar mengatakan yang demikian! Sepertiga dari mereka yang mengambil ilmu padaku itu, meninggal sebelum mengerti, sepertiga selalu ke rumah sultan. sultan, maka mereka ini adalah orang jahat dan yang sepertiga sisanya, tiada memperoleh kemenangan, kecuali sedikit saja". Dan karena itulah berkata Sa'id bin Al-Musayyab ra. : "Apabila kamu melihat orang alim, datang menipu amir-amir, maka waspadalah dari padanya, karena dia itu pencuri!".
Al-Auza'i berkata : "Tak adalah sesuatu yang lebih dimarahi Allah Ta'ala, dari orang alim yang mengunjungi pekerja (yang bekerja pada amir)".
Rasulullah saw. bersabda : (Syiraarul 'ulamaa-i lladziina ya'tuunal umaraa-a wa khiyaarul umaraa-il ladziina ya'tuunal 'ulamaa').
Artinya : "Ulama yang jahat, ialah yang datang kepada amir-amir. Amir yang baik, ialah yang datang kepada ulama-ulama". (2)
Berkata Makhul Ad-Dimasyqi ra. : "Barang siapa mempelajari Al-Quran dan memahami Agama, kemudian menyertai sultan, karena bermanis muka kepadanya dan mengharap sesuatu padanya

(1) Hadits Ini dirawikan Al-'Uqaili dan diterangkan oleh ibn Jiuzi, dalam hadis-hadits maudhu’
(2) Dirawikan Ibnu Majah dari Abi Hurairah dengan sanad mauduk

258

niscaya masuklah ia ke dalam laut dari neraka jahannam menurut bilangan langkahnya".
Samun berkata : "Alangkah kejinya orang alim, yang didatangi ke tempatnya, lalu tidak dijumpai. Maka ditanyakan tentang orang alim tadi, lalu mendapat penjawaban : "Dia itu pada amir"
Menyambung Samnun : "Aku pernah mendengar orang mengata¬kan "Apabila kamu melihat orang alim mencintai dunia, maka curigailah dia terhadap Agamamu! Sehingga aku sendiri mencoba yang demikian. Karena tidaklah sekali-kali aku masuk ke tempat sultan itu, melainkan aku mengoreksi diriku-sesudah keluar dari padanya. Maka aku dapati di atas diriku bekas dan kamu dapat melihat apa yang aku peroleh itu. Yaitu : kekerasan, kekasaran dan banyaknya pertentangan untuk hawa nafsu. Sesungguhnya aku ingin dapat melepaskan diri dari pada masuk ke tempat sultan itu untuk penjagaan diri. Sedang aku tidak pernah mengambil sesuatu dari padanya atau meminum seteguk air kepunyaannya".
Kemudian Samnun menyambung : "Ulama zaman kita ini, adalah lebih jahat dari ulama Bani Israil, yang berbicara dengan sultan dengan murah saja dan dengan yang bersesuaian dengan hawa nafsu sultan. Dan kalau mereka berbicara dengan sultan dalam hal yang menjadi tanggungan sultan dan dalam hati itu dapat melepaskan sultan, niscaya sultan itu merasa berkeberatan. Dan tidak suka lagi ulama itu masuk ke tempatnya. Dan adalah yang demikian itu melepaskan bagi ulama pada sisi Tuhannya".
Al-Hasan berkata: "Adalah diantara orang yang sebelum kamu, seorang laki-laki yang terdahulu dalam Islam dan menjadi shahabat bagi Rasulullah saw. Berkata Abdullah bin Al-Mubarak: yang dimaksudkan dengan orang tadi, ialah Sa'ad bin Abi Waqqash ra. —, Al-Hassan berkata seterusnya: "Orang itu tak pernah mendatangi sultan-sultan dan melarikan diri dari mereka".
Lalu anak-anaknya berkata ke padanya: "Datangnya kepada sultan-sultan itu, orang yang tidak seperti ayah tentang pershahabatan dengan Nabi saw. dan lamanya dalam Islam. Kalau ayah datang kepada sultan-sultan itu, bagaimana?".
Orang itu menjawab: "Hai anakku! Apakah aku datang kepada bangkai yang telah dilingkungi orang banyak? Demi Allah, sesung¬guhnya, jikalau aku sanggup, niscaya tidaklah aku bersekutu dengan mereka pada bangkai itu".

259

Menjawab anak-anaknya : "Wahai ayah kami! Jadi binasalah ini kekurusan!".
Menjawab orang itu : "Hai anak-anakku! Aku lebih suka mati sebagai mu'min yang kurus, dari pada aku mati sebagai munafin yang gemuk".
Berkata Al-Hasan : "Orang itu memusuhi sultan-sultan itu, karena demi Allah ia mengetahui, bahwa tanah memakan daging dan minyak, tidak memakan iman".
Dan ini suatu petunjuk, bahwa orang yang memasuki tempat sultan tidak akan selamat sekali-kali dari nifaq (bermuka dua). Dan nifaq itu adalah berlawanan dengan iman.
Abu Dzar berkata kepada Salmah : "Wahai Salmah, janganlah engkau mendatangi pintu sultan-sultan! Sesungguhhya engkau tidak akan memperoleh sesuatu dari pada dunia mereka, melainkan mereka memperoleh dari agama engkau yang lebih utama dari padanya".
Inilah suatu fitnah besar bagi ulama dan jalan yang sulit bagi setan untuk memperdayakan ulama. Lebih-lebih bagi ulama yang mempunyai cara berbicara yang mudah diterima orang dan mempunyai perkataan yang manis. Karena senantiasalah setan membisikkan kepada ulama itu bahwa : "Nasehatmu kepada sultan-sultan dan kedatanganmu kepadanya, adalah hal yang menakutkan mereka dari berbuat dhalim dan menegakkan syiar-syiar Agama". Sampai menjadi khayalan kepada ulama itu, bahwa masuknya ke rumah sultan-sultan itu adalah setengah dari agama.
Kemudian, apabila telah masuk, lalu senantiasalah ia bersikap lemah-lembut dalam pembicaraan, berminyak-minyak air dan berkecimpung dengan memuji dan menyanjung. Dan pada inilah terletaknya kebinasaan Agama. Dan ada dikatakan : "Ulama itu apabila telah berilmu, niscaya berbual (beramal). Apabila berbuat, niscaya sibuk. Apabila telah sibuk, lalu hilang. Apabila telah hilang, lalu dicari. Dan apahila dicari lalu lari".
Umar bin Abdul 'aziz ra. menulis surat kepada Al-Hasan : "Am-maaba'du kemudian dari itu, maka tunjukkanlah kepadaku golongan-golongan yang dapat aku meminta tolong padanya, untuk menegakkan perintah Allah Ta'ala!''.
Maka Al-Hasan membalas surat Khalifah Umar bin Abdul 'Aziz tadi: "Adapun kaum agama, maka mereka tidak berkehendak

260

kepadamu. Dan adapun kaum dunia, maka engkau tidak berkehen¬dak kepada mereka. Akan tetapi, haruslah engkau dengan orang-orang mulia, karena mereka menjaga kehormatan dirinya dari pada menodainya dengan pengkhianatan".
Ini adalah mengenai Umar bin Abdul 'aziz ra. dan adalah ia yang paling zuhud pada zamannya.
Maka apabila adalah syarat bagi kaum Agama lari dari Umar, maka bagaimanakah memperoleh perbandingan untuk mencari orang lain dan bercampur-baur dengan dia? Dan selalu ulama-ulama terdahulu, seperti : Al-Hasan, Ats-Tsuri, Ibnul-Mubarak, Al-Fudlail, Ibrahim bin Adham dan Yusuf bin Asbath, memperkatakan mengenai ulama dunia, dari penduduk Makkah, negeri Syam dan lain-lain. Adakalanya karena mereka itu cenderung kepada dunia dan adakalanya karena bercampur-baur dengan sultan-sultan.
Dan diantara tanda-tanda ulama akhirat, ialah tidak tergesa-gesa memberi fatwa. Tetapi berdiri teguh menjaga diri dari memberi fatwa selama masih ada jalan untuk melepaskan diri. Jikalau ia ditanyakan tentang apa yang diketahuinya benar-benar dengan dalil (nash) Kitabullah atau Hadits atau Ijma' atau qias yang nyata, niscaya berfatwalah dia. Dan jikalau ditanyakan tentang sesuatu yang diragukannya, maka ia menjawab : "Saya tidak tahu (Laa adrii)" Dan jikalau ditanyakan suatu persoalan yang hampir diyakininya (dhan), berdasarkan ijtihadnya dan terkaannya, maka dalam hal ini ia berhati-hati, mempertahankan diri dan menyerah-kan penjawabannya kepada orang lain, jikalau ada pada orang lain itu kemampuan.
Inilah hati-hati (al-hazmu) namanya, kereka ikut-ikutan berijtihad adalah besar sekali bahayanya.
Dalam hadits tersebut : (Al-'ilmu tsalaatsatun : kitaabun naathiqun wa sunnatun qaaimatun walaa adrii).
Artinya : "Ilmu itu tiga: Kitab yang berbicara, Sunnah yang berdiri tegak
dan Laa adrii (Saya tidak tahu)". (1)

(1) Dirawikan Abu Dawud dan Ibn Majah dari Abdullah Ibn Umar, hadis marfu’

261

Asy-Sya'bi berkata : "Laa adrii adalah setengah ilmu. Barangsiapa berdiam diri dimana yang tidak diketahuinya karena Allah Ta'ala, maka tidaklah kurang pahalanya dari pada orang yang berkata-kata. Karena mengaku bodoh adalah amat berat bagi jiwa". Begitulah adanya kebiasaan para shahabat dan ulama salaf ra.
Adalah Ibnu Umar apabila ditanyakan kepadanya tentang fatwa maka menjawab : "Pergilah kepada amir itu yang menerima pikulan tanggung jawab segala urusan manusia. Maka letakkanlah urusan itu ke atas pundaknya!".
Berkata Ibnu Mas'ud ra. : "Orang yang memberi fatwa kepada manusia mengenai tiap-tiap persoalan yang diminta mereka fatwanya, adalah gila". Dan seterusnya beliau berkata : "Benteng orang alim itu, ialah "Laa adrii" (saya tidak tahu). Jikalau ia menyalahkan benteng itu, maka sesungguhnya telah mendapat bencanalah tempat-tempat ia berperang".
Berkata Ibrahim bin Adham ra. : "Tidak adalah yang lebih menyulitkan bagi setan, selain dari orang alim yang berkata dengan ilmunya dan berdiam diri dengan ilmunya. Setan itu berkata : "Lihatlah kepada orang alim ini! Diamnya lebih sulit bagiku dari pada perkataannya".
Setengah mereka menyifatkan al-abdal(1) dengan mengatakan : "Orang shaleh itu makannya seberapa perlu, tidurnya kalau terpaksa dan kata-katanya kalau sudah penting. Artinya : mereka tidak berbicara sehingga ditanya. Dan apabila ditanya, lalu mendapat orang-orang yang memadai, niscaya mereka berdiam diri. Dan kalau diperlukan, baru mereka menjawab".
Orang-orang shaleh itu memandang bahwa memulai berbicara sebelum ditanya, adalah termasuk hawa nafsu yang tersembunyi untuk berbicara.
Saidina Ali ra. dan Saidina Abdullah ra. melewati seorang laki-laki yang sedang berbicara dihadapan orang banyak, lalu berkata Ali ra. : "Orang itu akan mengatakan nanti : "Kamu kenallah aku!". Berkata setengah mereka bahwa orang berilmu itu apabila ditanya¬kan sesuatu masalah, maka seakan-akan dicabut gusinya. Ibnu Umar berkata : "Kamu bermaksud menjadikan kami jembatan, yang akan kamu lalui di atas kami ke neraka jahannam".
(1) Al-abdal, ialah orang shalih yang selalu ada di dunia ini yang digantikan oleh Tuhan, bila ada yang meninggal (Peny.)

262

Abu Hafash An-Naisaburi berkata : "Orang alim itu, ialah yang takut pada pertanyaan, dimana ditanyakan kepadanya pada hari qiamat nanti: "Dari manakah penjawaban itu kamu peroleh?".
Adalah Ibrahim At-Taimi apabila ia ditanyakan sesuatu masalah, lalu menangis, seraya berkata : "Apakah tuan-tuan tidak mendapat orang lain, maka tuan-tuan mendesak saya?".
Adalah Abul 'Aliyyah Ar-Rayyahi, Ibrahim bin Adham dan Ats-Tsuri berbicara dihadapan dua orang, tiga orang dan dihadapan jumlah yang kecil. Apabila orang sudah banyak lalu mereka itu pergi.
Nabi saw. bersabda : (Maa adrii a'uzairun nabiyyun am laa. Wa maa adrii a-tubba'un mal-'uunun am laa. Wa maa adrii dzulqarnaini nabiyyun am laa).
Artinya : "Saya tidak tahu, 'Uzair itu nabi atau bukan. Saya tidak tahu. Tubba' itu terkutuk atau tidak. Dan saya tidak tahu. Dzulqarnain itu nabi atau bukan". (1)
Tatkala Rasulullah saw. ditanyakan tentang tempat yang terbaik dan yang terburuk di bumi, maka Nabi saw. menjawab : "Laa adrii - Saya tidak tahu". Sehingga datanglah Jibril sa. kepadanya, maka ditanyakannya. Lalu Jibril as. menjawab : "Laa adrii - Saya tidak tahu"! Sehingga ia diberitahukan oleh Allah 'Azza wa Jalla, bahwa tempat yang terbaik, ialah masjid dan tempat yang terburuk ialah pasar". (2)
Adalah Ibnu Umar ra. ditanyakan sepuluh masalah, maka dijawabnya satu dan berdiam diri dari sembilan. Dan Ibnu Abbas ra. men¬jawab sembilan dan berdiam diri dari satu.
Dalam kalangan ulama fiqh (Fuqaha')'ada yang menjawab "Laa adrii", lebih banyak dari pada menjawab". Adrii - saya tahu". Diantaranya : Sufyan Ats-Tsuri, Malik bin Anas, Ahmad bin Han-bal, Al-Fudlail bin 'lyadl dan Bisyr bin Al-Harits. Abdur-Rahman bin AJi Laila berkata : "Aku mendapati dalam masjid ini seratus dua puluh orang shahabat Rasulullah saw. Tidak

(1) Dirawikan Abu Dawud dan AI-Hakim dari Abu Hurairah. Tubba' orang suku Himyar, orang pertama yang menutupi Ka'bah dengan kain.
(2) Dirawlkan Ahmad. Abu Ya'la, AI-Bazzar dan AI-Hakim dari Ibnu Umar.

263

seorangpun dari mereka yang ditanyakan tentang hadits atau fatwa melainkan lebih menyukai bahwa temannya saja cukup menjawabnya".
Pada kata-kata yang lain dari Abdur-Rahman bin Ali Laila itu berbunyi : "Adakah suatu masalah dikemukakan kepada salah seorang dari mereka, lalu ia mengembalikannya kepada yang lain. Dan yang lain itu mengembalikannya kepada yang lain pula, sehingga masalah itu kembali kepada orang yang pertama".
Diriwayatkan bahwa teman-teman Shuffah, dihadiahkan orang kepala kibasy goreng kepada salah seorang dari mereka, dimana ia sedang melarat benar. Maka dihadiahkannya hadiah tadi kepada teman yang lain dan teman yang lain itu menghadiahkannya kepa-dan yang lain pula. Dan begitulah beredar diantara mereka, sehihgga kembalilah kepada yang pertama.
Lalu lihatlah sekarang, bagaimana terbaliknya pekerti ulama!. Maka jadilah yang harus ditinggalkan, dicarinya dan yang harus dicarikan, ditinggalkannya!.
Dibuktikan tentang baiknya berhati-hati dari pada turut-turutan memberi fatwa, ialah apa yang diriwayatkan dari setengah mereka sebagai hadits musnad, bahwa Nabi saw, bersabda : "Tidaklah berfatwa kepada manusia, selain oleh tiga : amir atau ma'mur (orang yang disuruh amir) atau orang yang menanggung sendiri untuk berfatwa".
Berkata setengah mereka : "Adalah para shahabat Nabi saw. tolak-menolak pada empat perkara : menjadi imam, memagang wasiat (testament), menyimpan simpanan dan memberi fatwa".
Berkata setengah mereka : "Adalah yang paling lekas memberi fatwa, ialah orang yang ilmunya paling sedikit. Dan yang paling menolak memberi fatwa, ialah orang yang paling wara' (menjaga diri dari kesalahan)".
Adalah para shahabat ra. dan tabi'in ra. itu sibuk pada lima perkara, yaitu : membaca Al-Qur-an, meramaikan (memakmurkan) masjid, berdzikir kepada Allah Ta'ala, beramar ma'ruf dan bernahi munkar".
Yang demikian itu adalah karena mereka mendengar dari sabda Nabi saw. :

(1) Teman-teman Shuffah, yaitu segolongan shahabat Nabj saw. yang miskin. Mereka selalu di Shuffah masjfd (tempat berteduh dekat masjid Nabi saw. di Madinah). (Peny).

264

(Kullu kalaamibni aadama 'alaihi laa lahu illaa tsalaatsatun : amrun bima'-ruufin au nahyun 'an munkarin au dzikrullaahi Ta'aalaa).
Artinya :
"Tiap-tiap pi-rkataan anak Adam (manusia), adalah memberatkan atas dirinya, tidak menguntungkan kepadanya, selain tiga : amar ma'ruf atau nahi munkar atau berdzikir kepada Allah Ta'ala".

3 comments: